Menyayat Hati! Perjuangan Mahasiswi Miskin Tak Mampu Bayar Uang Kuliah hingga Akhirnya Meninggal Dunia
loading...
A
A
A
"Memang ada levelnya UKT itu. Bukan yang tertinggi juga. Level terendah itu Rp500.000 per semester,"kata dia.
Meski demikian, dengan semangat yang tinggi Riska berangkat ke Yogyakarta berbekal uang Rp139.000. Untuk biaya hidup Riska bahkan bekerja paruh waktu hingga makan seadanya. Dia juga berjuang untuk mendapatkan keringanan ke pihak kampus.
Semangat Riska untuk berkuliah tetap tinggi meski harus dibantu guru-guru sekolah dan rekan kampusnya dalam membayar UKT sembari terus meminta keringanan UKT. Namun upaya mendapatkan keringanan UKT harus kandas karena birokrasi.
"Bahkan dia kayak dipingpong. Padahal untuk ke kampus Riska harus jalan kaki dari kosnya di daerah Pogung. Riska memang tak memiliki biaya untuk sekadar memanggil ojek online,"terang dia.
Riska baru bisa minta keringanan setelah semester dua. Pihak kampus pun akhirnya menyanggupi keringanan UKT. Namun UNY hanya mengurangi Rp600.000 dari total UKT yang harus dibayarkan.
Riskapun kembali mengalami kesulitan membayar UKT pada semester ketiga. Riska sudah berjuang agar tetap bisa kuliah baik melalui bekerja paruh waktu ataupun menghemat pengeluarannya.
Bahkan suatu saat temannya memberinya abon, maka abon itu pun jadi lauk makan nasi selama beberapa hari di kos. Begitu pula untuk keperluan mandi di kos. Riska banyak dibantu teman-teman kos yang bersimpati kepadanya.
"Kabar terakhir, Riska mengajukan cuti. Riska sama sekali tak masuk kuliah dan tiba-tiba dirawat di rumah sakit hingga akhirnya meninggal dunia," jelasnya.
Peristiwa ini tentu membuka mata berbagai pihak jika UKT ternyata menjadi kendala mahasiswa. Bahkan berdasarkan survei internal komunitas kampus @unybergerak, dari seribuan mahasiswa yang mengisi angket tercatat 97 persen merasa UKT mereka tidak sesuai kemampuan ekonominya.
Sementara Rektor UNY, Sumaryanto mengaku prihatin akan kabar Riska yang kesulitan membayar UKT yang akhirnya meninggal dunia. Dengan adanya kasus Riska, Sumaryanto akan segera menindaklanjuti permasalahan itu.
Meski demikian, dengan semangat yang tinggi Riska berangkat ke Yogyakarta berbekal uang Rp139.000. Untuk biaya hidup Riska bahkan bekerja paruh waktu hingga makan seadanya. Dia juga berjuang untuk mendapatkan keringanan ke pihak kampus.
Semangat Riska untuk berkuliah tetap tinggi meski harus dibantu guru-guru sekolah dan rekan kampusnya dalam membayar UKT sembari terus meminta keringanan UKT. Namun upaya mendapatkan keringanan UKT harus kandas karena birokrasi.
"Bahkan dia kayak dipingpong. Padahal untuk ke kampus Riska harus jalan kaki dari kosnya di daerah Pogung. Riska memang tak memiliki biaya untuk sekadar memanggil ojek online,"terang dia.
Riska baru bisa minta keringanan setelah semester dua. Pihak kampus pun akhirnya menyanggupi keringanan UKT. Namun UNY hanya mengurangi Rp600.000 dari total UKT yang harus dibayarkan.
Riskapun kembali mengalami kesulitan membayar UKT pada semester ketiga. Riska sudah berjuang agar tetap bisa kuliah baik melalui bekerja paruh waktu ataupun menghemat pengeluarannya.
Bahkan suatu saat temannya memberinya abon, maka abon itu pun jadi lauk makan nasi selama beberapa hari di kos. Begitu pula untuk keperluan mandi di kos. Riska banyak dibantu teman-teman kos yang bersimpati kepadanya.
"Kabar terakhir, Riska mengajukan cuti. Riska sama sekali tak masuk kuliah dan tiba-tiba dirawat di rumah sakit hingga akhirnya meninggal dunia," jelasnya.
Peristiwa ini tentu membuka mata berbagai pihak jika UKT ternyata menjadi kendala mahasiswa. Bahkan berdasarkan survei internal komunitas kampus @unybergerak, dari seribuan mahasiswa yang mengisi angket tercatat 97 persen merasa UKT mereka tidak sesuai kemampuan ekonominya.
Sementara Rektor UNY, Sumaryanto mengaku prihatin akan kabar Riska yang kesulitan membayar UKT yang akhirnya meninggal dunia. Dengan adanya kasus Riska, Sumaryanto akan segera menindaklanjuti permasalahan itu.