Kisah Abdul Latief Hendraningrat, Mantan Wedana Betawi yang Jadi Pengibar Pertama Bendera Merah Putih
loading...
A
A
A
SEJAK Pagi hari massa rakyat telah datang memenuhi gedung dan halaman muka Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno. Ada perasaan bangga di dada mereka yang hadir saat itu.
Peristiwa bersejarah yang telah lama dinantikan, di mana bangsa Indonesia akan sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang merdeka di bumi ini telah tiba. Kaum tani, buruh, pegawai kotapraja, tukang sayur dan buah, semua hadir.
Sorot mata mereka saling berpandangan menunggu. Acara yang sangat dinantikan pun akhirnya tiba. Bung Karno keluar dari ruangan. Dr Muwardi dan Suwirjo yang menjadi panitia upacara, mulai membuka upacara.
Rencangan Pembukaan Undang-undang Dasar dibacakan. Disusul sambutan Suwirjo selaku wakil pemerintahan kota, dan Bung Hatta menyampaikan sambutan tentang penekanan arti sejarah proklamasi kemerdekaan.
Sesudah itu, giliran Bung Karno maju ke corong pengeras suara dan menyampaikan pidato singkat sebagai berikut:
Perjuangan kemerdekaan ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Nampaknya saja kita menyandarkan diri kita kepada Jepang, tetapi hakikatnya kita menyusun tenaga dan kekuatan sendiri..
Kalau sekarang tiba saatnya mengambil nasib dengan tangan sendiri, maka kita akan berdiri dan kuat sentosa.. sekarang tiba saat itu, untuk menyatakan kebulatan tekad kita..
Pidato Bung Karo ditutup hanya sampai di situ. Kemudian diteruskan dengan pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, suasana pun kembali menjadi hening. Hati kembali dibuat berdebar-debar.
Dengan memakai seragam lengkap dan samurai di pinggang, Abdul Latief Hendraningrat sang chu dancho mengerek sang saka merah putih ke udara. Sorot mata peserta upacara langsung tertuju padanya.
Sejarah mencatat, Abdul Latief Hendraningrat sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih. Dia juga disebut perintis Paskibraka, karena mengibarkan bendera tanpa pasukan, tanpa formasi dan aba-aba.
Di luar perannya mengerek bendera merah putih, Abdul Latief Hendraningrat memiliki jejak perjuangan panjang.
Abdul Latief Hendraningrat dilahirkan pada 15 Februari 1911. Ayahnya bernama RM Said Hendraningrat. Dia menikah dengan Rr Sophia binti Aboe Wiroatmodjo, pada 24 Maret 1943 di Jakarta, dan memiliki empat orang anak.
Sejak muda, Abdul Latief Hendraningrat telah aktif dalam pergerakan. Dia tercatat pernah aktif dalam Perkumpulan Indonesia Moeda dan Kelompok Kepanduan Partai Indonesia Raya pimpinan Soeryawirawan.
Dirinya bahkan pernah memimpin rombongan kesenian Hindia Belanda, dalam perhelatan New York Fair I di Amerika Serikat (AS). Dalam pemerintahan, Abdul Latief Hendraningrat pernah menjabat sebagai Wedana Betawi.
Dia juga mengajar Bahasa Inggris di Perguruan Rakyat dan Muhammadiyah Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, dia masuk Chou Zeinen Kurunzo se Jawa sebagai Chu Dancho, pada 1943.
Saat detik-detik pernyataan proklamasi kemerdekaan akan dibacakan Bung Karno, Abdul Latief Hendraningrat sudah terlibat dalam gerakan. Dia mewakili Pembela Tanah Air (PETA) di luar kelompok pemuda di Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, dia menjadi atasan militer RI di Manila dan Washington. Dia pernah menjadi Direktur Sekolah Staf Komando Angkatan Darat dan Sekretaris Militer Presiden, pada 1959.
Berdasarkan keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI No.50/PANGTI/II/1966 tanggal 16 September 1966, mulai tanggal 30 September 1966 dia pensiun dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal TNI.
Uang pensiunnya sebagai Brigadir Jenderal TNI, pada Oktober 1966, sebesar Rp1.951.000 perbulan. Di luar uang pensiunnya, dia juga mendapatkan penghasilan sebagai anggota DPR Gotong Royong (GR).
Meski demikian, Abdul Latief Hendraningrat merasa pendapatannya itu tidak cukup untuk membiayai kehidupan dan pendidikan keempat putrinya. Lalu, dia pun membuka jasa biro perjalanan dan kembali ke dunia pendidikan.
Pada Senin malam 14 Maret 1983, Abdul Latief Hendraningrat meninggal pada usia 72 tahun, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta, dan dimakamkan pada 18 Maret 1983 di TMP Kalibata.
Sumber tulisan:
1. Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, 2000.
