3 Wejangan Tan Malaka untuk Bung Karno, Salah Satunya soal Jakarta
loading...
A
A
A
Bung Karno meminta dokter pribadinya merahasiakan pertemuan itu, dan kepada si tuan rumah, Tan Malaka mengaku bernama Abdul Razak dari Kalimantan. “Saking rahasianya, pertemuan dengan Bung Karno digelar dalam kondisi gelap. Lampu di kamar pertemuan sengaja dipadamkan”.
Bagi Bung Karno, pertemuan itu sangat bermakna. Karenanya, saat berhadap-hadapan langsung, Bung Karno memanfaatkan kesempatan untuk menanyakan sejumlah pemikiran Tan Malaka, terutama isi dari buku Aksi Massa.
Semua pertanyaan dijawab Tan dengan lugas. Dalam percakapan itu, Tan Malaka banyak menjelaskan soal strategi dan prospek revolusi Indonesia. Tan memberi saran tiga hal yang itu membuat Bung Karno semakin mengagumi pemikiran pendiri Partai Murba tersebut.
Pertama, pemerintahan RI hendaknya dipindahkan ke pedalaman. Kedua, orang-orang Belanda dan Inggris yang ada di Indonesia segera dipulangkan, dan ketiga menjadikan Jakarta sebagai medan pertempuran melawan pasukan sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II.
Bung Karno sempat mempersoalkan alasan usulan Jakarta menjadi medan pertempuran. Sebab sebelumnya ia banyak menerima saran yang isinya justru Jakarta hendaknya disterilkan dari pertempuran. Walhasil, Bung Karno mendapat penjelasan yang membuatnya semakin kagum dengan pemikiran Tan Malaka.
Sakin terpesonannya, sampai-sampai Bung Karno berujar Tan layak menggantikan posisinya jika sesuatu yang buruk menimpa dirinya. “Kalau saya tiada berdaya lagi, kelak pimpinan revolusi akan saya serahkan kepada saudara (Tan Malaka),” kata Bung Karno.
Pada pertemuan kedua di rumah Moewardi, pemimpin Barisan Pelopor di daerah Mampang, Jakarta, Bung Karno kembali mengulangi ucapannya. Bahwa Tan layak menjadi pengganti jika dirinya mengalami hal tak terduga yang mengancam keselamatannya.
Soebardjo yang mendengar cerita itu dari Tan Malaka, menangkap apa yang disampaikan Bung Karno sebagai keseriusan sesama pejuang kemerdekaan. Ia pun lantas meminta Bung Karno menuliskan pernyataan itu di atas kertas, menjadi semacam testamen atau wasiat politik.
Bung Hatta yang diberitahu hal itu meminta pengganti yang dimaksud bukan hanya Tan Malaka, tapi ditambah Sutan Sjahrir yang mewakili kelompok kiri tengah, Wongsonegoro yang mewakili kelompok kanan dan golongan feodal serta Sukiman mewakili kelompok Islam.
Bagi Bung Karno, pertemuan itu sangat bermakna. Karenanya, saat berhadap-hadapan langsung, Bung Karno memanfaatkan kesempatan untuk menanyakan sejumlah pemikiran Tan Malaka, terutama isi dari buku Aksi Massa.
Semua pertanyaan dijawab Tan dengan lugas. Dalam percakapan itu, Tan Malaka banyak menjelaskan soal strategi dan prospek revolusi Indonesia. Tan memberi saran tiga hal yang itu membuat Bung Karno semakin mengagumi pemikiran pendiri Partai Murba tersebut.
Pertama, pemerintahan RI hendaknya dipindahkan ke pedalaman. Kedua, orang-orang Belanda dan Inggris yang ada di Indonesia segera dipulangkan, dan ketiga menjadikan Jakarta sebagai medan pertempuran melawan pasukan sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II.
Bung Karno sempat mempersoalkan alasan usulan Jakarta menjadi medan pertempuran. Sebab sebelumnya ia banyak menerima saran yang isinya justru Jakarta hendaknya disterilkan dari pertempuran. Walhasil, Bung Karno mendapat penjelasan yang membuatnya semakin kagum dengan pemikiran Tan Malaka.
Sakin terpesonannya, sampai-sampai Bung Karno berujar Tan layak menggantikan posisinya jika sesuatu yang buruk menimpa dirinya. “Kalau saya tiada berdaya lagi, kelak pimpinan revolusi akan saya serahkan kepada saudara (Tan Malaka),” kata Bung Karno.
Pada pertemuan kedua di rumah Moewardi, pemimpin Barisan Pelopor di daerah Mampang, Jakarta, Bung Karno kembali mengulangi ucapannya. Bahwa Tan layak menjadi pengganti jika dirinya mengalami hal tak terduga yang mengancam keselamatannya.
Soebardjo yang mendengar cerita itu dari Tan Malaka, menangkap apa yang disampaikan Bung Karno sebagai keseriusan sesama pejuang kemerdekaan. Ia pun lantas meminta Bung Karno menuliskan pernyataan itu di atas kertas, menjadi semacam testamen atau wasiat politik.
Bung Hatta yang diberitahu hal itu meminta pengganti yang dimaksud bukan hanya Tan Malaka, tapi ditambah Sutan Sjahrir yang mewakili kelompok kiri tengah, Wongsonegoro yang mewakili kelompok kanan dan golongan feodal serta Sukiman mewakili kelompok Islam.