Kisah Kedigdayaan Sultan Mahmud Syah III, Habisi Pasukan Belanda hingga Tak Bersisa
loading...
A
A
A
"Seekor Holanda pun tiada lagi tinggal dalam Negeri Riau setelah diserang pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah itu". Sebuah catatan yang dituliskan oleh Raja Ali Haji di dalam Tuhfat al-Nafis, menjadi bukti bagaimana kedigdayaan Sultan Mahmud Syah III saat menghadapi pasukan Belanda.
Pertempuran hebat antara pasukan Sultan Mahmud Syah III dengan pasukan Belanda ini, terjadi di Riau Lingga. Peristiwa ini bermula saat Belanda mengirim David Ruhde ke Hulu Riau, pada bulan Juni 1785 untuk memegang jabatan Residen Belanda.
Kehadiran Belanda di Riau-Lingga tersebut, tidak disenangi oleh Sultan Mahmud Syah III. Dengan penuh kecerdikan dan siasat perang intelijen yang hebat, Sultan Mahmud Syah III berhasil mengirimkan utusannya secara diam-diam, Encik Talib ke wilayah Tempasuk di Sabah, Kalimantan.
Encik Talib memiliki tugas untuk mengirimkan pesan Sultan Mahmud Syah III, untuk meminta bantuan kepada Raja Tempasuk, Raja Ismail asal Johor untuk memerangi Belanda di Riau-Lingga.
Pesan dari Sultan Mahmud Syah III itu, mendapatkan respons yang sangat baik dari Raja Tempasuk. Bahkan, Raja Tempasuk mengirim tiga anaknya, yakni Raja Tebuk, Raja Alam, dan Raja Muda Umak, serta Datuk Sikolo. Pasukan bantuan ini dipimpin seorang panglima, yakni Raja Ismail.
Penyusupan pasukan Sultan Mahmud Syah III, didukung pasukan bantuan dari Raja Tempasuk yang dipimpin Raja Ismail, mulai melakukan penyusupan pada 13 Mei 1787. Pasukan ini menyusup ke selatan Terusan Riau, melalui jalur Penyengat, dan Senggarang.
Pada tengah malam, pasukan Sultan Mahmud Syah III mulai berada di benteng kecil yang berada di atas sebuah bukit. Pasukan ini terus maju menyusuri pegunungan dan bergerak cepat ke kapal besar yang mengangkut barang dagangan.
Tepat di dekat pelabuhan tempat kapal besar pengangkut barang dagangan itu merapat, pertempuran hebat tak dapat terelakkan lagi. Pasukan Sultan Mahmud Syah III, dengan gagah berani menggempur dan menghabisi satu garnisun pasukan Belanda yang ditempatkan di Hulu Riau.
Serangan mematikan itu, berhasil mengalahkan Belanda di Riau-Lingga pada bulan Mei 1787. Akibat dari serangan mematikan dari pasukan Sultan Mahmud Syah III itu, membuat pasukan Belanda kocar-kacir. Residen Belanda yang baru di tempatkan di Hulu Riau, David Ruhde harus melarikan diri ke Melaka, untuk menyelamatkan diri dari serangan Sultan Mahmud Syah III.
Sultan Mahmud Syah III, memiliki gelar Paduka Sri al-Wakil al-Imam Sultan Mahmud Riayat Syah Zilullah fil-Alam Khalifat ul-Muminin ibni al-Marhum Sultan Abdul Jalil Syah. Dia merupakan Sultan dan Yang di Pertuan Besar Johor Pahang Riau Lingga ke-15. Memerintah selama tahun 1770-1881.
Selaku Sultan, Mahmud Syah III memimpin wilayah kesultanannya dengan dibantu empat orang Yang Dipertuan Muda (YDM), yakni YDM Daeng Kemboja (1745-1777), YDM Raja Haji Fisabilillah (1777-1784), YDM Raja Ali (1784-1805), dan YDM Raja Jaafar (1805-1831).
Berkat peran dan perjuangannya bagi negara, Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III. Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini, dilangsungkan di Istana Negara pada Kamis (9/11/2017).
Sultan Mahmud Syah III naik takhta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah. Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah.
Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu. Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.
Pada awal masa pemerintahannya, jabatan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh kepala suku Bugis yang kuat, Daeng Kemboja (menjabat 1745-1777). Baru pada tahun 1777 jabatannya digantikan oleh Raja Haji Fisabilillah (menjabat 1777-1784).
Pada Agustus 1784, tentara Belanda mulai menyerang pusat pemerintahan Johor di Hulu Riau. Kemudian pada Oktober 1784, kapal Utrecht dan enam buah kapal perang yang dipimpin oleh laksamana Jacob Pieter van Braam datang menyerang Riau.
Pertempuran meletus antara Johor dan Belanda di Hulu Riau yang berakhir dengan kemenangan Belanda atas Johor. Yamtuan Muda Raja Ali (pengganti Raja Haji Fisabilillah yang syahid di Teluk Ketapang) kemudian meninggalkan Pulau Bintan ke Sukadana.
Sultan Mahmud Syah III yang berada di Riau kemudian menandatangani perjanjian dengan VOC di kapal Utrecht pada tanggal 10 November 1784. Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda, menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.
Ada beberapa versi terkait tahun dia wafat, di antaranya adalah menurut catatan Christopher Buyers di halaman website RoyalArk-nya menuliskan Sultan Mahmud Syah III wafat pada tanggal 12 Januari 1811.
