Langkah Tak Seiring 2 Ibu Dalam Kendalikan Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
Perang terbuka yang diramaikan di media sosial dan diketahui oleh masyarakat di Jatim juga terjadi ketika ada tuduhan puluhan pasien Covid-19 ditinggalkan begitu saja di IRD RSUD dr Soetomo dari kiriman ambulans milik Pemkot Surabaya. Sebuah papan pengumuman pun sampai dibuat yang menjelaskan RSUD dr Soetomo tak bisa menerima lagi kiriman pasien Covid-19.
Aksi saling bantah pun terjadi, Pemkot Surabaya membantahnya. Sebab pada hari itu mereka hanya mengirim korban kecelakaan, dan itu jumlahnya tak sampai tiga orang. Pengiriman pun dilakukan karena ada telepon lewat Comand Center 112 yang mengabarkan adanya korban kecelakaan.
Direktur RSU dr Soetomo Joni Wahyuhadi membantah jika pihaknya menutup akses komunikasi dengan Wali Kota Rismaharini maupun pejabat Dinas Kesehatan Pemkot Surabaya. Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur ini juga membantah jika ada pembatasan akses untuk pasien Covid-19 asal Surabaya di RSU dr Soetomo.
Bahkan ia menegaskan sebanyak 79% dari pasien Covid-19 yang dirawat di RSU dr Soetomo adalah warga Surabaya. Hingga kemarin total pasien positif Covid-19 yang ditangani di RSU Soetomo mencapai 1.097 orang. Dari jumlah tersebut, 865 orang di antaranya warga Surabaya. Sementara 232 lainnya adalah warga non-Surabaya. "Sebanyak 79 persen pasien Covid-19 kita adalah dari Surabaya. Rumah Sakit Lapangan pun sebagian besar orang Surabaya," tegasnya. (Baca juga: Imbas Kondisi Pandemi COvid-19, Psikologis Anak Rentan Terganggu)
Joni menegaskan, pihaknya selalu terbuka komunikasi dengan pihak manapun. Kendati demikian, dirinya selama ini merasa belum pernah dihubungi oleh Wali Kota Tri Rismaharini. "Belum pernah. Kalau soal hubungan, hubungannya hangat saya dengan beliau. Saya menghormati beliau. Beliau Wali Kota yang perhatian dengan warganya. Kalau sulit dihubungi ya enggak, telepon saja. Kalau mau tindak (kunjungan) RSUD dr Soetomo ya monggo, tapi jangan sekarang karena banyak virus," katanya.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sejauh ini terkesan cuek dengan sikap agresif Tri Rismaharini. Khofifah tercatat hanya sedikit berkomentar saat menanggapi kemarahan Risma terkait mobil PCR yang digeser ke Trenggalek dan Sidoarjo.
Berondongan pertanyaan para jurnalis saat itu dijawab santai. “Mobilnya yang koordinasi dengan (pemerintah) pusat adalah Pak Suban (Ketua Logistik), tapi beliau lebih tahu, monggo Pak Joni," kata Khofifah yang meminta Joni Wahyuhadi yang mendampingginya saat itu menjelaskan masalah 2 mobil PCR itu kepada para wartawan.
Kepemimpinan Feminin Harusnya Jadi Kekuatan
Pakar Politik Universitas Trunojoyo, Surokim Abdussalam menuturkan, kondisi yang terjadi di Surabaya dan Jatim sejauh ini merupakan praktik kepemimpinan yang saling meniadakan. Mereka saling mengunci untuk bisa melemahkan satu dan yang lainnya. Semua ini tentu jauh dari kolaborasi dan kerja sama, khususnya antara Pemkot dan Pemprov Jatim. “Rekonsiliasi sesungguhnya belum ada dan hanya lips service an sich. Sesungguhnya kepemimpinan feminim pada masa pendemi itu lebih unggul dan seharusnya menjadi kekuatan,” katanya.
