Kisah Raden Mas Said Pendiri Puro Mangkunegaran, Lokasi Pernikahan Kaesang-Erina
loading...
A
A
A
RADEN Mas Said adalah putra dari Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro dan Raden Ayu Wulan yang wafat saat melahirkannya pada tanggal 8 April 1725 Masehi di Kartasura. Dia juga dikenal Pangeran Sambernyawa.
Dia adalah pendiri Puro Mangkunegaran, yang akan menjadi lokasi pernikahan putra bungsu Presiden RI, Joko Widodo, Kaesang Pangarep-Erina Gudono.
Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dan berhak memiliki wilayah otonom berstatus kadipaten yang statusnya di bawah kasultanan dan kasunanan. Sehingga penguasa kadipaten tidak berhak menyandang gelar Sultan atau Sunan, setelah Perjanjian Salatiga antara RM Said dengan PB III yang membagi wilayah Kerajaan Mataram untuk kali kedua setelah Perjanjian Giyanti dua tahun sebelumnya. Perjanjian Salatiga ini menandai berdirinya Mangkunegaran.
RM Said pun mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) dan memilih gelar menggunakan nama ayahnya dan bergelar KGPAA Mangkunegara I. Kadipaten Mangkunegaran pun diberi wilayah yang luasnya hampir setengah dari wilayah Kasunanan Surakarta yang mencakup bagian utara Kota Surakarta, yakni Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, dan sebagian wilayah Kecamatan Ngawen, serta Semin di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Keberhasilan Raden Mas Said mendapatkan pengakuan dan wilayah kekuasaan pun tidak mudah, dia bahkan dicap sebagai pemberontak oleh VOC bersama sekutunya.
Saat Raden Mas Said berusia 2 tahun, dia harus kehilangan ayahandanya karena dibuang oleh Belanda ke Tanah Kaap (Ceylon) atau Srilanka. Hal itu karena ulah keji berupa fitnah dari Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo.
Akibatnya, Raden Mas Said mengalami masa kecil yang jauh dari selayaknya seorang bangsawan Keraton. Raden Mas Said menghabiskan masa kecil bersama anak-anak para abdi dalem lainnya, sehingga mengerti betul bagaimana kehidupan kawula alit.
Dari situ, Raden Mas Said menjadi seorang yang mempunyai sifat peduli terhadap sesama dan kebersamaan yang tinggi karena kedekatannya dengan abdi dalem yang merupakan rakyat kecil biasa.
Pada suatu saat terjadi peristiwa yang membuat Raden Mas Said resah, karena di Keraton terjadi ketidakadilan yang dilakukan oleh Raja (Paku Buwono II) yang menempatkan Raden Mas Said hanya sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) atau sejajar dengan Abdi Dalem Manteri.
Padahal sesuai dengan derajat dan kedudukan, Raden Mas Said seharusnya menjadi Pangeran Sentana. Melihat hal ini, Raden Mas Said ingin mengadukan ketidakadilan kepada sang Raja, akan tetapi pada saat di Keraton oleh sang Patih Kartasura ditanggapi dingin. Dan dengan tidak berkata apa-apa sang Patih memberikan sekantong emas kepada Raden Mas Said.
Perilaku sang Patih ini membuat Raden Mas Said malu dan sangat marah, karena beliau ingin menuntut keadilan bukan untuk mengemis. Raden Mas Said bersama pamannya Ki Wiradiwangsa dan Raden Sutawijaya yang mengalami nasib yang sama, mengadakan perundingan untuk membicarakan ketidakadilan yang menimpa mereka.
Akhirnya Raden Mas Said memutuskan untuk keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap Raja. Raden Mas Said bersama pengikutnya mulai mengembara mencari suatu daerah yang aman untuk kembali menyusun kekuatan.
Raden Mas Said bersama para pengikutnya tiba di suatu daerah dan mulai menggelar pertemuan-pertemuan untuk menghimpun kembali kekuatan dan mendirikan sebuah pemerintahan biarpun masih sangat sederhana.
Dia pun membangun pasukan untuk melawan pasukan VOC dan pemerintahan Mataram yang kala itu bersekutu dengan VOC.
RM Said memulai perjuangannya pada 1740 saat berusia 14 tahun. Musuhnya saat itu adalah Pakubuwana II dan tentara VOC. Pada 1746, RM Said bergabung dengan pamannya, Mangkubumi, untuk melawan Keraton Surakarta dan VOC. Mangkubumi yang merupakan pemimpin senior berperan sebagai panglima besarnya.
