Kisah Raden Mas Said Pendiri Puro Mangkunegaran, Lokasi Pernikahan Kaesang-Erina
loading...
A
A
A
Bahkan, beberapa kali pihak VOC mengajak berunding keduanya, namun hal itu mereka tolak. Namun, pada 1752-1753 RM Said dan Mangkubumi mengalami perpecahan, bahkan berperang satu sama lain. Hal ini tentu menguntungkan pihak VOC.
Hingga akhirnya, pada 13 Februari 1755 diadakan Perjanjian Giyanti, di mana VOC menyetujui permintaan Mangkubumi untuk membagi Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
RM Said pun ditinggalkan tanpa memiliki sekutu. Merasa haknya belum terpenuhi, ia pun semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III, Hamengku Buwono I, dan VOC. Namun RM Said terus melakukan perlawanan hingg VOC dan sekutunya kewalahan.
Diceritakan, RM Said memimpin pasukan melawan tiga kekuatan sekaligus; VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I.
Dia pun mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap peperangan selalu membawa kematian bagi musuh- musuhnya. Semboyannya yang paling dikenal adalah tiji tibèh, kependekan dari mati siji, mati kabèh yang artinya gugur satu, gugur semua dan mukti siji, mukti kabèh yang artinya sejahtera satu, sejahtera semua.
Pemberontakan itu pun berakhir pada 17 Maret 1757 dengan Perjanjian Salatiga antara RM Said dengan PB III yang membagi wilayah Kerajaan Mataram untuk kali kedua setelah Perjanjian Giyanti dua tahun sebelumnya. Perjanjian Salatiga ini menandai berdirinya Mangkunegaran.
RM Said atau Mangkunegara I pun kemudian menjalani situasi yang baru, kehidupan damai di sebuah istana, Pura Mangkunegaran, yang pada awalnya terasa asing baginya. Mangkunegara I wafat pada usia 70 tahun di kediamannya di Surakarta, pada 28 Desember 1795.
Dia dimakamkan di Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar. Pada 1983, Mangkunegara I ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.
Sumber: Sindonews/Okezone/berbagai sumber
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
Hingga akhirnya, pada 13 Februari 1755 diadakan Perjanjian Giyanti, di mana VOC menyetujui permintaan Mangkubumi untuk membagi Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
RM Said pun ditinggalkan tanpa memiliki sekutu. Merasa haknya belum terpenuhi, ia pun semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III, Hamengku Buwono I, dan VOC. Namun RM Said terus melakukan perlawanan hingg VOC dan sekutunya kewalahan.
Diceritakan, RM Said memimpin pasukan melawan tiga kekuatan sekaligus; VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I.
Dia pun mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap peperangan selalu membawa kematian bagi musuh- musuhnya. Semboyannya yang paling dikenal adalah tiji tibèh, kependekan dari mati siji, mati kabèh yang artinya gugur satu, gugur semua dan mukti siji, mukti kabèh yang artinya sejahtera satu, sejahtera semua.
Pemberontakan itu pun berakhir pada 17 Maret 1757 dengan Perjanjian Salatiga antara RM Said dengan PB III yang membagi wilayah Kerajaan Mataram untuk kali kedua setelah Perjanjian Giyanti dua tahun sebelumnya. Perjanjian Salatiga ini menandai berdirinya Mangkunegaran.
RM Said atau Mangkunegara I pun kemudian menjalani situasi yang baru, kehidupan damai di sebuah istana, Pura Mangkunegaran, yang pada awalnya terasa asing baginya. Mangkunegara I wafat pada usia 70 tahun di kediamannya di Surakarta, pada 28 Desember 1795.
Dia dimakamkan di Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar. Pada 1983, Mangkunegara I ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.
Sumber: Sindonews/Okezone/berbagai sumber
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
(nic)