Langkah Tak Seiring 2 Ibu Dalam Kendalikan Pandemi Covid-19

Jum'at, 03 Juli 2020 - 08:02 WIB
loading...
Langkah Tak Seiring...
Khofifah Indar Parawansa dan Tri Rismaharini. Foto/Koran SINDO/Ali Masduki
A A A
SURABAYA - Provinsi Jawa Timur masih tertatih untuk mengendalikan pandemi Covid-19 . Angka penularan virus corona di Jawa Timur masih tertinggi di Indonesia. Upaya meredam penularan Covid-19 dibumbui panggung politik kepala daerah yang mengedepankan ego sektoralnya.

Siang itu, Senin (29/6/2020) di Balai Kota Surabaya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menerima para dokter dan pengelola rumah sakit untuk berdiskusi tentang penanganan Covid-19 di Surabaya. Pertemuan berjalan gayeng. Para dokter dan pengelola rumah sakit menyampaikan pandangan mereka terkait bagaimana penanganan Covid-19 di Kota Pahlawan yang terus mengalami peningkatan tajam. Bahkan Surabaya menjadi penyumbang terbesar pasien Covid-19 di Jawa Timur.

Dokter Sudarsono yang menjabat sebagai Ketua Pinere RSU dr Soetomo menyampaikan keluhan tentang perilaku warga Surabaya yang kurang disiplin menerapkan protokol kesehatan. Akibatnya, RSU dr Soetomo sampai kewalahan menerima pasien Covid-19 dari Surabaya.

Mendengar pernyataan dr Sudarsono ini pertemuan terhenti sejenak. Peserta terdiam. Tiba-tiba Risma yang duduk sendirian di hadapan peserta pertemuan langsung berdiri mendekati dr Soedarsono. Tanpa diduga, Risma sujud di kaki dr Soedarsono dan meminta maaf. (Baca: Tunggu Ibu di ICU RS, Warga Tempel Sleman Positif Covid-19)

“Tolonglah kami jangan disalahkan terus. Apa saya rela warga saya mati? Kita masih ngurus pukul 03.00 WIB pagi orang meninggal yang bukan warga Surabaya. Kami masih urus itu,” kata Risma sambil tersedu.

Sesaat setelah ditenangkan, dengan nada tinggi Risma membantah jika pasien asal Surabaya membuat overload RSU dr Soetomo. Bahkan dia mengklaim tidak mempunyai akses komunikasi ke RSU dr Soetomo yang dikelola Pemprov Jawa Timur. Bantuan alat pelindung diri (APD) dari Pemkot Surabaya ditolak oleh pengelola rumah sakit terbesar di Jawa Timur tersebut. "Kami tidak bisa bantu ke sana, Pak, padahal rumah sakit lain kami bisa," katanya.

Sampai hari ini video Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang sujud di kaki dokter dari Ikatan Dokter Indonesis (IDI) masih beredar luas di media sosial dan menerima berbagai jenis komentar. Rata-rata mereka menyayangkan ketidakkompakan Pemprov Jatim yang dinakhodai Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Tri Rismaharini.

Aksi sujud Risma di hadapan dokter tersebut seolah menegaskan ketidakselarasan langkah penanganan wabah corona dengan Pemprov Jawa Timur. Beberapa waktu lalu secara terbuka di hadapan awak media, Risma memprotes ketidaktersediaan mobil PCR untuk swab test bantuan dari pusat kepada pejabat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur melalui sambungan telepon. Risma merasa tidak terima karena dua mobil tersebut dibawa untuk memeriksa orang dalam pengawasan (ODP) Tulungagung. Padahal Pemkot Surabaya telah menjadwalkan tes swab bagi warganya dengan dua mobil PCR tersebut.

“Saya dapat (chat) WhatsApp Pak Doni Monardo kalau (mobil laboratorium) itu untuk Surabaya. Apa-apaan ini, kalau mau boikot jangan gitu caranya. Saya akan ngomong ini ke semua orang," kata Risma dengan nada tinggi saat itu. (Baca juga: Saudi Harap Rusia dan China Dukung Perpanjang Embargo Senjata Iran)

Perbedaan visi dalam menanggani Covid-19 juga terjadi ketika pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Baik Risma maupun Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa berbeda visi.

