Keseruan Pentas Kuda Lumping di Kaki Gunung Ungaran, Tak Beringsut Meski Diguyur Hujan Deras
loading...
A
A
A
Segenggam bunga setaman dilempar ke udara. Suara gamelan makin riuh. Beberapa penari masuk ke arena, dan masing-masing membawa kuda lumping dari anyaman bambu. Mereka mengenakan pakaian adat dengan riasan di wajah.
Tarian keprajuritan dibawakan dengan apik. Bahkan dua anak kecil yang berada di antara barisan penari, juga tak kalah energik dibanding penari remaja lainnya. Para penonton yang berlindung di bawah payung tak mau ketinggalan momen, dengan merekam video melalui kamera ponsel.
"Kami dari grup Kuda Lumping Sediyo Rukun, asal Dusun Kemloko, Desa Bergas Kidul. Jadi kami asli dari sini. Ada juga juga grup lain nanti ikut main," ujar seorang penabuh gamelan.
Terdapat tiga grup kuda lumping asal desa-desa di Kabupaten Semarang ,yang dihadirkan untuk menghibur warga. Secara bergiliran mereka tampil dengan kostum dan tarian berbeda.
Hingga tiba giliran para penari kesurupan. Mata mereka membeliak dengan pandangan kosong. Gerakan tari tak lagi teratur. Bahkan sebagian berlarian dan bergulingan hingga menabrak penonton. Bukannya lari, penonton yang didominasi emak-emak kian riuh.
Lensa kamera video semakin diarahkan mendekat untuk menangkap ekspresi penari. Apalagi, ketika penari meminta bunga untuk dimakan. Beberapa pawang masuk ke arena untuk menyabetkan cambuk ke tubuh penari. Tak terlihat kesakitan, justru penari itu asyik makan bunga dengan gerakan tubuh lenggak-lenggok.
Sejumlah penonton mendadak kejang turut kesurupan. Mereka menjerit lari masuk ke arena bersama para penari. Karpet basah yang berlumuran lumpur menjadi alas mereka berguling-guling. Untuk mencegah menghantam penonton, pria-pria disiagakan untuk menjaga penari tetap berada di arena.
Ketua Panitia, Ervin Evendi mengatakan, kegiatan itu untuk melestarikan budaya kuda lumping agar tak punah. Menurutnya, negara yang kuat harus tetap menjunjung kebudayaan sebagai identitas bangsa. "Acara ini untuk menguri-uri budaya Jawa Tengah, untuk menjaga jati diri kita sebagai warga Jawa Tengah," katanya.
Tarian keprajuritan dibawakan dengan apik. Bahkan dua anak kecil yang berada di antara barisan penari, juga tak kalah energik dibanding penari remaja lainnya. Para penonton yang berlindung di bawah payung tak mau ketinggalan momen, dengan merekam video melalui kamera ponsel.
"Kami dari grup Kuda Lumping Sediyo Rukun, asal Dusun Kemloko, Desa Bergas Kidul. Jadi kami asli dari sini. Ada juga juga grup lain nanti ikut main," ujar seorang penabuh gamelan.
Terdapat tiga grup kuda lumping asal desa-desa di Kabupaten Semarang ,yang dihadirkan untuk menghibur warga. Secara bergiliran mereka tampil dengan kostum dan tarian berbeda.
Hingga tiba giliran para penari kesurupan. Mata mereka membeliak dengan pandangan kosong. Gerakan tari tak lagi teratur. Bahkan sebagian berlarian dan bergulingan hingga menabrak penonton. Bukannya lari, penonton yang didominasi emak-emak kian riuh.
Lensa kamera video semakin diarahkan mendekat untuk menangkap ekspresi penari. Apalagi, ketika penari meminta bunga untuk dimakan. Beberapa pawang masuk ke arena untuk menyabetkan cambuk ke tubuh penari. Tak terlihat kesakitan, justru penari itu asyik makan bunga dengan gerakan tubuh lenggak-lenggok.
Sejumlah penonton mendadak kejang turut kesurupan. Mereka menjerit lari masuk ke arena bersama para penari. Karpet basah yang berlumuran lumpur menjadi alas mereka berguling-guling. Untuk mencegah menghantam penonton, pria-pria disiagakan untuk menjaga penari tetap berada di arena.
Ketua Panitia, Ervin Evendi mengatakan, kegiatan itu untuk melestarikan budaya kuda lumping agar tak punah. Menurutnya, negara yang kuat harus tetap menjunjung kebudayaan sebagai identitas bangsa. "Acara ini untuk menguri-uri budaya Jawa Tengah, untuk menjaga jati diri kita sebagai warga Jawa Tengah," katanya.