Ketika Sawung Jabo Bertutur Sejarah Diri
A
A
A
YOGYAKARTA - Permainan gitar listrik berpadu musik gelas dan triangle menghentak panggung Gedung Societet Militer Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tadi malam.
Tepuk tangan pun diberikan kepada grup musik lawas, Sirkus Barock. Alunan instrumen musik bertajuk Perjalanan Waktu membawakan kisah perjalanan grup musik yang berdiri sejak September 1976 di Yogyakarta itu. Meski telah ditinggal oleh para pendahulunya, keberadaan grup musik kini berusia 39 tahun ini masih terasa begitu kuat.
Pada penampilan tadi malam, Sirkus Barock digawangi sembilan musisi muda, yaitu Joel Tampeng, Ruben Pangingkayon, Bagus Mazasupa, Capricorn DH, Sinung Garjito, Denny YK, Hasnan Santet, Giana Sudaryono, Endy Baroque, dan tentu musisi senior Sawung Jabo. Membawakan lagu berjudul Peristiwa Manusia, Sawung Jabo dan kawan-kawan membawakan kisah-kisah yang dialami manusia saat itu.
Terutama kisah Sawung Jabo ketika meninggalkan kehidupan jalanan di Jakarta dan hijrah ke Yogyakarta pada 1973. Itu terangkum dalam tembang berjudul Saat 1973. “Ini cerita tahun 1973, subuh pagi hari aku di Stasiun Gambir Jakarta berangkat menuju Yogyakarta. Hanya karena perkataan seorang yang pernah dekat padaku mau jadi apa kau sebenarnya, hidup di jalan terus. Spontan aku jawab ingin jadi musisi, maka berangkatlah aku ke Yogyakarta. Lagu Saat 1973 dari album Kanvas Putih,” ungkap Sawung Jabo kepada para penonton di sela-sela konser.
Kenangan pun berlanjut ketika musisi pemilik nama lengkap Mochamad Djohansyah itu sampai di Yogyakarta. Ramahnya Kota Pelajar ini ternyata mampu membangkitkan jiwanya yang telah tidur lama. Ini yang membuat dirinya betah hingga Sirkus Barock terbentuk. Menurut dia, manusia perlu melakukan sesuatu yang berguna dalam kehidupannya.
Ini di gambarkan dalam lagu berjudul Melangkah Adalah ke Depan dan Penjelajah Alam yang diambil dari album Anak Setan. Melibatkan permainan tepuk tangan penonton memperlihatkan konser musik ini mampu berkomunikasi baik dengan para penikmat musiknya. “Ngelak (haus) tak minum dulu. Kalau zaman dulu minum air putih berkadar tinggi, ciu liter. Itu minuman zaman dulu, bagaimana minum murah mendeme(mabuknya) awet. Yang anak setan ngacung kowe (angkat tangan kamu), ikut lalala-nya saja, lah anak setan,” guraunya saat membawakan lagu Anak Setan.
Liriknya yang mudah dipahami dan kerap menyentuh kehidupan sosial, terutama orang kecil tak pelak membuat penonton tersenyum. Kisah yang dibawakan tak berhenti di situ, ketika Jabo melewati Malioboro, dirinya sering mendengar pembahasan tentang agama hingga rezeki seret.
Berbeda ketika dirinya berada di jalanan Jakarta yang justru banyak membahas tentang pelacur dan kebiasaan mabuk. “Lama-lama jadi mabuk pikiran, lagu mabuk pikiran (berjudulLagu Pemabuk) ini belum pernah direkam. Jadi maaf kalau lagunya terlalu baik. Ayo melu(ikut) goyang,” katanya berperan ala pemabuk.
Penonton semakin terbius dengan tembang yang dibawakan Sirkus Barock dalam konser ini. antara lain, Mengajar Bayangan, Menangkap Angin, Perjalanan Awan, Burung Putih, Anak Angin, Ja go an Lokal, Jula Juli Anak Ne ge ri, Bukan Debu Jalanan, dan Di Hatimu Aku Berlindung.
“Selamat malam, pementasan Sirkus Barock kali ini menceritakan sepenggal sejarah dari perjalanan Sirkus Barock. Sekaligus tribute rekan-rekan Sirkus Barock yang telah mendahului kita seperti Innisisri, Buche Ceking, Lelly lali Nanoe, dan Agus Sriwijayadi. Sebenarnya masih ada dua lagi Albert Razak, Manager Sirkus Barock pertama dan Een Palembang. Ada juga gambar mereka yang dilukis oleh saudara angkat saya Sudargono. Terima kasih keluarga Sudargono dan Bulik Tutik,” kata apa musisi senior kelahiran Surabaya ini.
Hasnan Santet mengaku bangga bisa bergabung ke dalam Sirkus Barock. Lewat grup itu dirinya jadi lebih bisa memahami, menganalisa, mengembangkan, hingga mengartikan musik lebih luas, terutama dalam konteks perspektif bermusik. “Banyak perspektif yang bisa saya dapatkan dari Sirkus Barock. Apalagi bagi saya yang merupakan tukang gesek Cello,” kata Hasnan.
