Makin Banyak Kamu Marjinal Mendaftar
A
A
A
Sekolah Gajahwong yang berbasis sekolah alam dan diprioritaskan untuk kaum marginal kian hari kian banyak peserta didiknya. Makin banyak para orang tua murid yang ingin menyekolahkan anak mereka di sekolah yang terletak di daerah Timoho ini.
Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan beberapa tahun silam di mana para orang tua murid yang sebagian besar berprofesi sebagai pemulung dan pengamen enggan menyekolahkan anak mereka. Menurut Faiz Fakhruddin, Koordinator Pendidikan Sekolah Gajahwong, saat ini ada total 40 murid yang dimiliki dengan rentang usia 3–7 tahun. Namun jumlah tersebut masih bisa bertambah, mengingat semakin banyak orang tua murid yang berencana menyekolahkan anak mereka di Sekolah Gajahwong.
"Hal ini cukup membingungkan kami. Di satu sisi, kami tidak mungkin menolak murid yang ingin masuk ke sekolah kami. Tapi di sisi lain, Sekolah Gajahwong juga masih kekurangan tenaga pengajar dan fasilitas untuk bisa menampung murid yang lebih banyak lagi," tutur Faiz, kemarin.
Sampai saat ini, Sekolah Gajahwong baru memiliki dua kelas dan lima tenaga pengajar tetap serta enam relawan. Untuk memfasilitasi murid baru, ke depan sedang direncanakan jam belajar menjadi dua shift. Saat ini baru ada satu shift, yaitu pukul 08.00 WIB hingga 11.00 WIB setiap Senin–Jumat. Sedangkan untuk hari Sabtu, orang tua murid yang sekolah. Biasanya kami memberikan materi pola asuh," katanya.
Selama tiga tahun, sekolah yang awalnya diperuntukkan masyarakat miskin kota ini mengalami berbagai kendala. Salah satunya kendala keterbatasan media dan fasilitas untuk menjalankan kurikulum. Tidak adanya donasi dari pemerintah, membuat para pendiri dan masyarakat sekitar untuk gotong royong mengumpulkan biaya operasional sekolah. Ada empat usaha yang hasil keuntungannya digunakan untuk menutupi biaya operasional Sekolah Gajahwong.
Antara lain program sampah untuk anak, usaha menjual kaos dan tas, peternakan, juga sisanya donasi dari masyarakat sekitar. "Hitungan biaya operasional yang kami butuhkan adalah Rp8 juta per bulan. Dari usaha yang kami miliki, bisa men-cover sekitar 50–60%. Sisanya donasi dari temanteman," kata Faiz. Namun, meski terjebak oleh keterbatasan tersebut, tak membuat Sekolah Gajahwong menjadi redup semangatnya.
Terbukti dengan bertambahnya usia, semakin bertambah pula masyarakat yang berminat mendaftarkan anak mereka di sekolah ini. Harapannya, Sekolah Gajahwong dapat terus eksis. Sebab kehadiran sekolah ini merupakan jawaban bagi anakanak dari kalangan keluarga miskin agar bisa terus sekolah. Sekolah Gajahwong ingin memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak usia dini, sebab di usia merekalah waktu yang tepat untuk membentuk fondasi generasi penerus bangsa.
Selama tiga tahun Sekolah Gajahwong berdiri, sudah ada 14 lulusan yang dihasilkan sekolah ini. Semuanya bisa melanjutkan ke jenjang sekolah dasar dengan bantuan pendampingan dari para pengelola Sekolah Gajahwong. Rizki, siswa kelas II SD ini mengaku, mendapat banyak pelajaran di sekolah ini. Meski awalnya keinginannya untuk bersekolah ditentang oleh kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai pemulung, namun tekadnya yang kuat membuat bocah berusia delapan tahun ini tetap melanjutkan sekolahnya.
“Awalnya saya tidak diperbolehkan sekolah di sini. Selain karena orang tua saya tidak punya uang, kata ibu bapak saya, tidak perlu sekolah tinggi karena nanti akan jadi pemulung juga. Tapi saya bertekad untuk tetap sekolah agar saya dapat pekerjaan yang lebih baik di masa depan,” tuturnya.
