Jenderal Sudirman, Panglima Besar yang Pimpin Perang Gerilya dengan 1 Paru-paru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Cerita tentang Panglima Besar Jenderal Sudirman yang memimpin perang gerilya dengan satu paru-paru, bukan kisah bohong alias hoaks. Itu kisah nyata. Banyak sumber mengatakan bahwa sebelum tentara Belanda menyerbu Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Jenderal Sudirman sudah tidak sehat. Paru-parunya bermasalah.
“Pak Dirman menderita TBC (tuberculosis)… sebuah paru-paru sudah rusak," tulis Amrin Imran dalam buku Panglima Besar Sudirman (2004:48).
Karena itu, pasca operasi Sudirman sempat beristirahat di rumah. Namun, pada 19 Desember 1946 Belanda menerjunkan pasukannya dan bergerak menuju Yogyakarta, Ibu Kota RI. Ini menandai dimulainya Agresi Militer II Belanda.
Meski dalam keadaan sakit, Panglima Besar Sudirman berangkat ke istana untuk menerima instruksi dari Presiden Soekarno. Presiden menasihatkan agar Pak Dirman kembali ke rumah karena masih sakit. Namun, nasihat itu tidak dipenuhi oleh Pak Dirman.
Selagi menunggu keputusan pemerintah, Pak Dirman menyusun perintah untuk seluruh anggota Angkatan Perangnya. Perintah itu disiarkan juga melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Perintah itu berbunyi, “Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”.
Saat itu pemerintah akhirnya mengeluarkan perintah agar tetap tinggal di dalam kota dan Presiden Soekarno juga meminta agar Jenderal Soedirman tetap tinggal di dalam kota.
Namun, Sudirman memberikan jawaban di luar dugaannya. Panglima Besar menjawab, “Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah dan saya akan meneruskan perjuangan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh prajurit.”
Setelah memberikan jawaban kepada Soekarno, Pak Dirman langsung meninggalkan Yogyakarta dan memulai perjalanan gerilya yang berlangsung selama kurang lebih tujuh bulan. Selama perang gerilya, pria kelahiran 24 Januari 1916 itu menghadapi berbagai tantangan seperti sulitnya memperoleh obat-obatan.
Kendati digerogoti sakit paru-paru, semangat juangnya melawan penjajah tetap menyala. Pak Dirman berkeras hati untuk memimpin pasukannya dalam Perang Kemerdekaan jilid 2 (1948-1949). Para prajuritnya yang juga militan siap membawanya dalam tandu, keluar masuk belukar demi menghindari perburuan serdadu-serdadu Belanda yang bersenjata lengkap dan lebih terlatih.
Begitu tingginya semangat bela negara Pak Dirman, hingga muncul ungkapan bahwa Sudirman memimpin perang dengan satu paru-paru. Meski hanya satu paru-paru, ditambah keterbatasan fasilitas perang, obat-obatan dan makanan pengabdian Pak Dirman total. Sudirman yang tidak sehat namun masih mampu memimpin perang dan membuat Belanda kelimpungan.
Heroisme Jenderal Sudirman pada masa perang gerilya bahkan dikisahkan dari mulut ke mulut dan menjadi cerita rakyat yang mengandung unsur mistis. Dikisahkan bahwa Pak Dirman memiliki kesaktian sehingga sulit dilacak pasukan Belanda.
Setelah memimpin perang gerilya dari akhir 1948 hingga pertengahan 1949, kesehatan Sudirman makin memburuk. Sang Panglima Besar ini akhirnya mangkat pada 29 Januari 1950, tepat pada usia masih muda, yaitu 34 tahun. Meski mati muda, ia telah menorehkan warisan spektakuler, yaitu semangat juang tanpa kenal lelah.
Dia telah menunjukkan keteguhan tekad dalam membela negara, meski tubuh direnggut penyakit kronis. Pak Dirmna adalah Panglima Besar pertama, sebuah predikat yang layak disandang oleh peribadi sederhana, tapi berjiwa besar. Tidak berlebihan, ketika pada 1997, pemerintah menganugerahi dia pangkat Jenderal Bintang Lima. Karena jasa-jasanya, Pak Dirman digelar sebagai Bapak TNI.
