Kisah Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Penginjil Pribumi yang Menggegerkan Penguasa Kolonial
loading...
A
A
A
Dalam perjalanannya, Kiai Tunggul Wulung bertemu dengan Nyai Endang Sampurnawati dan menikah serta tinggal di Mojowarno dan belajar kekristenan serta baca-tulis dari Jellesma selama dua bulan.
Selanjutnya Kiai Tunggul Wulung mulai melakukan pekabaran Injil yang dimulai di desa Pelar, sebelah tenggara Dimoro dan melanjutkan pekabaran Injilnya ke Dimoro (Kepanjen), Jenggrik (Malang) dan di Jungo (Pandaan). Di wilayah-wilayah itulah Kiai Tunggul Wulung mendirikan komunitas-komunitas Kristen.
Pada awal tahun 1854, Kiai Tunggul Wulung menerima tawaran Sem Sampir sebagai murid Jellesma yang diperbantukan kepada Pieter Jansz di Jepara sebagai pembantu penginjil pribumi, untuk membantunya melakukan pekabaran Injil di wilayah Jepara.
Bersama Sem Sampir, Tunggul Wulung justru melakukan penginjilan di daerah Kabupaten Juwono, serta di Margotuhu Klitheh dan Ngluwang (sebelah utara Tayu). Tindakan tersebut membuat geger para penguasa kolonial karena ternyata ada seorang Jawa yang menjadi Kristen, menerima pelajaran agama Kristen dan memberitakan Injil di antara orang pribumi. Keadaan tersebut membuka mata para pemerintah kolonial mengenai adanya kekristenan Jawa yang berada di luar utusan-utusan Injil Eropa dan dilakukan secara bebas tanpa terbatasi oleh wilayah tertentu seperti yang berlaku bagi para utusan Injil Eropa.
Pada bulan Mei 1855 Kiai Tunggul Wulung bersama istrinya Nyai Endang Sampurnawati menerima baptisan dari Jellesma dengan nama baptis Ibrahim. Jadilah nama lengkapnya menjadi Ibrahim Tunggul Wulung.
Di kawasan Muria, dia berhasil membujuk dan memengaruhi pengikut-pengikutnya dari berbagai tempat seperti Kayuapu, Bangsal, Ngalapan, Margotuhu dan tempat-tempat lain termasuk pengikut zendeling Peter Jansz di sekitar Jepara. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung beserta pengikut-pengikutnya mulai membangun desa-desa Kristen, mula-mula di kawasan angker yang diberi nama Ujungjati kemudian bergeser ke arah selatan termasuk kawasan angker tempat tinggal Mbah Suto Bodo yang adalah tokoh mistik penguasa dunia roh di kawasan pesisir antara Jepara dan Tayu.
Pada tahun 1857 Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga melakukan kunjungan penginjilan ke berbagai tempat, antara lain ke kawasan Banyumas dan Bagelen untuk melihat hasil pekerjaan Ny. Van Oostrom Phillip dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menjadi motivator dan pemberi semangat kepada Ny. Van Oostrom Phillip di Banyumas dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens di Ambal agar tidak ragu untuk melakukan pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri tidak memusatkan penginjilannya di daerah Banyumas ataupun Bagelen tetapi lebih memusatkan perhatiannya untuk membangun desa-desa Kristen di Bondo Kabupaten Jepara, desa Kristen Banyutowo dan desa Kristen Tegalombo di Kabupaten Juwono. Guillot mencatat bahwa pengikut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri berjumlah 1.058 orang dan jumlah tersebut melebihi hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zendeling di kawasan yang sama dan dalam waktu yang sama.
Menurut buku ‘Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia’ karya Jan S Aritonang, beberapa zending termasuk Jansz menilai Tunggul Wulung memahami Alkitab secara esoteris (rahasia) dan mistis. Kisah-kisah dalam Injil tak berhubungan dengan realitas, melainkan hanya ucapan-ucapan mistik yang kudu dijelaskan lagi. Tampak aspek sinkretisme menonjol dalam ajaran Kristen ala Ibrahim Tunggul Wulung.
