Laksamana Malahayati Pahlawan Emansipasi Wanita yang Terlupakan

Jum'at, 18 Juli 2014 - 05:00 WIB
Laksamana Malahayati Pahlawan Emansipasi Wanita yang Terlupakan
Laksamana Malahayati Pahlawan Emansipasi Wanita yang Terlupakan
A A A
BANDA ACEH - Mendengar nama Malahayati tentunya tidak semua orang mengenal sosok pahlawan wanita dari tanah rencong ini. Orang tentunya lebih familiar dengan Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi wanita asal Jepara, Jawa Tengah yang telah lebih banyak dipublikasikan.

Padahal Malahayati merupakan salah satu pejuang emansipasi wanita jauh sebelum RA Kartini dilahirkan.

Pemilik nama asli Keumalahayati ini adalah laksamana perempuan pertama di dunia, petarung garis depan, pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan.

Oleh peneliti barat, nama Malahayati disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilonia dan Katherina II, Kaisar Rusia serta Jeanne d'arc dari Perancis.

Ini karena kepiawaiannya memimpin laskar Inong Balee dan armada laut Kesultanan Aceh yang berjumlah ribuan dalam memukul mundur armada Portugis.

Reputasi Malahayati sebagai penjaga Selat Malaka kala itu juga sangat ditakuti oleh Inggris salah satu kerajaan penguasa Samudra. Armada Inggris yang belakangan masuk ke wilayah Aceh juga memilih untuk menempuh jalan damai.

Ini sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Malahayati pada masanya. Bahkan di tangan perempuan inilah Cornelis Houtman pemimpin armada laut Belanda yang terkenal dan sempat mendarat di Pelabuhan Banten ini tewas dalam duel satu lawan satu pada 11 September 1599.

Selain jago bertempur, pintar strategi perang, Malahayati disebutkan juga hebat dalam berdiplomasi, juru runding yang andal.

Salah satu peran besar Malahayati dalam hal perundingan adalah saat Kerajaan Inggris berniat membuka hubungan dengan Kesultanan Aceh Darussalam.

Disebutkan utusan Ratu Elizabeth I, James Lancaster, yang tiba di Aceh pada 6 Juni 1602, tidak bisa langsung bertemu dengan Sultan Al-Mukammil. Melainkan harus berhadapan terlebih dahulu dengan Malahayati.

Laksamana Malahayati pun meminta Lancaster agar terlebih dahulu membuat proposal yang ditandatangani Ratu Elizabeth I yang ditujukan kepada Sultan Al-Mukammil. Baru, setelah proposal itu dibuat, Lancaster diperkenankan bertemu dengan sang sultan.

Malahayati juga merupakan wanita yang tegar. Karena ketika ditinggal mati suaminya yang gugur saat melawan Portugis.

Dia bukanlah perempuan cengeng, malah Malahayati berinisiatif untuk mengorganisir para janda yang ditinggal mati akibat pertempuran dengan penjajah dengan membentuk laskar Inong Balee.

Namun demikian gaung nama perempuan perkasa dari tanah rencong ini seakan tenggelam dengan nama besar RA Kartini.

Banyak orang yang tak mengenalnya. Namanya hilang ditelan zaman. Sungguh sangat menyedihkan, realitas pahlawan yang dilupakan oleh bangsanya sendiri.

Orang lebih mengagungkan RA Kartini sebagai satu-satunya pahlawan emansipasi wanita dari Indonesia. Padahal dikala wanita-wanita barat belum mengenal emansipasi, Malahayati telah menjadi Laksamana dan memimpin beribu-ribu pasukan perang mengusir penjajah.

Banyak catatan orang asing tentang kehebatan Malahayati dalam memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Belanda, Portugis, Inggris, Arab, China dan India.

Darah biru juga mengalir dalam diri Malahayati, karena dia merupakan putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M.

Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga jelas garis ningrat juga mengalir dalam darahnya.

Sejarawan dari Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong menilai tak layak jika membandingkan RA Kartini dengan Laksamana Malahayati. Karena keduanya memang berbeda jaman dan tantangan yang dihadapinya.

"Yang jelas keduanya merupakan pahlawan wanita pada jamannya masing-masing, " ungkap Anhar Gonggong kepada Sindonews.

Kini nama Malahayati saat ini hanya tinggal kenangan. Namun sebagai penghormatan kepadanya telah diabadikan dengan nama kapal perang TNI AL, nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi. Bahkan lukisannya diabadikan di museum kapal selam Surabaya.

Berangkat dari perjuangan yang telah dilakukannya membuktikan bahwa perempuan bukan mahluk lemah dalam mempertahankan cita-cita, agama dan hak asasinya. Walaupun tidak melupakan tugas utama kodrat mereka sebagai ibu yang melahirkan anak-anak negeri penerus perjuangan. Hal inilah yang penting untuk disosialisasikan kepada perempuan pada saat ini.

Diolah dari berbagai sumber (tajoel-losa, serba sejarah dan beberapa blog lainnya)
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 4.7104 seconds (0.1#10.140)