Ki Ageng Wonokusumo, Muazin di Era Majapahit yang Disegani Belanda

Rabu, 21 September 2022 - 05:25 WIB
loading...
Ki Ageng Wonokusumo,...
Petilasan Ki Ageng Wonokusumo di Dusun Wonotoro, Desa Jatiayu Karangmojo. (Ist)
A A A
Daerah Gunungkidul tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita pelarian Majapahit dan sejarah perkembangan Mataram Islam. Salah satunya adalah petilasan Ki Ageng Wonokusumo di Dusun Wonotoro, Desa Jatiayu Karangmojo.

Di wilayah ini masih memiliki tradisi untuk memperingati kematian Ki Ageng Wonokusumo. Sebuah tradisi sedekah sebagai ungkapan syukur dan nazar dari masyarakat yang digelar setiap bulan Islam, Jumadil Akhir, atau isir Jawa Jumadilakir.

Dalam perayaan tersebut, aneka masakan tersaji tidak hanya dari masyarakat setempat. Namun, juga dari warga luar daerah seperti Jakarta, Kalimantan Jawa Timur, dan Jawa Tengah, yang sengaja datang setelah nazar mereka terkabul setelah ziarah di malam KI Ageng Wonokusumo.

Ki Ageng Wonokusumo tidak bisa lepas dari sejarah kerajaan Mataram Islam. Wonokusumo tidak bisa lepas dari Sunan Pandanaran di Bayat Klaten, serta KI Ageng Giring III. Wonokusumo merupakan anak dari Ki Ageng Giring III.

Setelah besar, dia pergi ke arah timur laut dan tinggal di Desa Gedangrejo Karangmojo. Namun, kumandang azan yang dilakukan tidak pernah terdengar baik dari wilayah Giring, Sodo Paliyan, maupun dari Bayat Klaten.

Akhirnya, Wonokusumo mencari tempat yang tinggi di Bukit Wonotoro. Dari situlah kumandang azan terdengar sampai Giring tempat ayahnya, serta sampai ke Tempat Sunan Pandanarang di Bayat. Bahkan, upaya berhubungan jarak jauh ketiganya melalui kebatinan bisa dilakukan dari puncak bukit tersebut.

Menurut juru kunci Makam Ki Ageng Wonokusumo, Daryanto, cerita mengenai Ki Ageng Wonokusumo didapatkannya dari leluhur secara turun - temurun .

Dia menuturkan, Ki Ageng Wonokusumo merupakan salah satu tokoh Islam yang disegani dan ditakuti. Bahkan, dianggap musuh besar oleh penjajah Belanda yang selalu ingin membunuhnya.

Namun, para pengikut dan sahabat Wonokusumo selalu bisa mengelabuhi Belanda. Hingga akhirnya pada suatu saat terjepit, para pengikut dan sahabat mengatakan bahwaKi Ageng Wonokusumo telah meninggal dunia.

Sebagai bukti, mereka membuat upacara selamatkan di bulan Jumadil Akhir agar Belanda percaya. Hingga kini, peringatan itu menjadi sebuah upacara adat dan juga nazar warga.

Makam KI Ageng Wonokusumo juga sering didatangi peziarah yang sangat percaya di lokasi tersebut, doa-doa umat bisa terkabul. “Banyak peziarah yang memiliki nadzar, setelah terkabul mereka ikut dalam sedekah Jumadilakir, “ ungkapnya.

Lokasi makam Ki Ageng Wonokusumo berada di lokasi yang tinggi, di sekitarnya juga digunakan pemakaman umum. Namun, warga sekitar tidak berani memakamkan warga berada lebih tinggi dari makam Wonokusumo. Di dekat makam juga mengalir air dari sendang yang disebut Panti Tirta Jaya.

Para peziarah juga mempercayai apabila bisa membayar air dari sendang, maka hajatnya akan terkabul. Seperti petilasan atau makam yang disakralkan pada umumnya, setiap malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon makam Ki Ageng Wonokusumo dikunjungi banyak peziarah.

Bahkan terkadang jumlahnya mencapai ratusan, terutama saat musim kemarau. Saat mengikuti tradisi Jumadilakiran, para peziarah akan berkelompok berjumlah 20 hingga 30-an orang.

Baca: Rampogan Macan, Kisah Tradisi Gladiator di Tanah Jawa.

Mereka berkelompok, berada di rumah-rumah warga di tigapadhukuhan, yakni Wonotoro, Warung, dan Banjar dowo. Kemudian bergabung dengan warga dari bebagai kota yang jumlah keseluruhannya mencapai 500-an orang. Dalam tradisi layaknya Nyadran ini, para warga menyembelih dan memasak apa yang di sumbangkan oleh peziarah.

Yang menarik adalah saat memasak tidak diperkenankan untuk mencicipi makanan. Dan yang unik adalah makanan yang telah dimasak tanpa dirasakan terlebih dahulu selalu saja ‘pas’ bumbunya. Setelah makanan masak lalu dikendurikan, dibagi ke sekitar, dan dimakan bersama.

Baca Juga: Kisah Eyang Bintulu Aji, Pelarian Majapahit yang Menjaga Wahyu Kelapa Gagak Emprit Kerajaan Mataram.

Setelah itu, mereka mendatangi Makam Ki Wonokusumo bersama juru kunci untuk berdoa, menyampaikan maksud (hajat), atau mengucap syukur telah melunasinadhar.

Kepala Dinas Kebudayaan Gunungkidul, Agus Kamtono mengatakan, tradisi Jumadilakiran ini sudah diakui oleh pemerintah sebagai tradisi kebudayaan. “Ini salah satu tradisi budaya yang terus dilestarikan di Gunungkidul, " katanya.
(nag)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1254 seconds (0.1#10.140)