Windy Anggraina
Yogyakarta
Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan beberapa tahun silam di mana para orang tua murid yang sebagian besar berprofesi sebagai pemulung dan pengamen enggan menyekolahkan anak mereka. Menurut Faiz Fakhruddin, Koordinator Pendidikan Sekolah Gajahwong, saat ini ada total 40 murid yang dimiliki dengan rentang usia 3–7 tahun. Namun jumlah tersebut masih bisa bertambah, mengingat semakin banyak orang tua murid yang berencana menyekolahkan anak mereka di Sekolah Gajahwong.
"Hal ini cukup membingungkan kami. Di satu sisi, kami tidak mungkin menolak murid yang ingin masuk ke sekolah kami. Tapi di sisi lain, Sekolah Gajahwong juga masih kekurangan tenaga pengajar dan fasilitas untuk bisa menampung murid yang lebih banyak lagi," tutur Faiz, kemarin.
Sampai saat ini, Sekolah Gajahwong baru memiliki dua kelas dan lima tenaga pengajar tetap serta enam relawan. Untuk memfasilitasi murid baru, ke depan sedang direncanakan jam belajar menjadi dua shift. Saat ini baru ada satu shift, yaitu pukul 08.00 WIB hingga 11.00 WIB setiap Senin–Jumat. Sedangkan untuk hari Sabtu, orang tua murid yang sekolah. Biasanya kami memberikan materi pola asuh," katanya.
Selama tiga tahun, sekolah yang awalnya diperuntukkan masyarakat miskin kota ini mengalami berbagai kendala. Salah satunya kendala keterbatasan media dan fasilitas untuk menjalankan kurikulum. Tidak adanya donasi dari pemerintah, membuat para pendiri dan masyarakat sekitar untuk gotong royong mengumpulkan biaya operasional sekolah. Ada empat usaha yang hasil keuntungannya digunakan untuk menutupi biaya operasional Sekolah Gajahwong.
Antara lain program sampah untuk anak, usaha menjual kaos dan tas, peternakan, juga sisanya donasi dari masyarakat sekitar. "Hitungan biaya operasional yang kami butuhkan adalah Rp8 juta per bulan. Dari usaha yang kami miliki, bisa men-cover sekitar 50–60%. Sisanya donasi dari temanteman," kata Faiz. Namun, meski terjebak oleh keterbatasan tersebut, tak membuat Sekolah Gajahwong menjadi redup semangatnya.
Terbukti dengan bertambahnya usia, semakin bertambah pula masyarakat yang berminat mendaftarkan anak mereka di sekolah ini. Harapannya, Sekolah Gajahwong dapat terus eksis. Sebab kehadiran sekolah ini merupakan jawaban bagi anakanak dari kalangan keluarga miskin agar bisa terus sekolah. Sekolah Gajahwong ingin memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak usia dini, sebab di usia merekalah waktu yang tepat untuk membentuk fondasi generasi penerus bangsa.
Selama tiga tahun Sekolah Gajahwong berdiri, sudah ada 14 lulusan yang dihasilkan sekolah ini. Semuanya bisa melanjutkan ke jenjang sekolah dasar dengan bantuan pendampingan dari para pengelola Sekolah Gajahwong. Rizki, siswa kelas II SD ini mengaku, mendapat banyak pelajaran di sekolah ini. Meski awalnya keinginannya untuk bersekolah ditentang oleh kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai pemulung, namun tekadnya yang kuat membuat bocah berusia delapan tahun ini tetap melanjutkan sekolahnya.
“Awalnya saya tidak diperbolehkan sekolah di sini. Selain karena orang tua saya tidak punya uang, kata ibu bapak saya, tidak perlu sekolah tinggi karena nanti akan jadi pemulung juga. Tapi saya bertekad untuk tetap sekolah agar saya dapat pekerjaan yang lebih baik di masa depan,” tuturnya.
Windy Anggraina
Yogyakarta
(ars)