Perang terbuka yang diramaikan di media sosial dan diketahui oleh masyarakat di Jatim juga terjadi ketika ada tuduhan puluhan pasien Covid-19 ditinggalkan begitu saja di IRD RSUD dr Soetomo dari kiriman ambulans milik Pemkot Surabaya. Sebuah papan pengumuman pun sampai dibuat yang menjelaskan RSUD dr Soetomo tak bisa menerima lagi kiriman pasien Covid-19.

Aksi saling bantah pun terjadi, Pemkot Surabaya membantahnya. Sebab pada hari itu mereka hanya mengirim korban kecelakaan, dan itu jumlahnya tak sampai tiga orang. Pengiriman pun dilakukan karena ada telepon lewat Comand Center 112 yang mengabarkan adanya korban kecelakaan.

Direktur RSU dr Soetomo Joni Wahyuhadi membantah jika pihaknya menutup akses komunikasi dengan Wali Kota Rismaharini maupun pejabat Dinas Kesehatan Pemkot Surabaya. Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur ini juga membantah jika ada pembatasan akses untuk pasien Covid-19 asal Surabaya di RSU dr Soetomo.

Bahkan ia menegaskan sebanyak 79% dari pasien Covid-19 yang dirawat di RSU dr Soetomo adalah warga Surabaya. Hingga kemarin total pasien positif Covid-19 yang ditangani di RSU Soetomo mencapai 1.097 orang. Dari jumlah tersebut, 865 orang di antaranya warga Surabaya. Sementara 232 lainnya adalah warga non-Surabaya. "Sebanyak 79 persen pasien Covid-19 kita adalah dari Surabaya. Rumah Sakit Lapangan pun sebagian besar orang Surabaya," tegasnya. (Baca juga: Imbas Kondisi Pandemi COvid-19, Psikologis Anak Rentan Terganggu)

Joni menegaskan, pihaknya selalu terbuka komunikasi dengan pihak manapun. Kendati demikian, dirinya selama ini merasa belum pernah dihubungi oleh Wali Kota Tri Rismaharini. "Belum pernah. Kalau soal hubungan, hubungannya hangat saya dengan beliau. Saya menghormati beliau. Beliau Wali Kota yang perhatian dengan warganya. Kalau sulit dihubungi ya enggak, telepon saja. Kalau mau tindak (kunjungan) RSUD dr Soetomo ya monggo, tapi jangan sekarang karena banyak virus," katanya.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sejauh ini terkesan cuek dengan sikap agresif Tri Rismaharini. Khofifah tercatat hanya sedikit berkomentar saat menanggapi kemarahan Risma terkait mobil PCR yang digeser ke Trenggalek dan Sidoarjo.

Berondongan pertanyaan para jurnalis saat itu dijawab santai. “Mobilnya yang koordinasi dengan (pemerintah) pusat adalah Pak Suban (Ketua Logistik), tapi beliau lebih tahu, monggo Pak Joni," kata Khofifah yang meminta Joni Wahyuhadi yang mendampingginya saat itu menjelaskan masalah 2 mobil PCR itu kepada para wartawan.

Kepemimpinan Feminin Harusnya Jadi Kekuatan

Pakar Politik Universitas Trunojoyo, Surokim Abdussalam menuturkan, kondisi yang terjadi di Surabaya dan Jatim sejauh ini merupakan praktik kepemimpinan yang saling meniadakan. Mereka saling mengunci untuk bisa melemahkan satu dan yang lainnya. Semua ini tentu jauh dari kolaborasi dan kerja sama, khususnya antara Pemkot dan Pemprov Jatim. “Rekonsiliasi sesungguhnya belum ada dan hanya lips service an sich. Sesungguhnya kepemimpinan feminim pada masa pendemi itu lebih unggul dan seharusnya menjadi kekuatan,” katanya.

Sayangnya, mereka tidak menjadi kekuatan, justru konflik dan ketidakakuran antarpemimpin yang diperagakan dan dipraktikkan. Dalam situasi perang dua gajah ini, masyarakat yang terkena dampak secara langsung di tengah pendemi. “Pada saat masyarakat mendambakan kepemimpinan empatik dan mengayomi di tengah pandemi ini, keduanya malah memperagakan gaya kepemimpinan melow konfliktual,” jelasnya.

Parahnya, dalam berbagai situasi yang membutuhkan keduanya saling menguatkan, mereka malah saling melemahkan. “Sungguh patut disesalkan pilihan seperti ini, kepemimpinan nurturant politics harus didorong untuk keduanya agar bisa saling respek, saling bisa memahami, dan bisa sinergi untuk gotong royong,” ucapnya.

