Menyayat Hati! Perjuangan Mahasiswi Miskin Tak Mampu Bayar Uang Kuliah hingga Akhirnya Meninggal Dunia
loading...
A
A
A
JOGJA - Perjuangan Nur Riska Fitri Aningsih, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk tetap bisa kuliah berakhir sudah. Nur Riska meninggal dunia dan kisahnya viral serta menjadi trending topik di media sosial.
Dia meninggal usai didiagnosa sakit hipertensi parah yang dideritanya pada 9 Maret 2022. Sebelum meninggal, perempuan ini sempat berkali-kali stres tak bisa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tiap semester agar bisa terus bisa kuliah di kampusnya.
Perjuangannya kemudian diunggah oleh teman satu kampus sekaligus kakak tingkat Riska, Rachmad Ganta Semendawai (24) melalui akun Twitter @egantas.
Mahasiswa asal Palembang ini lewat twiternya @rgantas mengungkapkan, Riska tinggal di sebuah kamar kos. Dia merupakan anak dari penjual gerobak sayur di pinggiran Jalan Purbalingga. Dia anak pertama dari lima bersaudara dan semuanya masih lulus sekolah.
"Riska mengambil jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY. Selama kuliah dia terkendala dan tidak bisa membayar UKT," jelas Ganta.
Menurut Ganta, Riska mengalami permasalahan UKT karena harus membayar sebesar Rp3,14 juta. Saat hendak mendaftar tersebut dia sebenarnya sudah memilih pembayaran UKT sesuai kemampuan pendapatan orang tuanya.
Awalnya ketika mengunggah berkas saat hendak kuliah dulu, dia mengalami kendala. Di rumah dia tidak ada komputer atau laptop sehingga Riska harus meminjam handphone milik tetangganya.
Namun handphone milik tetangganya tersebut bukanlah android yang canggih hingga akhirnya berkas milik Riska tidak terkirim. Dan akhirnya nominal UKT yang muncul sebesar Rp3,14 juta per semesternya.
"Memang ada levelnya UKT itu. Bukan yang tertinggi juga. Level terendah itu Rp500.000 per semester,"kata dia.
Meski demikian, dengan semangat yang tinggi Riska berangkat ke Yogyakarta berbekal uang Rp139.000. Untuk biaya hidup Riska bahkan bekerja paruh waktu hingga makan seadanya. Dia juga berjuang untuk mendapatkan keringanan ke pihak kampus.
Semangat Riska untuk berkuliah tetap tinggi meski harus dibantu guru-guru sekolah dan rekan kampusnya dalam membayar UKT sembari terus meminta keringanan UKT. Namun upaya mendapatkan keringanan UKT harus kandas karena birokrasi.
"Bahkan dia kayak dipingpong. Padahal untuk ke kampus Riska harus jalan kaki dari kosnya di daerah Pogung. Riska memang tak memiliki biaya untuk sekadar memanggil ojek online,"terang dia.
Riska baru bisa minta keringanan setelah semester dua. Pihak kampus pun akhirnya menyanggupi keringanan UKT. Namun UNY hanya mengurangi Rp600.000 dari total UKT yang harus dibayarkan.
Riskapun kembali mengalami kesulitan membayar UKT pada semester ketiga. Riska sudah berjuang agar tetap bisa kuliah baik melalui bekerja paruh waktu ataupun menghemat pengeluarannya.
Bahkan suatu saat temannya memberinya abon, maka abon itu pun jadi lauk makan nasi selama beberapa hari di kos. Begitu pula untuk keperluan mandi di kos. Riska banyak dibantu teman-teman kos yang bersimpati kepadanya.
"Kabar terakhir, Riska mengajukan cuti. Riska sama sekali tak masuk kuliah dan tiba-tiba dirawat di rumah sakit hingga akhirnya meninggal dunia," jelasnya.
Peristiwa ini tentu membuka mata berbagai pihak jika UKT ternyata menjadi kendala mahasiswa. Bahkan berdasarkan survei internal komunitas kampus @unybergerak, dari seribuan mahasiswa yang mengisi angket tercatat 97 persen merasa UKT mereka tidak sesuai kemampuan ekonominya.
Sementara Rektor UNY, Sumaryanto mengaku prihatin akan kabar Riska yang kesulitan membayar UKT yang akhirnya meninggal dunia. Dengan adanya kasus Riska, Sumaryanto akan segera menindaklanjuti permasalahan itu.
"Tentu kami tidak ingin menimpa mahasiswa lain yang kesulitan secara ekonomi," katanya.
Sunaryanta menambahkan sebenarnya ada beberapa cara untuk mengatasi persoalan UKT tersebut. Mahasiswa bisa mengajukan keringanan UKT, di antaranya berkirim surat langsung kepada rektor.
