Walisongo dari China, Benarkah?

Sabtu, 16 Mei 2015 - 05:00 WIB
Walisongo dari China, Benarkah?
Walisongo dari China, Benarkah?
A A A
Ternyata, ada sepenggal versi lain yang kontroversi terkait asal usul Walisongo di Indonesia. Walisongo dikisahkan berasal dari China. Benarkah?

Adalah Profesor Slamet Mulyana yang menulis pernyataan tersebut pada 1968 dalam bukunya, "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara".

Namun, dilarang beredar karena dinilai dapat memicu perdebatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antaragama).

Menurut dia, Walisongo dibentuk oleh Sunan Ampel pada tahun 1474. Mereka terdiri dari sembilan orang wali; Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo-Toh A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu-Ja Tik Su, Sunan Muria, Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/ Tan Eng Hoat, dan Sunan Giri yang merupakan cucu dari Bong Swie Ho.

Diceritakan pula, Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada 1401 di Champa (Kamboja). Saat itu, banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Islam yang bermukim di sana. Dia tiba di Jawa pada 1443. Lalu, 36 tahun kemudian, yakni pada 1479, dia mendirikan Masjid Demak.

Sementara, kata Walisongo yang selama ini diartikan sembilan (sanga/songo) wali, dinilai masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain.

Ada yang berpendapat bahwa kata "sanga" (dilafalkan sebagai "songo" dalam Bahasa Jawa) berasal dari kata "tsana" dari bahasa Arab, yang berarti mulia. Pendapat lainnya menyatakan, kata "sanga" berasal dari kata "sana" dalam bahasa Jawa yang berarti tempat.

Dinyatakan pula, kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisongo, dipercaya berasal dari dialek Hokkian "Su" dan "Nan". "Su" merupakan kependekan dari kata "Suhu atau Saihu" yang berarti guru.

Disebut guru, karena para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. Sedangkan, "Nan" berarti berarti selatan, sebab para penganut aliran Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.

Belanda, yang sempat "berperang" dengan para wali itu sempat tidak mempercayai bahwa sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Kemudian, untuk memastikannya, pada 1928, Residen Poortman ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk menyelidikinya.

Poortman lalu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa. Dia menemukan naskah kuno berusia ratusan tahun sebanyak tiga pedati.

Lalu, arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan, yang menulis buku, Tuanku Rao, yang juga kontroversial. Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini. Wallahu a'lam bishawab.

Sumber:

www.indospiritual.com
D. A. Rinkes "De heiligen van Java"
Jan Edel "Hikajat Hasanoeddin"
B. J. O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang
Utrecht: Den Boer – G.W.J. Drewes, 1969 The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff
De Graaf and Pigeaud "De eerste Moslimse Vorstendommen op Java"
"Islamic states in Java 1500 -1700?.
Amen Budiman "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia"
Prof. Slamet Mulyana "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara"
(Diolah dari berbagai sumber)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 4.8998 seconds (0.1#10.140)