Suka Duka Fatmawati Selama Menjadi Ibu Negara

Senin, 25 Agustus 2014 - 05:01 WIB
Suka Duka Fatmawati Selama Menjadi Ibu Negara
Suka Duka Fatmawati Selama Menjadi Ibu Negara
A A A
SOSOK Fatmawati tentu tak bisa dianggap remeh dalam perjalanan Indonesia. Wanita yang dinikahi Soekarno pada 1 Juni 1943 itu punya peran besar sebelum maupun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Cerita Pagi hari ini mengajak pembaca untuk mengetahui sekilas suka duka yang dialami putri pasangan Hassan Din-Siti Chadijah tersebut selama menjadi Ibu Negara.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan ditetapkannya Soekarno sebagai Presiden RI oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sejak saat itu pula bangsa Indonesia memiliki Kepala Negara sendiri dan seorang Ibu Negara, Fatmawati.

Tugas sebagai pemimpin di era revolusi tentu sangat berat. Beban berat itu juga dirasakan Fatmawati. Apalagi, sebagai negara berdaulat yang baru saja lahir, Indonesia langsung mendapat ujian. Belanda tidak bisa menerima Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dengan kekalahan Jepang dari Sekutu, Belanda menganggap daerah Indonesia yang dahulu dikuasai Belanda harus kembali dikembalikan ke Belanda. Tentu saja keinginan Belanda itu ditolak mentah-mentah bangsa Indonesia. Maka, terjadilah bentrokan yang membuat situasi tidak tenang.

Dalam buku Fatmawati Sukarno The First Lady yang ditulis Arifin Suryo Nugroho dan diterbitkan Penerbit Ombak, 2010, dijelaskan bahwa akibat situasi tidak kondusif itu, Fatmawati bersama suaminya harus berpindah-pindah untuk menghindari penangkapan oleh Belanda.

Demi keselamatan, setiap jelang Maghrib, Fatmawati harus berpisah dengan suaminya. Biasanya, Fatmawati dan Ibunya menginap di rumah kenalan baik. Bahkan, tak jarang, dengan kawalan golok dan pistol, mereka masuk lorong-lorong kampung menuju tempat rahasia di mana Soekarno sudah menunggu. Demi mengelabui musuh, selama sebulan, Fatmawati terpaksa menyamar sebagai tukang pecel dan suaminya menyamar sebagai tukang sayur dengan gaya berjalan pincang.

Saat Soekarno dan Hatta mengunjungi Banten, Fatmawati turut serta tanpa membawa anak pertamanya Muhammad Guntur Sukarnoputra yang hampir 2,5 bulam dititipkan kepada neneknya di Bogor. Nah, ketika mendengar suasana Bogor genting, naluri keibuan Fatmawati mengkhawatirkan kondisi Guntur. Dia pun meminta supaya Guntur disusul. Singkat cerita, lima menit setelah rombongan Guntur melewati sebuah jembatan di Bogor, sebuah mortir Sekutu menghancurkan jembatan tersebut. Beruntung, Guntur dan rombongan tiba di Banten dengan selamat.

Karena kondisi Jakarta terus mencekam, Soekarno dan keluarga diamankan di daerah Sukanegara, Jawa Barat. Tiada listrik di sana. Kamar mandinya pun seadanya. Perkembangan Jakarta yang tak kunjung aman mengharuskan pusat pemerintahan RI dipindah ke Yogyakarta. Presiden dan keluarganya yang tinggal di Pegangsaan Timur 56 pun diboyong secara diam-diam ke Yogyakarta. Setelah perjalanan satu malam dengan menggunakan kereta, mereka tiba dengan selamat di Yogyakarta. Rombongan Soekarno dibawa ke Pakualaman untuk beristirahat dan tidur, sebelum akhirnya pindah ke Gedung Agung yang direnovasi. Fatmawati juga yang mengatur letak perabotan rumah tangga di dalam dan luar gedung.

Meski berada dalam masa-masa sulit, Fatmawati berusaha menciptakan suasana kekeluargaan di antara para tokoh dan keluarga tokoh yang tinggal di sana. Selama pusat pemerintahan berada di Yogyakarta, Fatmawati sering pergi mengikuti Soekarno yang meninjau daerah-daerah, sekaligus menyampaikan pidato agar rakyat mempertahankan kemerdekaan dan membangun negara.