Selanjutnya Kiai Tunggul Wulung mulai melakukan pekabaran Injil yang dimulai di desa Pelar, sebelah tenggara Dimoro dan melanjutkan pekabaran Injilnya ke Dimoro (Kepanjen), Jenggrik (Malang) dan di Jungo (Pandaan). Di wilayah-wilayah itulah Kiai Tunggul Wulung mendirikan komunitas-komunitas Kristen.
Pada awal tahun 1854, Kiai Tunggul Wulung menerima tawaran Sem Sampir sebagai murid Jellesma yang diperbantukan kepada Pieter Jansz di Jepara sebagai pembantu penginjil pribumi, untuk membantunya melakukan pekabaran Injil di wilayah Jepara.
Bersama Sem Sampir, Tunggul Wulung justru melakukan penginjilan di daerah Kabupaten Juwono, serta di Margotuhu Klitheh dan Ngluwang (sebelah utara Tayu). Tindakan tersebut membuat geger para penguasa kolonial karena ternyata ada seorang Jawa yang menjadi Kristen, menerima pelajaran agama Kristen dan memberitakan Injil di antara orang pribumi. Keadaan tersebut membuka mata para pemerintah kolonial mengenai adanya kekristenan Jawa yang berada di luar utusan-utusan Injil Eropa dan dilakukan secara bebas tanpa terbatasi oleh wilayah tertentu seperti yang berlaku bagi para utusan Injil Eropa.
Pada bulan Mei 1855 Kiai Tunggul Wulung bersama istrinya Nyai Endang Sampurnawati menerima baptisan dari Jellesma dengan nama baptis Ibrahim. Jadilah nama lengkapnya menjadi Ibrahim Tunggul Wulung.
Di kawasan Muria, dia berhasil membujuk dan memengaruhi pengikut-pengikutnya dari berbagai tempat seperti Kayuapu, Bangsal, Ngalapan, Margotuhu dan tempat-tempat lain termasuk pengikut zendeling Peter Jansz di sekitar Jepara. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung beserta pengikut-pengikutnya mulai membangun desa-desa Kristen, mula-mula di kawasan angker yang diberi nama Ujungjati kemudian bergeser ke arah selatan termasuk kawasan angker tempat tinggal Mbah Suto Bodo yang adalah tokoh mistik penguasa dunia roh di kawasan pesisir antara Jepara dan Tayu.
Pada tahun 1857 Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga melakukan kunjungan penginjilan ke berbagai tempat, antara lain ke kawasan Banyumas dan Bagelen untuk melihat hasil pekerjaan Ny. Van Oostrom Phillip dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menjadi motivator dan pemberi semangat kepada Ny. Van Oostrom Phillip di Banyumas dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens di Ambal agar tidak ragu untuk melakukan pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri tidak memusatkan penginjilannya di daerah Banyumas ataupun Bagelen tetapi lebih memusatkan perhatiannya untuk membangun desa-desa Kristen di Bondo Kabupaten Jepara, desa Kristen Banyutowo dan desa Kristen Tegalombo di Kabupaten Juwono. Guillot mencatat bahwa pengikut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri berjumlah 1.058 orang dan jumlah tersebut melebihi hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zendeling di kawasan yang sama dan dalam waktu yang sama.
Menurut buku ‘Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia’ karya Jan S Aritonang, beberapa zending termasuk Jansz menilai Tunggul Wulung memahami Alkitab secara esoteris (rahasia) dan mistis. Kisah-kisah dalam Injil tak berhubungan dengan realitas, melainkan hanya ucapan-ucapan mistik yang kudu dijelaskan lagi. Tampak aspek sinkretisme menonjol dalam ajaran Kristen ala Ibrahim Tunggul Wulung.