Sedangkan C.H. Wake dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society yang berjudul Raffles and the Rajas: The Founding of Singapore in Malaysian and British Colonial History menuliskan bahwa Sultan Mahmud Syah III mangkat pada tanggal 12 Januari 1812.
Baca Juga
Pertempuran hebat antara pasukan Sultan Mahmud Syah III dengan pasukan Belanda ini, terjadi di Riau Lingga. Peristiwa ini bermula saat Belanda mengirim David Ruhde ke Hulu Riau, pada bulan Juni 1785 untuk memegang jabatan Residen Belanda.
Kehadiran Belanda di Riau-Lingga tersebut, tidak disenangi oleh Sultan Mahmud Syah III. Dengan penuh kecerdikan dan siasat perang intelijen yang hebat, Sultan Mahmud Syah III berhasil mengirimkan utusannya secara diam-diam, Encik Talib ke wilayah Tempasuk di Sabah, Kalimantan.
Baca Juga
Encik Talib memiliki tugas untuk mengirimkan pesan Sultan Mahmud Syah III, untuk meminta bantuan kepada Raja Tempasuk, Raja Ismail asal Johor untuk memerangi Belanda di Riau-Lingga.
Pesan dari Sultan Mahmud Syah III itu, mendapatkan respons yang sangat baik dari Raja Tempasuk. Bahkan, Raja Tempasuk mengirim tiga anaknya, yakni Raja Tebuk, Raja Alam, dan Raja Muda Umak, serta Datuk Sikolo. Pasukan bantuan ini dipimpin seorang panglima, yakni Raja Ismail.
Penyusupan pasukan Sultan Mahmud Syah III, didukung pasukan bantuan dari Raja Tempasuk yang dipimpin Raja Ismail, mulai melakukan penyusupan pada 13 Mei 1787. Pasukan ini menyusup ke selatan Terusan Riau, melalui jalur Penyengat, dan Senggarang.
Pada tengah malam, pasukan Sultan Mahmud Syah III mulai berada di benteng kecil yang berada di atas sebuah bukit. Pasukan ini terus maju menyusuri pegunungan dan bergerak cepat ke kapal besar yang mengangkut barang dagangan.
Tepat di dekat pelabuhan tempat kapal besar pengangkut barang dagangan itu merapat, pertempuran hebat tak dapat terelakkan lagi. Pasukan Sultan Mahmud Syah III, dengan gagah berani menggempur dan menghabisi satu garnisun pasukan Belanda yang ditempatkan di Hulu Riau.
Serangan mematikan itu, berhasil mengalahkan Belanda di Riau-Lingga pada bulan Mei 1787. Akibat dari serangan mematikan dari pasukan Sultan Mahmud Syah III itu, membuat pasukan Belanda kocar-kacir. Residen Belanda yang baru di tempatkan di Hulu Riau, David Ruhde harus melarikan diri ke Melaka, untuk menyelamatkan diri dari serangan Sultan Mahmud Syah III.
Sultan Mahmud Syah III, memiliki gelar Paduka Sri al-Wakil al-Imam Sultan Mahmud Riayat Syah Zilullah fil-Alam Khalifat ul-Muminin ibni al-Marhum Sultan Abdul Jalil Syah. Dia merupakan Sultan dan Yang di Pertuan Besar Johor Pahang Riau Lingga ke-15. Memerintah selama tahun 1770-1881.
Selaku Sultan, Mahmud Syah III memimpin wilayah kesultanannya dengan dibantu empat orang Yang Dipertuan Muda (YDM), yakni YDM Daeng Kemboja (1745-1777), YDM Raja Haji Fisabilillah (1777-1784), YDM Raja Ali (1784-1805), dan YDM Raja Jaafar (1805-1831).
Berkat peran dan perjuangannya bagi negara, Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III. Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini, dilangsungkan di Istana Negara pada Kamis (9/11/2017).
Sultan Mahmud Syah III naik takhta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah. Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah.
Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu. Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.
Pada awal masa pemerintahannya, jabatan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh kepala suku Bugis yang kuat, Daeng Kemboja (menjabat 1745-1777). Baru pada tahun 1777 jabatannya digantikan oleh Raja Haji Fisabilillah (menjabat 1777-1784).
Pada Agustus 1784, tentara Belanda mulai menyerang pusat pemerintahan Johor di Hulu Riau. Kemudian pada Oktober 1784, kapal Utrecht dan enam buah kapal perang yang dipimpin oleh laksamana Jacob Pieter van Braam datang menyerang Riau.
Pertempuran meletus antara Johor dan Belanda di Hulu Riau yang berakhir dengan kemenangan Belanda atas Johor. Yamtuan Muda Raja Ali (pengganti Raja Haji Fisabilillah yang syahid di Teluk Ketapang) kemudian meninggalkan Pulau Bintan ke Sukadana.
Sultan Mahmud Syah III yang berada di Riau kemudian menandatangani perjanjian dengan VOC di kapal Utrecht pada tanggal 10 November 1784. Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda, menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.
Ada beberapa versi terkait tahun dia wafat, di antaranya adalah menurut catatan Christopher Buyers di halaman website RoyalArk-nya menuliskan Sultan Mahmud Syah III wafat pada tanggal 12 Januari 1811.
Sedangkan C.H. Wake dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society yang berjudul Raffles and the Rajas: The Founding of Singapore in Malaysian and British Colonial History menuliskan bahwa Sultan Mahmud Syah III mangkat pada tanggal 12 Januari 1812.
(eyt)