Kisah Entong Gendut, Pendekar Betawi yang Melawan Penjajah dengan Kelewang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selain Si Pitung, salah satu jawara Betawi yang sangat merepotkan kompeni Belanda adalah Entong Gendut. Dikisahkan, jagoan Betawi itu hanya menggunakan senjata seadanya, yaitu kelewang, nekat menyerbu petinggi Belanda yang sedang pesta di salah satu lokasi di Jayakarta (Jakarta) kala itu. Dalam serangan itu, Entong Gendut dan kelompoknya berhasil merampas pistol. Semua aksi heroiknya tercatat dalam arsip-arsip Belanda.
Entong, kala itu (1916) tampil menjadi pahlawan bagi warga Betawi yang pada umumnya petani. Semua bermula dari kesombongan kaum penjajah. Pada masa itu, masyarakat Betawi, khususnya ditempat Entong tinggal yaitu di Condet, Jakarta Timur, para petani hidup dalam tekanan pihak Belanda.
.
Para petani adalah kelompok masyarakat yang terimpit sistem open door policy. Melalui kebijakan ini, Belanda membuka pintu selebar-lebarnya kepada pihak swasta untuk membeli tanah masyarakat di daerah yang dikuasai Belanda.
Dengan kebijakan ini, Inggris mendapat keuntungan karena bisa membeli tanah dan menjadi tuan tanah. Pada masa itu, seluruh tanah yang berada di daerah Condet hingga Tanjung Timur dan Tanjung Barat dikuasai oleh tuan tanah Inggris.
Celakanya, meski tanah dikuasai Belanda dan para tuan tanah Inggris, rakyat tetap diwajibkan membayar pajak tanah sebesar 25 sen dan harus dibayar setiap minggu. Dan apabila rakyat belum membayar pajak tanah tersebut, maka mereka akan dihukum kerja paksa.
Ini jelas sebuah kebijakan yang tidak adil dan semena-mena hingga memicu amarah Entong Gendut. Karena merasa terpanggil untuk membela kaum tertindas, Entong kemudian memutuskan untuk membuat gerakan. Mula-mula ia mengumpulkan masyarakat Condet, terutama para petani yang sungguh merasakan perlakuan tidak adil dari para penjajah. Ada sekitar 100 orang petani berhasil dihimpun Entong.
Entong Gendut dan para petani mula-mula menyampaikan protes, namun tidak didengar para kompeni. Karena tidak ada tanggapan, Entong kemudian melakukan perlawanan fisik. Puncak perlawanan si pendekar terjadi saat pesta meriah salah seorang petinggi Belanda di daerah yang berada di dekat Kampung Makassar. Dalam serangan ini, Entong Gendut berhasil merebut pistol dari serdadu Belanda.
Setelah serbuan ini, Belanda memberi ultimatum agar Entong dan pengikutnya menyerahkan diri. Namun, perintah itu tidak digubris. Beberapa kali kompeni memberi ultimatum, Entong tak juga memenuhinya.
Akhirnya, serdadu Belanda, dengan senjata lengkap menyerbu markas Entong dan pengikutnya. Meski menang semangat, namun karena melawan hanya dengan senjata seadanya, perlawanan Entong dan pengikutnya mudah dipatahkan. Menurut beberapa sumber yang membahas mengenai senjata, Entong dan pengikutnya menggunakan kelewang, yaitu senjata khas yang digunakan oleh kepolisian militer Belanda pada masa itu.
Entong dan para pengikutnya dikepung dan berguguran ditembak kompeni Belanda. Setelah peristiwa itu, tidak diketahui mayat Entong dimakamkan di mana. Bahkan hingga saat ini masyarakat Condet pun tidak mengetahui di mana letak pemakamannya.
Meski makamnya tidak diketahui, namun semangat Entong dalam melawan kelaliman tetap dikenang. Kisah perjuangannya pernah diabadikan dalam drama teatrikal bertajuk Prahara Tanah Tjondet.
Dioalh dari berbagai sumber
Entong, kala itu (1916) tampil menjadi pahlawan bagi warga Betawi yang pada umumnya petani. Semua bermula dari kesombongan kaum penjajah. Pada masa itu, masyarakat Betawi, khususnya ditempat Entong tinggal yaitu di Condet, Jakarta Timur, para petani hidup dalam tekanan pihak Belanda.
.
Para petani adalah kelompok masyarakat yang terimpit sistem open door policy. Melalui kebijakan ini, Belanda membuka pintu selebar-lebarnya kepada pihak swasta untuk membeli tanah masyarakat di daerah yang dikuasai Belanda.
Baca Juga
Dengan kebijakan ini, Inggris mendapat keuntungan karena bisa membeli tanah dan menjadi tuan tanah. Pada masa itu, seluruh tanah yang berada di daerah Condet hingga Tanjung Timur dan Tanjung Barat dikuasai oleh tuan tanah Inggris.
Celakanya, meski tanah dikuasai Belanda dan para tuan tanah Inggris, rakyat tetap diwajibkan membayar pajak tanah sebesar 25 sen dan harus dibayar setiap minggu. Dan apabila rakyat belum membayar pajak tanah tersebut, maka mereka akan dihukum kerja paksa.
Ini jelas sebuah kebijakan yang tidak adil dan semena-mena hingga memicu amarah Entong Gendut. Karena merasa terpanggil untuk membela kaum tertindas, Entong kemudian memutuskan untuk membuat gerakan. Mula-mula ia mengumpulkan masyarakat Condet, terutama para petani yang sungguh merasakan perlakuan tidak adil dari para penjajah. Ada sekitar 100 orang petani berhasil dihimpun Entong.
Entong Gendut dan para petani mula-mula menyampaikan protes, namun tidak didengar para kompeni. Karena tidak ada tanggapan, Entong kemudian melakukan perlawanan fisik. Puncak perlawanan si pendekar terjadi saat pesta meriah salah seorang petinggi Belanda di daerah yang berada di dekat Kampung Makassar. Dalam serangan ini, Entong Gendut berhasil merebut pistol dari serdadu Belanda.
Setelah serbuan ini, Belanda memberi ultimatum agar Entong dan pengikutnya menyerahkan diri. Namun, perintah itu tidak digubris. Beberapa kali kompeni memberi ultimatum, Entong tak juga memenuhinya.
Akhirnya, serdadu Belanda, dengan senjata lengkap menyerbu markas Entong dan pengikutnya. Meski menang semangat, namun karena melawan hanya dengan senjata seadanya, perlawanan Entong dan pengikutnya mudah dipatahkan. Menurut beberapa sumber yang membahas mengenai senjata, Entong dan pengikutnya menggunakan kelewang, yaitu senjata khas yang digunakan oleh kepolisian militer Belanda pada masa itu.
Entong dan para pengikutnya dikepung dan berguguran ditembak kompeni Belanda. Setelah peristiwa itu, tidak diketahui mayat Entong dimakamkan di mana. Bahkan hingga saat ini masyarakat Condet pun tidak mengetahui di mana letak pemakamannya.
Meski makamnya tidak diketahui, namun semangat Entong dalam melawan kelaliman tetap dikenang. Kisah perjuangannya pernah diabadikan dalam drama teatrikal bertajuk Prahara Tanah Tjondet.
Dioalh dari berbagai sumber
(don)