2. Dr Nidjo Sandjojo, dikutip dari Antologi Laporan Hasil Teks Biografi, Perahu Litera, 2017.
Lihat Juga: Kisah Heroik Pemuda Menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok Jelang Proklamasi Kemerdekaan
Peristiwa bersejarah yang telah lama dinantikan, di mana bangsa Indonesia akan sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang merdeka di bumi ini telah tiba. Kaum tani, buruh, pegawai kotapraja, tukang sayur dan buah, semua hadir.
Sorot mata mereka saling berpandangan menunggu. Acara yang sangat dinantikan pun akhirnya tiba. Bung Karno keluar dari ruangan. Dr Muwardi dan Suwirjo yang menjadi panitia upacara, mulai membuka upacara.
Rencangan Pembukaan Undang-undang Dasar dibacakan. Disusul sambutan Suwirjo selaku wakil pemerintahan kota, dan Bung Hatta menyampaikan sambutan tentang penekanan arti sejarah proklamasi kemerdekaan.
Sesudah itu, giliran Bung Karno maju ke corong pengeras suara dan menyampaikan pidato singkat sebagai berikut:
Perjuangan kemerdekaan ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Nampaknya saja kita menyandarkan diri kita kepada Jepang, tetapi hakikatnya kita menyusun tenaga dan kekuatan sendiri..
Kalau sekarang tiba saatnya mengambil nasib dengan tangan sendiri, maka kita akan berdiri dan kuat sentosa.. sekarang tiba saat itu, untuk menyatakan kebulatan tekad kita..
Pidato Bung Karo ditutup hanya sampai di situ. Kemudian diteruskan dengan pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, suasana pun kembali menjadi hening. Hati kembali dibuat berdebar-debar.
Dengan memakai seragam lengkap dan samurai di pinggang, Abdul Latief Hendraningrat sang chu dancho mengerek sang saka merah putih ke udara. Sorot mata peserta upacara langsung tertuju padanya.
Sejarah mencatat, Abdul Latief Hendraningrat sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih. Dia juga disebut perintis Paskibraka, karena mengibarkan bendera tanpa pasukan, tanpa formasi dan aba-aba.
Di luar perannya mengerek bendera merah putih, Abdul Latief Hendraningrat memiliki jejak perjuangan panjang.
Abdul Latief Hendraningrat dilahirkan pada 15 Februari 1911. Ayahnya bernama RM Said Hendraningrat. Dia menikah dengan Rr Sophia binti Aboe Wiroatmodjo, pada 24 Maret 1943 di Jakarta, dan memiliki empat orang anak.
Sejak muda, Abdul Latief Hendraningrat telah aktif dalam pergerakan. Dia tercatat pernah aktif dalam Perkumpulan Indonesia Moeda dan Kelompok Kepanduan Partai Indonesia Raya pimpinan Soeryawirawan.
Dirinya bahkan pernah memimpin rombongan kesenian Hindia Belanda, dalam perhelatan New York Fair I di Amerika Serikat (AS). Dalam pemerintahan, Abdul Latief Hendraningrat pernah menjabat sebagai Wedana Betawi.
Dia juga mengajar Bahasa Inggris di Perguruan Rakyat dan Muhammadiyah Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, dia masuk Chou Zeinen Kurunzo se Jawa sebagai Chu Dancho, pada 1943.
Saat detik-detik pernyataan proklamasi kemerdekaan akan dibacakan Bung Karno, Abdul Latief Hendraningrat sudah terlibat dalam gerakan. Dia mewakili Pembela Tanah Air (PETA) di luar kelompok pemuda di Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, dia menjadi atasan militer RI di Manila dan Washington. Dia pernah menjadi Direktur Sekolah Staf Komando Angkatan Darat dan Sekretaris Militer Presiden, pada 1959.
Berdasarkan keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI No.50/PANGTI/II/1966 tanggal 16 September 1966, mulai tanggal 30 September 1966 dia pensiun dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal TNI.
Uang pensiunnya sebagai Brigadir Jenderal TNI, pada Oktober 1966, sebesar Rp1.951.000 perbulan. Di luar uang pensiunnya, dia juga mendapatkan penghasilan sebagai anggota DPR Gotong Royong (GR).
Meski demikian, Abdul Latief Hendraningrat merasa pendapatannya itu tidak cukup untuk membiayai kehidupan dan pendidikan keempat putrinya. Lalu, dia pun membuka jasa biro perjalanan dan kembali ke dunia pendidikan.
Pada Senin malam 14 Maret 1983, Abdul Latief Hendraningrat meninggal pada usia 72 tahun, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta, dan dimakamkan pada 18 Maret 1983 di TMP Kalibata.
Sumber tulisan:
1. Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, 2000.
2. Dr Nidjo Sandjojo, dikutip dari Antologi Laporan Hasil Teks Biografi, Perahu Litera, 2017.
Lihat Juga: Kisah Heroik Pemuda Menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok Jelang Proklamasi Kemerdekaan
(san)