Ki Ageng Wonokusumo, Muazin di Era Majapahit yang Disegani Belanda
loading...
A
A
A
Makam KI Ageng Wonokusumo juga sering didatangi peziarah yang sangat percaya di lokasi tersebut, doa-doa umat bisa terkabul. “Banyak peziarah yang memiliki nadzar, setelah terkabul mereka ikut dalam sedekah Jumadilakir, “ ungkapnya.
Lokasi makam Ki Ageng Wonokusumo berada di lokasi yang tinggi, di sekitarnya juga digunakan pemakaman umum. Namun, warga sekitar tidak berani memakamkan warga berada lebih tinggi dari makam Wonokusumo. Di dekat makam juga mengalir air dari sendang yang disebut Panti Tirta Jaya.
Para peziarah juga mempercayai apabila bisa membayar air dari sendang, maka hajatnya akan terkabul. Seperti petilasan atau makam yang disakralkan pada umumnya, setiap malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon makam Ki Ageng Wonokusumo dikunjungi banyak peziarah.
Bahkan terkadang jumlahnya mencapai ratusan, terutama saat musim kemarau. Saat mengikuti tradisi Jumadilakiran, para peziarah akan berkelompok berjumlah 20 hingga 30-an orang.
Baca: Rampogan Macan, Kisah Tradisi Gladiator di Tanah Jawa.
Mereka berkelompok, berada di rumah-rumah warga di tigapadhukuhan, yakni Wonotoro, Warung, dan Banjar dowo. Kemudian bergabung dengan warga dari bebagai kota yang jumlah keseluruhannya mencapai 500-an orang. Dalam tradisi layaknya Nyadran ini, para warga menyembelih dan memasak apa yang di sumbangkan oleh peziarah.
Yang menarik adalah saat memasak tidak diperkenankan untuk mencicipi makanan. Dan yang unik adalah makanan yang telah dimasak tanpa dirasakan terlebih dahulu selalu saja ‘pas’ bumbunya. Setelah makanan masak lalu dikendurikan, dibagi ke sekitar, dan dimakan bersama.
Baca Juga: Kisah Eyang Bintulu Aji, Pelarian Majapahit yang Menjaga Wahyu Kelapa Gagak Emprit Kerajaan Mataram.
Setelah itu, mereka mendatangi Makam Ki Wonokusumo bersama juru kunci untuk berdoa, menyampaikan maksud (hajat), atau mengucap syukur telah melunasinadhar.
Kepala Dinas Kebudayaan Gunungkidul, Agus Kamtono mengatakan, tradisi Jumadilakiran ini sudah diakui oleh pemerintah sebagai tradisi kebudayaan. “Ini salah satu tradisi budaya yang terus dilestarikan di Gunungkidul, " katanya.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Lokasi makam Ki Ageng Wonokusumo berada di lokasi yang tinggi, di sekitarnya juga digunakan pemakaman umum. Namun, warga sekitar tidak berani memakamkan warga berada lebih tinggi dari makam Wonokusumo. Di dekat makam juga mengalir air dari sendang yang disebut Panti Tirta Jaya.
Para peziarah juga mempercayai apabila bisa membayar air dari sendang, maka hajatnya akan terkabul. Seperti petilasan atau makam yang disakralkan pada umumnya, setiap malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon makam Ki Ageng Wonokusumo dikunjungi banyak peziarah.
Bahkan terkadang jumlahnya mencapai ratusan, terutama saat musim kemarau. Saat mengikuti tradisi Jumadilakiran, para peziarah akan berkelompok berjumlah 20 hingga 30-an orang.
Baca: Rampogan Macan, Kisah Tradisi Gladiator di Tanah Jawa.
Mereka berkelompok, berada di rumah-rumah warga di tigapadhukuhan, yakni Wonotoro, Warung, dan Banjar dowo. Kemudian bergabung dengan warga dari bebagai kota yang jumlah keseluruhannya mencapai 500-an orang. Dalam tradisi layaknya Nyadran ini, para warga menyembelih dan memasak apa yang di sumbangkan oleh peziarah.
Yang menarik adalah saat memasak tidak diperkenankan untuk mencicipi makanan. Dan yang unik adalah makanan yang telah dimasak tanpa dirasakan terlebih dahulu selalu saja ‘pas’ bumbunya. Setelah makanan masak lalu dikendurikan, dibagi ke sekitar, dan dimakan bersama.
Baca Juga: Kisah Eyang Bintulu Aji, Pelarian Majapahit yang Menjaga Wahyu Kelapa Gagak Emprit Kerajaan Mataram.
Setelah itu, mereka mendatangi Makam Ki Wonokusumo bersama juru kunci untuk berdoa, menyampaikan maksud (hajat), atau mengucap syukur telah melunasinadhar.
Kepala Dinas Kebudayaan Gunungkidul, Agus Kamtono mengatakan, tradisi Jumadilakiran ini sudah diakui oleh pemerintah sebagai tradisi kebudayaan. “Ini salah satu tradisi budaya yang terus dilestarikan di Gunungkidul, " katanya.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(nag)