Peristiwa yang tidak diduga-duga terjadi saat kunjungan ke Cirebon. Para pengunjung rapat meminta Fatmawati sebagai Ibu Negara untuk naik ke podium. Fatmawati tak mengira ada permintaan tersebut. Fatmawati lalu meminta izin pada suaminya. Soekarno mengizinkan.

"Suara-suara teriakan menjadi tenang kembali. Aku berpikir kalau tadi para pemimpin sudah memberikan pidato yang berisikan perjuangan rakyat atau politik, maka aku akan perdengarkan ayat-ayat dari Alquran. Ayat-ayat suci yang aku pilih ialah Alfatihah. Aku baca surat ini karena aku tahu bahwa kami di dalam kancah perjuangan yang maha dahsyat. Semoga ayat inilah yang menjadi azimat kami."

Saat Fatmawati meninggalkan podium, tepuk tangan dari para hadirin mengiringi langkahnya. Ya, itulah pertama kalinya Fatmawati sebagai Ibu Negara naik ke atas podium di muka rakyatnya.

Tamasya tentu menjadi kebutuhan setiap orang, termasuk keluarga Soekarno. Akhir pekan sering juga digunakan keluarga presiden untuk bertamasya ke luar kota. Fatmawati sering juga jalan-jalan keluar Kota Yogya menikmati pemandangan alam dan melepaskan sejenak beban berat tugas-tugas kenegaraan. Salah satu objek wisata yang sering dikunjungi adalah Pantai Selatan Parangtritis. Untuk mencapai Parangtritis, harus menyeberang Sungai Opak di dekat Kecamatan Kretek. Waktu itu belum ada jembatan. Fatmawati terpaksa digendong polisi pengawal pribadinya untuk menyeberangi Sungai Opak.

Begitu juga saat Fatmawati pergi ke Gua Selarong, tempat pertahanan Pangeran Diponegoro sewaktu melawan Belanda antara 1825-1930. Untuk mencapai Gua Selarong, harus melalui sungai. Pengawal pribadinya, Prihatin, selalu membantu Fatmawati menyeberangi sungai itu.

Dikisahkan pula, satu waktu ada pengumpulan makanan yang tahan lama untuk dikirimkan kepada tentara republik yang bergerilya di Jawa Barat. Bersama ibu-ibu, Fatmawati yang saat itu hamil anak kedua, tidak mau berpangku tangan. Ia turut memasak. Fatmawati ingin memasak rendang yang tahan lama. Dia kemudian meminta tolong seorang pembantu untuk membelikan daging di pasar. Dengan alasan tidak ada mobil, pembantu itu memberikan jawaban yang tidak mengenakkan hati Ibu Negara. Fatmawati pun memilih pergi ke pasar sendirian, dengan menumpang dokar.

"Untuk membeli daging aku minta tolong kepada kusir. Aku pergi tanpa pengawal. Memang sudah tabiatku, manakala niat baikku tidak ditanggapi orang maka aku berani bertindak sendiri."

Saat tentara kolonial Belanda menyerang daerah RI pada Juli 1947, Fatmawati dan Soekarno berkali-kali dipindahkan ke tempat aman, seperti Kandangan Madiun. Di masa-masa itu, untuk menghibur hati yang gelisah, sering ia mengajak Guntur ke sebuah sungai yang airnya sangat jernih. Di sana, keduanya bercengkerama dengan para pengawal. Guntur yang saat itu sudah bisa jalan, selalu minta gendong. Dan, para pengawal bergantian menggendongnya, bahkan mengajak Guntur berkuda.

Serangan tentara Belanda ke wilayah Indonesia dihentikan 4 Agustus 1947. Setelah situasi berangsur-angsur aman, Soekarno dan keluarga kembali ke Yogyakarta. Soekarno sibuk dengan rapat kabinet. Dan, seperti biasanya, Fatmawati tetap bersedia melayani dan menyediakan perlengkapan rapat.

"Pokoknya Ibu Negara harus memberi contoh dalam segala hal, baik bersikap ataupun bertingkah laku. Dalam hal berpakaian atau berhias diri harus sederhana."

* Bahan tulisan Cerita Pagi ini diambil dari buku Fatmawati Sukarno The First Lady, karya Arifin Suryo Nugroho, Penerbit Ombak, 2010.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5907 seconds (0.1#10.140)