Sementara, RM Said menjadi pemimpin militernya yang berbakat dan berpengalaman, pengikut yang loyal dan banyak dikagumi. Dua kekuatan ini menjadikan mereka sangat kuat, bahkan dinilai sebagai kekuatan paling besar dan berbahaya yang pernah dihadapi tentara VOC di Jawa.
Bahkan, beberapa kali pihak VOC mengajak berunding keduanya, namun hal itu mereka tolak. Namun, pada 1752-1753 RM Said dan Mangkubumi mengalami perpecahan, bahkan berperang satu sama lain. Hal ini tentu menguntungkan pihak VOC.
Hingga akhirnya, pada 13 Februari 1755 diadakan Perjanjian Giyanti, di mana VOC menyetujui permintaan Mangkubumi untuk membagi Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
RM Said pun ditinggalkan tanpa memiliki sekutu. Merasa haknya belum terpenuhi, ia pun semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III, Hamengku Buwono I, dan VOC. Namun RM Said terus melakukan perlawanan hingg VOC dan sekutunya kewalahan.
Diceritakan, RM Said memimpin pasukan melawan tiga kekuatan sekaligus; VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I.
Dia pun mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap peperangan selalu membawa kematian bagi musuh- musuhnya. Semboyannya yang paling dikenal adalah tiji tibèh, kependekan dari mati siji, mati kabèh yang artinya gugur satu, gugur semua dan mukti siji, mukti kabèh yang artinya sejahtera satu, sejahtera semua.
Pemberontakan itu pun berakhir pada 17 Maret 1757 dengan Perjanjian Salatiga antara RM Said dengan PB III yang membagi wilayah Kerajaan Mataram untuk kali kedua setelah Perjanjian Giyanti dua tahun sebelumnya. Perjanjian Salatiga ini menandai berdirinya Mangkunegaran.
RM Said atau Mangkunegara I pun kemudian menjalani situasi yang baru, kehidupan damai di sebuah istana, Pura Mangkunegaran, yang pada awalnya terasa asing baginya. Mangkunegara I wafat pada usia 70 tahun di kediamannya di Surakarta, pada 28 Desember 1795.
Dia dimakamkan di Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar. Pada 1983, Mangkunegara I ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.
Sumber: Sindonews/Okezone/berbagai sumber
Dia adalah pendiri Puro Mangkunegaran, yang akan menjadi lokasi pernikahan putra bungsu Presiden RI, Joko Widodo, Kaesang Pangarep-Erina Gudono.
Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dan berhak memiliki wilayah otonom berstatus kadipaten yang statusnya di bawah kasultanan dan kasunanan. Sehingga penguasa kadipaten tidak berhak menyandang gelar Sultan atau Sunan, setelah Perjanjian Salatiga antara RM Said dengan PB III yang membagi wilayah Kerajaan Mataram untuk kali kedua setelah Perjanjian Giyanti dua tahun sebelumnya. Perjanjian Salatiga ini menandai berdirinya Mangkunegaran.
RM Said pun mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) dan memilih gelar menggunakan nama ayahnya dan bergelar KGPAA Mangkunegara I. Kadipaten Mangkunegaran pun diberi wilayah yang luasnya hampir setengah dari wilayah Kasunanan Surakarta yang mencakup bagian utara Kota Surakarta, yakni Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, dan sebagian wilayah Kecamatan Ngawen, serta Semin di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Keberhasilan Raden Mas Said mendapatkan pengakuan dan wilayah kekuasaan pun tidak mudah, dia bahkan dicap sebagai pemberontak oleh VOC bersama sekutunya.
Saat Raden Mas Said berusia 2 tahun, dia harus kehilangan ayahandanya karena dibuang oleh Belanda ke Tanah Kaap (Ceylon) atau Srilanka. Hal itu karena ulah keji berupa fitnah dari Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo.
Akibatnya, Raden Mas Said mengalami masa kecil yang jauh dari selayaknya seorang bangsawan Keraton. Raden Mas Said menghabiskan masa kecil bersama anak-anak para abdi dalem lainnya, sehingga mengerti betul bagaimana kehidupan kawula alit.
Dari situ, Raden Mas Said menjadi seorang yang mempunyai sifat peduli terhadap sesama dan kebersamaan yang tinggi karena kedekatannya dengan abdi dalem yang merupakan rakyat kecil biasa.
