Kasus BPR Salatiga, Terdakwa Mohon Uang Pengganti Rp12,5 M Dihapus

Kamis, 16 Mei 2019 - 19:29 WIB
Kasus BPR Salatiga, Terdakwa Mohon Uang Pengganti Rp12,5 M Dihapus
Terdakwa kasus dugaan korupsi PD BPR Bank Salatiga M Habib Shaleh saat membacakan pembelaannya dalam sidang lanjutan kasus tersebut di Pengadilan Tipikor Semarang, Kamis (16/5/2019). Foto/SINDOnews/Angga Rosa
A A A
SEMARANG - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang kembali menggelar sidang kasus dugaan korupsi PD BPR Bank Salatiga dengan terdakwa M Habib Shaleh, Kamis (16/5/2019). Adapun agenda sidang adalah penyampaian nota pembelaan terdakwa.

Dalam persidangan Habib memohon kepada Majelis Hakim yang diketuai Andi Astara dengan hakim anggota Edi Sepjengkaria dan Kalimatul Jumroh untuk menghapus kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara senilai sekitar Rp12,508 miliar yang dibebankan kepada dirinya sebagaimana disebutkan dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Selain itu, dia juga memohon kepada Majelis Hakim untuk meringankan tuntutan dan denda. Alasannya, dirinya tidak melakukan korupsi dan tak pernah menggunakan dana hasil korupsi tersebut. “Mohon yang Mulia mempertimbangkan, saya tidak melakukan dan tidak menggunakan dana hasil korupsi tersebut namun saya diwajibkan mengganti kerugian negara yang jumlahnya mencapai Rp12.508.233.563. Ini tidak masuk akal yang Mulia. Sekali lagi mohon dipertimbangkan,” tutur Habib kepada Majelis Hakim.

Habib menjelaskan, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jumlah kerugian negara atau daerah pada PD BPR Bank Salatiga dihitung sebesar akumulasi dana nasabah yang diduga disalahgunakan oleh Dwi Widiyanto, Sunarti, Herlina, Bambang Sanyoto, Maskasno dan almarhum Joko Triono yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Itu dipaparkan dalam audit BPK pada 26 Desember 2018 dalam resum laporan halaman 5, point 9,” ujarnya.

Habib meyebutkan, selisih saldo PD BPR Bank Salatiga pada 2008 hingga 2018 sebesar Rp24.074.940.804. Berdasarkan keterangan Sunarti dan Dwi Widiyanto, uang tersebut digunakan untuk menutup selisih tabungan nasabah yang digunakan untuk kepentingan pribadi pegawai bank yang kemudian diakui dan dibenarkan dalam bentuk surat pernyataan, yaitu almarhum Joko Triono sebesar Rp67.850.000, Maskasno sebesar Rp128.583.595 dan Bambang Sanyoto sebesar Rp118.307.500.

Selain itu, juga digunakan untuk angsuran kredit almarhum Joko Triyono Rp175 juta dan Maskasno Rp94,866 juta. Jumlah totalnya kurang lebih Rp584 juta. “Itu semua ada buktinya,” ujar Habib.

Sedangkan sisanya, kata Habib, berdasarkan keterangan Sunarti dan Dwi Widiyanto digunakan untuk menutup kredit instansi, memberi hadiah, membayar kredit macet atau memperbaiki NPL, cash back, deposito nasabah. Namun yang bersangkutan tidak dapat menunjukan siapa yang menggunakan uang selisih kredit, siapa yang menerima hadiah, cash back dan tidak ada tanda terimanya serta tidak ada bukti setoran pembayaran kredit instansi dan kredit macet dari teller PD BPR Bank Salatiga sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Sisanya kemana dan untuk apa kalau bukan untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri sendiri,” beber Habib.

Dalam hal itu, lanjut Habib, dirinya menyadari dan mengakui telah lalai dalam menjalankan amanah memimpin PD BPR Bank Salatiga. “Namun demikian, itu bukan semata-mata kelalaian saya sepenuhnya. Karena dalam struktur organisasi direksi terdapat direktur utama dan direktur operasional dimana kewenangan pencairan deposito dan tabungan ada di bawah tanggungjawab direktur operasional,” terangnya.

Habib memohon Majelis Hakim bisa mempertimbangkan fakta persidangan dalam menjatuhkan vonis. “Saya mohon kepada yang mulia Majelis Hakim untuk menjatuhkan vonis yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya,” tandasnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7464 seconds (0.1#10.140)