Siti estuningsih
Tepuk tangan pun diberikan kepada grup musik lawas, Sirkus Barock. Alunan instrumen musik bertajuk Perjalanan Waktu membawakan kisah perjalanan grup musik yang berdiri sejak September 1976 di Yogyakarta itu. Meski telah ditinggal oleh para pendahulunya, keberadaan grup musik kini berusia 39 tahun ini masih terasa begitu kuat.
Pada penampilan tadi malam, Sirkus Barock digawangi sembilan musisi muda, yaitu Joel Tampeng, Ruben Pangingkayon, Bagus Mazasupa, Capricorn DH, Sinung Garjito, Denny YK, Hasnan Santet, Giana Sudaryono, Endy Baroque, dan tentu musisi senior Sawung Jabo. Membawakan lagu berjudul Peristiwa Manusia, Sawung Jabo dan kawan-kawan membawakan kisah-kisah yang dialami manusia saat itu.
Terutama kisah Sawung Jabo ketika meninggalkan kehidupan jalanan di Jakarta dan hijrah ke Yogyakarta pada 1973. Itu terangkum dalam tembang berjudul Saat 1973. “Ini cerita tahun 1973, subuh pagi hari aku di Stasiun Gambir Jakarta berangkat menuju Yogyakarta. Hanya karena perkataan seorang yang pernah dekat padaku mau jadi apa kau sebenarnya, hidup di jalan terus. Spontan aku jawab ingin jadi musisi, maka berangkatlah aku ke Yogyakarta. Lagu Saat 1973 dari album Kanvas Putih,” ungkap Sawung Jabo kepada para penonton di sela-sela konser.
Kenangan pun berlanjut ketika musisi pemilik nama lengkap Mochamad Djohansyah itu sampai di Yogyakarta. Ramahnya Kota Pelajar ini ternyata mampu membangkitkan jiwanya yang telah tidur lama. Ini yang membuat dirinya betah hingga Sirkus Barock terbentuk. Menurut dia, manusia perlu melakukan sesuatu yang berguna dalam kehidupannya.
Ini di gambarkan dalam lagu berjudul Melangkah Adalah ke Depan dan Penjelajah Alam yang diambil dari album Anak Setan. Melibatkan permainan tepuk tangan penonton memperlihatkan konser musik ini mampu berkomunikasi baik dengan para penikmat musiknya. “Ngelak (haus) tak minum dulu. Kalau zaman dulu minum air putih berkadar tinggi, ciu liter. Itu minuman zaman dulu, bagaimana minum murah mendeme(mabuknya) awet. Yang anak setan ngacung kowe (angkat tangan kamu), ikut lalala-nya saja, lah anak setan,” guraunya saat membawakan lagu Anak Setan.
Liriknya yang mudah dipahami dan kerap menyentuh kehidupan sosial, terutama orang kecil tak pelak membuat penonton tersenyum. Kisah yang dibawakan tak berhenti di situ, ketika Jabo melewati Malioboro, dirinya sering mendengar pembahasan tentang agama hingga rezeki seret.
Berbeda ketika dirinya berada di jalanan Jakarta yang justru banyak membahas tentang pelacur dan kebiasaan mabuk. “Lama-lama jadi mabuk pikiran, lagu mabuk pikiran (berjudulLagu Pemabuk) ini belum pernah direkam. Jadi maaf kalau lagunya terlalu baik. Ayo melu(ikut) goyang,” katanya berperan ala pemabuk.
Penonton semakin terbius dengan tembang yang dibawakan Sirkus Barock dalam konser ini. antara lain, Mengajar Bayangan, Menangkap Angin, Perjalanan Awan, Burung Putih, Anak Angin, Ja go an Lokal, Jula Juli Anak Ne ge ri, Bukan Debu Jalanan, dan Di Hatimu Aku Berlindung.
“Selamat malam, pementasan Sirkus Barock kali ini menceritakan sepenggal sejarah dari perjalanan Sirkus Barock. Sekaligus tribute rekan-rekan Sirkus Barock yang telah mendahului kita seperti Innisisri, Buche Ceking, Lelly lali Nanoe, dan Agus Sriwijayadi. Sebenarnya masih ada dua lagi Albert Razak, Manager Sirkus Barock pertama dan Een Palembang. Ada juga gambar mereka yang dilukis oleh saudara angkat saya Sudargono. Terima kasih keluarga Sudargono dan Bulik Tutik,” kata apa musisi senior kelahiran Surabaya ini.
Hasnan Santet mengaku bangga bisa bergabung ke dalam Sirkus Barock. Lewat grup itu dirinya jadi lebih bisa memahami, menganalisa, mengembangkan, hingga mengartikan musik lebih luas, terutama dalam konteks perspektif bermusik. “Banyak perspektif yang bisa saya dapatkan dari Sirkus Barock. Apalagi bagi saya yang merupakan tukang gesek Cello,” kata Hasnan.
Siti estuningsih
(ftr)