Sayangnya, mereka tidak menjadi kekuatan, justru konflik dan ketidakakuran antarpemimpin yang diperagakan dan dipraktikkan. Dalam situasi perang dua gajah ini, masyarakat yang terkena dampak secara langsung di tengah pendemi. “Pada saat masyarakat mendambakan kepemimpinan empatik dan mengayomi di tengah pandemi ini, keduanya malah memperagakan gaya kepemimpinan melow konfliktual,” jelasnya.
Aksi saling bantah pun terjadi, Pemkot Surabaya membantahnya. Sebab pada hari itu mereka hanya mengirim korban kecelakaan, dan itu jumlahnya tak sampai tiga orang. Pengiriman pun dilakukan karena ada telepon lewat Comand Center 112 yang mengabarkan adanya korban kecelakaan.
Direktur RSU dr Soetomo Joni Wahyuhadi membantah jika pihaknya menutup akses komunikasi dengan Wali Kota Rismaharini maupun pejabat Dinas Kesehatan Pemkot Surabaya. Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur ini juga membantah jika ada pembatasan akses untuk pasien Covid-19 asal Surabaya di RSU dr Soetomo.
Bahkan ia menegaskan sebanyak 79% dari pasien Covid-19 yang dirawat di RSU dr Soetomo adalah warga Surabaya. Hingga kemarin total pasien positif Covid-19 yang ditangani di RSU Soetomo mencapai 1.097 orang. Dari jumlah tersebut, 865 orang di antaranya warga Surabaya. Sementara 232 lainnya adalah warga non-Surabaya. "Sebanyak 79 persen pasien Covid-19 kita adalah dari Surabaya. Rumah Sakit Lapangan pun sebagian besar orang Surabaya," tegasnya. (Baca juga: Imbas Kondisi Pandemi COvid-19, Psikologis Anak Rentan Terganggu)
Joni menegaskan, pihaknya selalu terbuka komunikasi dengan pihak manapun. Kendati demikian, dirinya selama ini merasa belum pernah dihubungi oleh Wali Kota Tri Rismaharini. "Belum pernah. Kalau soal hubungan, hubungannya hangat saya dengan beliau. Saya menghormati beliau. Beliau Wali Kota yang perhatian dengan warganya. Kalau sulit dihubungi ya enggak, telepon saja. Kalau mau tindak (kunjungan) RSUD dr Soetomo ya monggo, tapi jangan sekarang karena banyak virus," katanya.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sejauh ini terkesan cuek dengan sikap agresif Tri Rismaharini. Khofifah tercatat hanya sedikit berkomentar saat menanggapi kemarahan Risma terkait mobil PCR yang digeser ke Trenggalek dan Sidoarjo.
Berondongan pertanyaan para jurnalis saat itu dijawab santai. “Mobilnya yang koordinasi dengan (pemerintah) pusat adalah Pak Suban (Ketua Logistik), tapi beliau lebih tahu, monggo Pak Joni," kata Khofifah yang meminta Joni Wahyuhadi yang mendampingginya saat itu menjelaskan masalah 2 mobil PCR itu kepada para wartawan.
Kepemimpinan Feminin Harusnya Jadi Kekuatan
Pakar Politik Universitas Trunojoyo, Surokim Abdussalam menuturkan, kondisi yang terjadi di Surabaya dan Jatim sejauh ini merupakan praktik kepemimpinan yang saling meniadakan. Mereka saling mengunci untuk bisa melemahkan satu dan yang lainnya. Semua ini tentu jauh dari kolaborasi dan kerja sama, khususnya antara Pemkot dan Pemprov Jatim. “Rekonsiliasi sesungguhnya belum ada dan hanya lips service an sich. Sesungguhnya kepemimpinan feminim pada masa pendemi itu lebih unggul dan seharusnya menjadi kekuatan,” katanya.
Sayangnya, mereka tidak menjadi kekuatan, justru konflik dan ketidakakuran antarpemimpin yang diperagakan dan dipraktikkan. Dalam situasi perang dua gajah ini, masyarakat yang terkena dampak secara langsung di tengah pendemi. “Pada saat masyarakat mendambakan kepemimpinan empatik dan mengayomi di tengah pandemi ini, keduanya malah memperagakan gaya kepemimpinan melow konfliktual,” jelasnya.