Baik Khofifah maupun Risma harus saling menguatkan untuk memberi contoh guna memantik partisipasi publik. Momentum ini sungguh tepat untuk kepemimpinan feminis yang nurturant dan empatik. (Baca juga: Isu Bank Bermasalah, Nasabah Diminta Jangan termakan Hoaks)

“Sangat disesalkan keduanya lebih memilih ego sektoral dan saling mengunci yang potensial dan bisa merugikan keduanya. Bagi saya, praktik ini bukan promosi kepemimpinan perempuan feminis yang diharapkan dan malah meruntuhkan reputasi kepemimpinan perempuan yang rewel dan egois,” sambungnya.

Makanya, kata Surokim, wajar jika elektabilitas keduanya tidak bisa naik signifikan dan jika terus-menerus hal ini yg diperagakan, maka keduanya akan sulit beredar di level yang lebih tinggi. “Lagi-lagi momentum ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik jika model kepemimpinan begitu yang dikembangkan,” kata Surokim yang juga peneliti di Surabaya Survey Center.

Di satu sisi, masyarakat di Jawa Timur yang didominasi banyak kelompok urban memiliki cukup literate. Khususnya mereka di kalangan kelas menengah yang kini kian kritis. Masyarakat sangat bisa memahami konflik terbuka keduanya di berbagai panggung.

Apalagi, katanya, penggunaan media sosial pada era pendemi dan work from home (WFH) memberi peluang kelas menengah untuk kritis. Mereka juga mengakses pemberitaan media cukup signifikan, baik dari durasi maupun intensitas sehingga membuat perseteruan itu menjadi konsumsi terbuka para netizen kelas menengah.

Surokim juga menjelaskan, baik Risma maupun Khofifah memiliki langkah strategis di ruang politik Indonesia. Pada masa pendemi ini, aksi autentik lebih manjur daripada pencitraan. “Saya pikir publik akan tahu mana yang lebih mementingkan kerja autentik dan mana yang hanya artifisial. Semua paham keduanya terlibat kontes di udara untuk kepentingan kontestasi itu dan semua berjalan kasatmata dan terlihat meniadakan satu sama lainnya,” ungkapnya. (Baca juga: Penambahan Kasus Covid-19 Masih Tinggi, Yuri Minta Protokol Kesehatan Diperketat)

Makanya, lanjutnya, jika dosisnya berlebihan itu akan merugikan keduanya. Baik Risma maupun Khofifah harus kembali ke model kepemimpinan autentik nurturant. “Mumpung momentumnya masih tepat dan belum terlambat. Kepemimpinan saling menguatkan dan tidak saling meniadakan itu yang dinanti masyarakat,” jelasnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo ini menambahkan, kedua tokoh perempuan di Jatim ini merupakan sosok idola bagi masyarakat. Makanya, aksi yang mereka lakukan tentu bisa memengaruhi kedewasaan masyarakat dalam pendidikan politik. Pada masa pendemi yang sangat dibutuhkan adalah virtue empatik, virtue respek, virtue pengayom dan gotong royong.

“Model kepemimpinan melow konfliktual jauh dari kebutuhan edukasi publik saat ini. Saya yakin hal itu tak lagi ampuh pada masa pendemi Covid-19. Kerja keras, kolaborasi, dan kesungguhan menjadi rangkaian yang dibutuhkan. Publik kita saat ini sudah melek politik, dan mereka tahu siapa yang kerja dan tidak,” tegasnya.

Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Andri Arianto mengatakan, jika dibahas dalam ranah politik, baik Khofifah maupun Risma merupakan sama-sama tokoh dan memiliki pendukung kuat. Jadi, wajar akan memunculkan tensi politik tinggi. (Lihat videonya: Begal Motor Menangis dan Cium Kaki Ibunya Saat Dijenguk)

Setiap wali kota atau bupati, katanya, memiliki kebijakan sendiri atas penanganan Covid-19. Semua itu disebabkan pendanaan yang diperlukan untuk keperluan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di daerah yang dibebankan pada APBD.

Umumnya, pendapat masyarkat yang terekam di berbagai media memang berharap ada desakan rukun antara Khofifah dan Risma. (Aan Haryono/Lukman Hakim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1290 seconds (0.1#10.140)