Sultan: Abad Ini Kebangkitan Maritim
A
A
A
SURABAYA - Di tengah kemelut keluarga Keraton Yogyakarta setelah sabda raja dikeluarkan, Sri Sultan Hamengku Buwono X masih bisa menjadi pembicara Seminar Nasional Pendidikan TNI AL 2015 di Graha Samudera Bumimoro (GSB) Surabaya kemarin.
Bahkan, Sultan bisa mengingatkan bahwa abad ini momentum membangkitkan, mengembalikan kejayaan maritim Tanah Air. Pesan Sultan ini menjadi penyemangat peserta seminar bertema ”Tantangan dan Peluang Pembangunan Lima Pilar Poros Maritim Dunia”. Ada unsur TNI AL, perguruan tinggi dan lainnya ikut di dalamnya. Sultan mengulas lima pilar poros maritim, yakni budaya maritim.
Sekadar diketahui, lima pilar maritim meliputi budaya maritim, infrastruktur maritim, sumber daya alam, pertahanan maritim, dan diplomasi maritim. ”Pernah ada dua era kejayaan maritim di Tanah Air. Saat abad VII Sriwijaya jadi kekuatan besar di utara Malaka karena strategi maritimnya saat itu, dan abad XIV muncul kejayaan Majapahit yang juga menginternasional di dunia maritim.
Ada kecenderungan kejayaan pada abad VII dan XIV ada selisih 700 tahun untuk kejayaan maritim. Sekarang abad XXI (juga selisih 700 tahun) kejayaan maritim akan terulang. Abad ini saatnya mengembalikan kejayaan maritim,” tandas Sultan. Menurut dia, budaya maritim masa silam tergeser seiring masuknya Portugis yang menguasai lautan. Keberadaan kerajaan makin ke selatan, semakin ke pedalaman.
”Masyarakat maritim menjadi masyarakat pedalaman. Orang luar Jawa belajar ke Jawa yang tidak ada Fakultas Maritim, padahal (wilayah orang luar Jawa) wilayah maritim. Akhirnya pembangunan di luar Jawa mirip di Jawa. Bagaimana membangkitkan anak bangsa terkait budaya maritim?. Fakultas kelautan maritim harus ada,” tandasnya.
Kunci ditawarkan Sultan untuk membangkitkan sekaligus mendorong kekuatan maritim. Di antaranya, kepemimpinan berbasis kepulauan dengan kemampuan diplomasi, budaya maritim, kekuatan infrastruktur yang menghubungkan antarpulau yang cepat dan murah, dan kekuatan potensi laut yang luas. Poros maritim harus didukung sektor pertanian yang tangguh.
Sriwijaya dan Majapahit kuat di laut, namun tidak kuat di sektor pertanian. Kita perkuat sektor marine dan pertanian untuk tidak mengulang sejarah (runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit yang tidak memperkuat sektor pertanian). Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Marsetio mengingatkan sea power harus menjadi posisi tawar penting bagi Indonesia di mata dunia.
Pria asli Surabaya ini mencontohkan kebesaran China di abad XIII yang mengedepankan sea power hingga mampu menguasai dunia. ”Kekuatan sea power kita belum maksimal. Diplomasi laut harus jadi posisi tawar penting bagi Indonesia,” tukas Marsetio. Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Kelautan dan Menteri Lingkungan Hidup, menjabarkan istilah kelautan, kemaritiman, dan kebaharian. Menurutnya, kelautan mencakup sumber daya alam, kemaritiman terkait pertahanan. Sedangkan, kebaharian menyangkut dua-duanya.
Soeprayitno
Bahkan, Sultan bisa mengingatkan bahwa abad ini momentum membangkitkan, mengembalikan kejayaan maritim Tanah Air. Pesan Sultan ini menjadi penyemangat peserta seminar bertema ”Tantangan dan Peluang Pembangunan Lima Pilar Poros Maritim Dunia”. Ada unsur TNI AL, perguruan tinggi dan lainnya ikut di dalamnya. Sultan mengulas lima pilar poros maritim, yakni budaya maritim.
Sekadar diketahui, lima pilar maritim meliputi budaya maritim, infrastruktur maritim, sumber daya alam, pertahanan maritim, dan diplomasi maritim. ”Pernah ada dua era kejayaan maritim di Tanah Air. Saat abad VII Sriwijaya jadi kekuatan besar di utara Malaka karena strategi maritimnya saat itu, dan abad XIV muncul kejayaan Majapahit yang juga menginternasional di dunia maritim.
Ada kecenderungan kejayaan pada abad VII dan XIV ada selisih 700 tahun untuk kejayaan maritim. Sekarang abad XXI (juga selisih 700 tahun) kejayaan maritim akan terulang. Abad ini saatnya mengembalikan kejayaan maritim,” tandas Sultan. Menurut dia, budaya maritim masa silam tergeser seiring masuknya Portugis yang menguasai lautan. Keberadaan kerajaan makin ke selatan, semakin ke pedalaman.
”Masyarakat maritim menjadi masyarakat pedalaman. Orang luar Jawa belajar ke Jawa yang tidak ada Fakultas Maritim, padahal (wilayah orang luar Jawa) wilayah maritim. Akhirnya pembangunan di luar Jawa mirip di Jawa. Bagaimana membangkitkan anak bangsa terkait budaya maritim?. Fakultas kelautan maritim harus ada,” tandasnya.
Kunci ditawarkan Sultan untuk membangkitkan sekaligus mendorong kekuatan maritim. Di antaranya, kepemimpinan berbasis kepulauan dengan kemampuan diplomasi, budaya maritim, kekuatan infrastruktur yang menghubungkan antarpulau yang cepat dan murah, dan kekuatan potensi laut yang luas. Poros maritim harus didukung sektor pertanian yang tangguh.
Sriwijaya dan Majapahit kuat di laut, namun tidak kuat di sektor pertanian. Kita perkuat sektor marine dan pertanian untuk tidak mengulang sejarah (runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit yang tidak memperkuat sektor pertanian). Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Marsetio mengingatkan sea power harus menjadi posisi tawar penting bagi Indonesia di mata dunia.
Pria asli Surabaya ini mencontohkan kebesaran China di abad XIII yang mengedepankan sea power hingga mampu menguasai dunia. ”Kekuatan sea power kita belum maksimal. Diplomasi laut harus jadi posisi tawar penting bagi Indonesia,” tukas Marsetio. Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Kelautan dan Menteri Lingkungan Hidup, menjabarkan istilah kelautan, kemaritiman, dan kebaharian. Menurutnya, kelautan mencakup sumber daya alam, kemaritiman terkait pertahanan. Sedangkan, kebaharian menyangkut dua-duanya.
Soeprayitno
(bbg)