"Kalau bukan UNY yang membantu, saya secara pribadi yang akan membantu. Kami tidak ingin keluarga besar UNY sampai tidak selesai studinya hanya karena masalah uang, bisa ajukan surat ke rektor," ujarnya.
Dia meninggal usai didiagnosa sakit hipertensi parah yang dideritanya pada 9 Maret 2022. Sebelum meninggal, perempuan ini sempat berkali-kali stres tak bisa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tiap semester agar bisa terus bisa kuliah di kampusnya.
Perjuangannya kemudian diunggah oleh teman satu kampus sekaligus kakak tingkat Riska, Rachmad Ganta Semendawai (24) melalui akun Twitter @egantas.
Mahasiswa asal Palembang ini lewat twiternya @rgantas mengungkapkan, Riska tinggal di sebuah kamar kos. Dia merupakan anak dari penjual gerobak sayur di pinggiran Jalan Purbalingga. Dia anak pertama dari lima bersaudara dan semuanya masih lulus sekolah.
"Riska mengambil jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY. Selama kuliah dia terkendala dan tidak bisa membayar UKT," jelas Ganta.
Menurut Ganta, Riska mengalami permasalahan UKT karena harus membayar sebesar Rp3,14 juta. Saat hendak mendaftar tersebut dia sebenarnya sudah memilih pembayaran UKT sesuai kemampuan pendapatan orang tuanya.
Awalnya ketika mengunggah berkas saat hendak kuliah dulu, dia mengalami kendala. Di rumah dia tidak ada komputer atau laptop sehingga Riska harus meminjam handphone milik tetangganya.
Namun handphone milik tetangganya tersebut bukanlah android yang canggih hingga akhirnya berkas milik Riska tidak terkirim. Dan akhirnya nominal UKT yang muncul sebesar Rp3,14 juta per semesternya.
"Memang ada levelnya UKT itu. Bukan yang tertinggi juga. Level terendah itu Rp500.000 per semester,"kata dia.
Meski demikian, dengan semangat yang tinggi Riska berangkat ke Yogyakarta berbekal uang Rp139.000. Untuk biaya hidup Riska bahkan bekerja paruh waktu hingga makan seadanya. Dia juga berjuang untuk mendapatkan keringanan ke pihak kampus.
Semangat Riska untuk berkuliah tetap tinggi meski harus dibantu guru-guru sekolah dan rekan kampusnya dalam membayar UKT sembari terus meminta keringanan UKT. Namun upaya mendapatkan keringanan UKT harus kandas karena birokrasi.
"Bahkan dia kayak dipingpong. Padahal untuk ke kampus Riska harus jalan kaki dari kosnya di daerah Pogung. Riska memang tak memiliki biaya untuk sekadar memanggil ojek online,"terang dia.
Riska baru bisa minta keringanan setelah semester dua. Pihak kampus pun akhirnya menyanggupi keringanan UKT. Namun UNY hanya mengurangi Rp600.000 dari total UKT yang harus dibayarkan.
Riskapun kembali mengalami kesulitan membayar UKT pada semester ketiga. Riska sudah berjuang agar tetap bisa kuliah baik melalui bekerja paruh waktu ataupun menghemat pengeluarannya.
Bahkan suatu saat temannya memberinya abon, maka abon itu pun jadi lauk makan nasi selama beberapa hari di kos. Begitu pula untuk keperluan mandi di kos. Riska banyak dibantu teman-teman kos yang bersimpati kepadanya.
"Kabar terakhir, Riska mengajukan cuti. Riska sama sekali tak masuk kuliah dan tiba-tiba dirawat di rumah sakit hingga akhirnya meninggal dunia," jelasnya.
Peristiwa ini tentu membuka mata berbagai pihak jika UKT ternyata menjadi kendala mahasiswa. Bahkan berdasarkan survei internal komunitas kampus @unybergerak, dari seribuan mahasiswa yang mengisi angket tercatat 97 persen merasa UKT mereka tidak sesuai kemampuan ekonominya.
Sementara Rektor UNY, Sumaryanto mengaku prihatin akan kabar Riska yang kesulitan membayar UKT yang akhirnya meninggal dunia. Dengan adanya kasus Riska, Sumaryanto akan segera menindaklanjuti permasalahan itu.
"Tentu kami tidak ingin menimpa mahasiswa lain yang kesulitan secara ekonomi," katanya.
Sunaryanta menambahkan sebenarnya ada beberapa cara untuk mengatasi persoalan UKT tersebut. Mahasiswa bisa mengajukan keringanan UKT, di antaranya berkirim surat langsung kepada rektor.
"Kalau bukan UNY yang membantu, saya secara pribadi yang akan membantu. Kami tidak ingin keluarga besar UNY sampai tidak selesai studinya hanya karena masalah uang, bisa ajukan surat ke rektor," ujarnya.
(shf)