Sosialisasi hingga Mimbar Khotib

Minggu, 24 Mei 2015 - 11:59 WIB
Sosialisasi hingga Mimbar...
Sosialisasi hingga Mimbar Khotib
A A A
Indonesia kini tengah memasuki kondisi darurat narkoba. Kondisi ini dipertegas dengan keputusan presiden menolak grasi dan dilaksanakan eksekusi hukuman terhadap terpidana mati kasus narkoba, baik itu WNI maupun WNA.

Untuk memutus mata rantai penyalahgunaan narkoba, tahun ini Badan Narkotika Nasional Pusat (BNNP) menargetkan 100.000 pecandu masuk dalam program rehabilitasi. Sementara, untuk Sumsel kebagian kuota 2.431 pemakai.

Lalu, bagaimana BNN Sumsel mengejar target tersebut? Adakah langkah jitu dari sosok pimpinannya yang baru dilantik 20 Maret 2015? Berikut wawancara khusus reporter KORAN SINDO PALEMBANGYulia Savitri bersama Kepala BNN Sumsel Brigjen Pol Drs Muhammad Iswandi Hari SH, MSi, di ruang kerjanya baru – baru ini.

Mengapa darurat narkoba?

Kejahatan narkoba merupakan sebuah kejahatan yang sangat serius karena memiliki dampak yang luar biasa, baik bagi tubuh manusia itu sendiri maupun dampak sosial di masyarakat. Indonesia ini sudah masuk ke dalam taraf yang memprihatinkan, penggunaan narkoba yang masih cukup tinggi adalah alasan utama yang membuat Indonesia termasuk dalam klasifikasi tersebut. Sama memprihatinkannya dengan fenomena prostitusi. Tapi para pelaku itu tahu yang mereka pilih itu salah, karenanya dilakukan secara sembunyisembunyi.

Apa saja yang dilakukan BNN?

Kami terus bekerja dan berusaha untuk melaksanakan perintah undangundang secara murni dan konsekuen terkait penanganan masalah narkoba dengan menggunakan tiga langkah. Pertama, pencegahan, yakni menggencarkan sosialisasi dampak buruk dari penyalahgunaan narkoba. Kedua, pemberantasan dengan pendekatan dari sisi penegakan hukum, yang bandar dan kurir diberikan hukuman berat sehingga menjadi efek jera dan pelajaran bagi yang lain. Terakhir, rehabilitasi dengan memberikan penyehatan serta pemulihan bagi para pengguna dan pecandu.

Bagaimana agar tiga langkah tersebut efektif?

Pencegahan yang paling efektif dimulai dari keluarga. Orang tua harus bisa menjadi pendamping dan teman yang baik bagi anak. Dengan begitu, anak tidak mencari teladan di luar rumah untuk ditiru. Tapi hendaknya tidak terlalu serba permisif juga pada anak, itu bisa jadi rawan. Selain itu, harus ada penguatan dari individunya sendiri. Dia harus bisa membentengi diri untuk tidak berkenalan dengan narkoba, apalagi kalau sudah sampai kecanduan, terutama di saat lingkungan berpotensi menyediakan obat-obatan terlarang. Karena itu, kami berharap pemerintah dan masyarakat dapat aktif berperan dalam pencegahan, pemberantasan, serta rehabilitasi narkoba tanpa kompromi.

Adakah kendala yang ditemui?

Saya memang baru dilantik 20 Maret 2015 sebagai Kepala BNN Sumsel. Sebelumnya, saya ditunjuk sebagai Direktur Binmas Mabes Polri. Sebelumnya lagi di Dit Bareskrim Mabes Polri. Sudah malang melintang di beberapa daerah, di antaranya sebagai Direktur Reskrim Polda Sulawesi Tenggara, Waka Polwil Tabes Bandung, Wakapolres Pekalongan, Kapolres Kudus, dan Kasat Serse Kota Bogor. Di BNN ini saya yakinkan bahwa kinerjanya sama dengan kepoisian. Hanya saja lingkup kerjanya lebih fokus, yakni pada kejahatan narkoba. Itu tadi, melakukan pencegahan dan pemberantasan, dan ditambah tanggung jawab satu lagi yakni merehabilitasi.

Tahun ini kami harus bisa merehabilitasi 2.431 pecandu. Karena kinerjanya sama tentu tidak menjadi kendala berarti. Seperti di UGD Rumah Sakit, harus berhadapan langsung dengan korban kriminal. Di situ polisi harus cepat ambil tindakan. Ini juga berlaku saat kita merehabilitasi pecandu.

Menjadi polisi memang citacita kecil?

Saya dulu pernah lihat personel marching bandpolisi. Gagah sekali. Padahal alat drum yang dia bawa sangat besar. Akhirnya, setelah tamat sekolah di Sidoarjo, saya masuk ke Akpol sampai tamat 1988. Lalu lulus PTIK tahun 1995 dan Sespimpol tahun 2003. Tapi kalau soal cita-cita, selain jadi polisi saya juga sangat ingin jadi dokter, jurnalis, dan belajar di Gontor.

Semua cita-cita itu bisa saya penuhi, belajar di Akpol jadi polisi, menikah dengan seorang dokter, ilmu jurnalistik saya pakai dalam tugas kepolisian, lalu ilmu keislaman saya selaraskan saat menjadi penceramah ataupun khatib Jumat. Sampai di BNN ini, kesempatan mengisi khotbah Jumat pun saya manfaatkan sebagai langkah memutus mata rantai penyalahgunaan narkoba.

Artinya sosialisasi saat khotbah Jumat?

Ya, setiap khotbah saya sisipkan pesan bahaya narkoba. Selama ini kan BNN lebih banyak mengadakan acara sosialisasi anti narkoba pada acara formal. Di sini (saat khotbah) sasaran peningkatan pemahaman masyarakat terhadap bahaya penyalahgunaan narkoba juga bisa masuk. Siapa tahu dalam kesempatan tersebut ada pemakai atau pecandu, diharapkan bisa menyadarkan mereka untuk mau mengikuti program rehabilitasi. Lagipula rehabilitasi BNN tanpa dipungut biaya. Tapi, tidak semua isi khotbah jadinya tentang narkoba. Tentu saya akan sampaikan dulu tentang bagaimana Islam sebagai rahmat, berikut ajaran-ajarannya yang memberi keselamatan bagi umat. Selama saya bertugas beberapa bulan di Palembang, alhamdulillah, sudah mengisi khotbah sekitar empat kali.

Sudah aktif sebagai khatib sejak kapan?

Saya mengisi ceramah agama sejak masih bertugas di kepolisian. Hal ini cukup didukung para ustaz dan kyai di beberapa pesantren lokal di setiap wilayah tempat saya bertugas. Ilmunya saya pelajari terus tentu saja, mulai dari ilmu Alquran sampai Hadis. Setelah itu, banyak hikmah yang bisa didapat, misalnya ketika berhadapan dengan mahasiswa yang akan demo, mereka tidak lantas memusuhi polisi setelah tahu pimpinan polisi itu adalah orang yang khotbah di masjid kampus mereka.

Mahasiswa itu jadi mau menyalami saya dengan ramah. Hikmah lainnya, ini yang juga baik, jamaah salat Jumat jadi tidak banyak yang mengantuk saat saya ceramah. Masyarakat mungkin baru menemukan ada polisi yang khotib. Sementara di Palembang, ada Kepala BNN yang jadi khotib. l
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1696 seconds (0.1#10.140)