Perang Paregreg, Perebutan Kekuasaan Berujung Pertumpahan Darah Pemicu Keruntuhan Majapahit

Senin, 10 Oktober 2022 - 07:00 WIB
loading...
Perang Paregreg, Perebutan Kekuasaan Berujung Pertumpahan Darah Pemicu Keruntuhan Majapahit
Pasca Hayam Wuruk wafat terjadi perebutan kekuasaan antar saudara. Puncaknya pertumpahan darah di Perang Paregreg yang memicu runtuhnya kejayaan Majapahit. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
Majapahit, kerajaan besar di Pulau Jawa yang tersohor dan disegani karena bisa menaklukkan wilayah Nusantara di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada ternyata menyimpan bara konfik di dalamnya.

Perang Paregreg, Perebutan Kekuasaan Berujung Pertumpahan Darah Pemicu Keruntuhan Majapahit

Foto/Ist

Pasca Hayam Wuruk wafat perebutan kekuasaan antar saudara yang menginginkan kekuasaan dan tampuk pemerintahan melanda Kerajaan Majapahit. Puncaknya terjadi Perang Paregreg yang menimbulkan pertumpahan darah dan memicu runtuhnya kejayaan Majapahit.



Konflik perebutan kekuasaan disertai pertumpahan darah ini sebelumnya juga pernah dialami Kerajaan Singasari yang merupakan pendahulu Majapahit. Hingga akhirnya Singasari runtuh dan berdiri Majapahit.

Hayam Wuruk diketahui wafat pada 1389. Sepeninggal Hayam Wuruk, Wikramawardhana yang merupakan menantu Hayam Wuruk naik tahta.

Perang Paregreg, Perebutan Kekuasaan Berujung Pertumpahan Darah Pemicu Keruntuhan Majapahit

Foto/Dok.SINDOnews

Wikramawardhana yang dinobatkan menjadi Raja Majapahit merupakan suami dari Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk dari permaisuri.

Namun sayang, kepemimpinan Wikramawardhana dirongrong Bhre Wirabhumi, yang merupakan putra Hayam Wuruk dari salah seorang selir.



Hal itu disebutkan dalam Kitab Negatakertagama. Wikramawardhana menguasai bagian keraton barat Majapahit. Sedangkan, Bhre Wirabhumi memimpin keraton bagian timur Majapahit.

"Pada 1405, terjadi perang antara pihak Wikramawardhana melawan kubu Bhre Wirabhumi yang kemudian disebut sebagai Perang Paregreg," ujar PNA Masud Thoyib, Pengageng Kedaton Jayakarta.

Sementara, Pranoedjoe Poespaningrat dalam buku Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan: Dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru (2008) menyebutkan bahwa Perang Paregreg satu di antara faktor penyebab kemunduran Majapahit.



Perang Paregreg merupakan peperangan yang terjadi antara keraton barat Majapahit yang dipimpin Wikramawardhana, melawan keraton timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi pada 1404-1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit.

Perang Paregreg diawali dengan pemberontakan Bhre Wirabumi atau Urubisma, Adipati Blambangan, yang merupakan putra Prabu Brawijaya dari selir.

Pemberontakan Urubisma ini melahirkan legenda Damarwulan yang sangat terkenal sebagai salah satu lakon kethoprak. Urubisma tidak berhasil menegakkan panji kerajaan di kadipatennya, namun setelah itu meletuslah pemberontakan oleh adipati yang lain.

Awalnya perang saudara itu dimenangkan oleh Bhre Wirabhumi. Namun, setelah Wikramawarddhana mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Kedaton Wetan pun dikalahkan.

Bhre Wirabhumi melarikan diri dan dikejar Raden Gajah (Bhra Narapati) hingga akhirnya tertangkap. Bhre Wirabhumi kemudian dihabisi dengan cara dipenggal kepalanya pada 1406.

Perang saudara itu muncul pula dalam catatan Tionghoa dari masa Dinasti Ming. Lewat Ming Shih yang diterjemahkan WP Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa.

Dituliskan setelah Kaisar Ch’eng-tsu bertakhta pada 1403, Ming Shih mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa. Dia mengirim utusan kepada raja “bagian barat”, Tu-ma-pan dan kepada raja “bagian timur”, Put-ling-ta-hah atau P’i-ling-da-ha.

Nama asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi.

Bhre Wirabhumi kemudian menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk).

Dalam Nagarakretagama dituliskan bahwa istri Bhre Wirabhumi adalah Nagarawardhani, putri Bhre Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa..

Bhre Wirabhumi yang lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani, cucu Rajadewi.

Karena tentara dan dana kerajaan banyak tersedot untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan, akhirnya raja-raja di luar Jawa memisahkan dari ketergantungan terhadap Majapahit.

Wikramawarddhana memerintah Majapahit sampai meninggal pada 1429. Sepeninggal Wikramawarddhana, maka Suhita naik tahta Kerajaan Majapahit. Suhita yang merupakan putri dari Wikramawarddhana memerintah pada 1429-1447.

Karena Suhita belum memiliki anak, akhirnya takhta Raja Majapahit digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Setelah Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya mangkat, posisinya sebagai raja digantikan oleh Bhre Pamotan, dengan gelar Sri Rajasawardhana, dan lebih dikenal dengan nama Sang Sinagara.

Dalam Kitab Pararaton, Sri Rajasawardhana menjadi raja Majapahit yang berkedudukan di Keling-Kahuripan. Dalam tulisannya, Riboet Darmosoetopo menyebutkan, ada dugaan pada masa kepemimpinan Sri Rajasawardhana, terjadi pemindahan pusat kerajaan ke Keling-Kahuripan.

Kondisi ini diperkirakan akibat masih terjadinya pertentangan dua keluarga di pusat kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit, sempat mengalami kekosongan kepemimpinan selama tiga tahun. Tepatnya, saat Sri Rajasawardhana mangkat pada tahun 1453 masehi.

Hingga akhirnya, pada tahun 1456 masehi Dyah Suryyawikrama Girindrawardhana, anak dari Dyah Kertawijaya, naik takhta. Selama 10 tahun lamanya Dyah Suryyawikrama Girindrawardhana mengisi tampuk kepemimpinan Majapahit, hingga akhirnya mangkat, dan digantikan oleh Bhre Pandan Salas, yang bergelar Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana.

Babad Tanah Jawi menyebut, Majapahit runtuh akibat serangan Kerajaan Islam Demak. Hal ini ditandai dengan sengkalan sirna ilang kertaning bumi, bertahun 1.400 saka atau 1478 masehi. Dalam catatan Riboet Darmosoetopo, keberadaan kerajaan Majapahit tidak benar-benar lenyap usai adanya serangan Demak.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2763 seconds (0.1#10.140)