Pada suatu saat terjadi peristiwa yang membuat Raden Mas Said resah, karena di Keraton terjadi ketidakadilan yang dilakukan oleh Raja (Paku Buwono II) yang menempatkan Raden Mas Said hanya sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) atau sejajar dengan Abdi Dalem Manteri.
Padahal sesuai dengan derajat dan kedudukan, Raden Mas Said seharusnya menjadi Pangeran Sentana. Melihat hal ini, Raden Mas Said ingin mengadukan ketidakadilan kepada sang Raja, akan tetapi pada saat di Keraton oleh sang Patih Kartasura ditanggapi dingin. Dan dengan tidak berkata apa-apa sang Patih memberikan sekantong emas kepada Raden Mas Said.
Perilaku sang Patih ini membuat Raden Mas Said malu dan sangat marah, karena beliau ingin menuntut keadilan bukan untuk mengemis. Raden Mas Said bersama pamannya Ki Wiradiwangsa dan Raden Sutawijaya yang mengalami nasib yang sama, mengadakan perundingan untuk membicarakan ketidakadilan yang menimpa mereka.
Akhirnya Raden Mas Said memutuskan untuk keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap Raja. Raden Mas Said bersama pengikutnya mulai mengembara mencari suatu daerah yang aman untuk kembali menyusun kekuatan.
Raden Mas Said bersama para pengikutnya tiba di suatu daerah dan mulai menggelar pertemuan-pertemuan untuk menghimpun kembali kekuatan dan mendirikan sebuah pemerintahan biarpun masih sangat sederhana.
Dia pun membangun pasukan untuk melawan pasukan VOC dan pemerintahan Mataram yang kala itu bersekutu dengan VOC.
RM Said memulai perjuangannya pada 1740 saat berusia 14 tahun. Musuhnya saat itu adalah Pakubuwana II dan tentara VOC. Pada 1746, RM Said bergabung dengan pamannya, Mangkubumi, untuk melawan Keraton Surakarta dan VOC. Mangkubumi yang merupakan pemimpin senior berperan sebagai panglima besarnya.
Sementara, RM Said menjadi pemimpin militernya yang berbakat dan berpengalaman, pengikut yang loyal dan banyak dikagumi. Dua kekuatan ini menjadikan mereka sangat kuat, bahkan dinilai sebagai kekuatan paling besar dan berbahaya yang pernah dihadapi tentara VOC di Jawa.
Bahkan, beberapa kali pihak VOC mengajak berunding keduanya, namun hal itu mereka tolak. Namun, pada 1752-1753 RM Said dan Mangkubumi mengalami perpecahan, bahkan berperang satu sama lain. Hal ini tentu menguntungkan pihak VOC.
Hingga akhirnya, pada 13 Februari 1755 diadakan Perjanjian Giyanti, di mana VOC menyetujui permintaan Mangkubumi untuk membagi Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
RM Said pun ditinggalkan tanpa memiliki sekutu. Merasa haknya belum terpenuhi, ia pun semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III, Hamengku Buwono I, dan VOC. Namun RM Said terus melakukan perlawanan hingg VOC dan sekutunya kewalahan.
Diceritakan, RM Said memimpin pasukan melawan tiga kekuatan sekaligus; VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I.
Dia pun mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap peperangan selalu membawa kematian bagi musuh- musuhnya. Semboyannya yang paling dikenal adalah tiji tibèh, kependekan dari mati siji, mati kabèh yang artinya gugur satu, gugur semua dan mukti siji, mukti kabèh yang artinya sejahtera satu, sejahtera semua.
Pemberontakan itu pun berakhir pada 17 Maret 1757 dengan Perjanjian Salatiga antara RM Said dengan PB III yang membagi wilayah Kerajaan Mataram untuk kali kedua setelah Perjanjian Giyanti dua tahun sebelumnya. Perjanjian Salatiga ini menandai berdirinya Mangkunegaran.
RM Said atau Mangkunegara I pun kemudian menjalani situasi yang baru, kehidupan damai di sebuah istana, Pura Mangkunegaran, yang pada awalnya terasa asing baginya. Mangkunegara I wafat pada usia 70 tahun di kediamannya di Surakarta, pada 28 Desember 1795.
Dia dimakamkan di Astana Mangadeg, Matesih, Karanganyar. Pada 1983, Mangkunegara I ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.
Sumber: Sindonews/Okezone/berbagai sumber
(nic)