Dengan menjadi Jenderal Besar, Sudirman pun bersanding sejajar bersama jenderal legendaris dunia seperti Vo Nguyen Giap (Vietnam), Georgy Zhukov (Uni Soviet), Douglas McArthur (Amerika Serikat), maupun Erwin Rommel (Jerman).
“Pak Dirman menderita TBC (tuberculosis)… sebuah paru-paru sudah rusak," tulis Amrin Imran dalam buku Panglima Besar Sudirman (2004:48).
Karena itu, pasca operasi Sudirman sempat beristirahat di rumah. Namun, pada 19 Desember 1946 Belanda menerjunkan pasukannya dan bergerak menuju Yogyakarta, Ibu Kota RI. Ini menandai dimulainya Agresi Militer II Belanda.
Meski dalam keadaan sakit, Panglima Besar Sudirman berangkat ke istana untuk menerima instruksi dari Presiden Soekarno. Presiden menasihatkan agar Pak Dirman kembali ke rumah karena masih sakit. Namun, nasihat itu tidak dipenuhi oleh Pak Dirman.
Selagi menunggu keputusan pemerintah, Pak Dirman menyusun perintah untuk seluruh anggota Angkatan Perangnya. Perintah itu disiarkan juga melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Perintah itu berbunyi, “Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”.
Saat itu pemerintah akhirnya mengeluarkan perintah agar tetap tinggal di dalam kota dan Presiden Soekarno juga meminta agar Jenderal Soedirman tetap tinggal di dalam kota.
Namun, Sudirman memberikan jawaban di luar dugaannya. Panglima Besar menjawab, “Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah dan saya akan meneruskan perjuangan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh prajurit.”
Setelah memberikan jawaban kepada Soekarno, Pak Dirman langsung meninggalkan Yogyakarta dan memulai perjalanan gerilya yang berlangsung selama kurang lebih tujuh bulan. Selama perang gerilya, pria kelahiran 24 Januari 1916 itu menghadapi berbagai tantangan seperti sulitnya memperoleh obat-obatan.
Kendati digerogoti sakit paru-paru, semangat juangnya melawan penjajah tetap menyala. Pak Dirman berkeras hati untuk memimpin pasukannya dalam Perang Kemerdekaan jilid 2 (1948-1949). Para prajuritnya yang juga militan siap membawanya dalam tandu, keluar masuk belukar demi menghindari perburuan serdadu-serdadu Belanda yang bersenjata lengkap dan lebih terlatih.
Begitu tingginya semangat bela negara Pak Dirman, hingga muncul ungkapan bahwa Sudirman memimpin perang dengan satu paru-paru. Meski hanya satu paru-paru, ditambah keterbatasan fasilitas perang, obat-obatan dan makanan pengabdian Pak Dirman total. Sudirman yang tidak sehat namun masih mampu memimpin perang dan membuat Belanda kelimpungan.
Heroisme Jenderal Sudirman pada masa perang gerilya bahkan dikisahkan dari mulut ke mulut dan menjadi cerita rakyat yang mengandung unsur mistis. Dikisahkan bahwa Pak Dirman memiliki kesaktian sehingga sulit dilacak pasukan Belanda.
Setelah memimpin perang gerilya dari akhir 1948 hingga pertengahan 1949, kesehatan Sudirman makin memburuk. Sang Panglima Besar ini akhirnya mangkat pada 29 Januari 1950, tepat pada usia masih muda, yaitu 34 tahun. Meski mati muda, ia telah menorehkan warisan spektakuler, yaitu semangat juang tanpa kenal lelah.
Dia telah menunjukkan keteguhan tekad dalam membela negara, meski tubuh direnggut penyakit kronis. Pak Dirmna adalah Panglima Besar pertama, sebuah predikat yang layak disandang oleh peribadi sederhana, tapi berjiwa besar. Tidak berlebihan, ketika pada 1997, pemerintah menganugerahi dia pangkat Jenderal Bintang Lima. Karena jasa-jasanya, Pak Dirman digelar sebagai Bapak TNI.
Dengan menjadi Jenderal Besar, Sudirman pun bersanding sejajar bersama jenderal legendaris dunia seperti Vo Nguyen Giap (Vietnam), Georgy Zhukov (Uni Soviet), Douglas McArthur (Amerika Serikat), maupun Erwin Rommel (Jerman).
(don)