Kisah Kiai Sadrach, Jebolan Pesantren yang Jadi Penginjil di Tanah Jawa
loading...
A
A
A
Sejarah juga mencatat Kiai Sadrach adalah seorang misionaris Kristen, pengabar Injil di sebagian pulau Jawa. Dalam posisinya ia dikenal sebagai Kiai Sadrach Surapranata, sang penggembala. Bersama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Kasan Mentaram, ketiganya dipandang sebagai tokoh-tokoh penting dalam kristenisasi di Jawa.
Sayangnya, dokumen-dokumen tentang Sadrach sulit ditemukan. Situasi ini diduga berkaitan dengan seringnya Sadrach beda pendapat dan cekcok dengan para misionaris Belanda dan kelompok penginjil asing lain. Meski menjadi pendeta dari 1894 hingga akhir hayatnya (1924), Sadrach dikenal sebagai pendeta yang ‘mbalelo’ terhadap beberapa langkah misi Katolik maupun Zending Belanda.
Kisah pertemuan Radin alias Sadrach muda dengan kekristenan, tampaknya cukup panjang. Dalam perjalanannya berguru dari satu ke pesantren lain, Radin tak hanya bertemu banyak ustadz dan kiai. Ia juga pernah bertemu Kurmen alias Sis Kanoman, yang juga diangkatnya sebagai gurunya dalam ngelmu Jawa alias Kejawen.
Radin Abas tak pernah lama di satu daerah. Dia berpindah ke Semarang. Di sana bertemu seorang penginjil bernama Hoezoo. Kepada Hoezoo inilah Radin yang telah belajar ngaji Arab dan Kejawen itu belajar agama Kristen (kateketik). Pada sebuah sesi kelas, ia diperkenalkan dengan seorang senior, lelaki asal Jepara yang sudah menjadi Kristen, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung.
Radin akhirnya menjadi pengikut Tunggul Wulung. Akhirnya keduanya berangkat ke Batavia, tempat Radin dibaptis pada 14 April 1867, menjadi bagian dari Gereja Sion Batavia dari denominasi Hervormd. Dia berusia 26 tahun ketika dibaptis.
Dari situ ia mendapatkan nama Kristennya, Sadrach. Sejak dibaptis, ia memiliki tugas menyampaikan brosur dan buku-buku Kristen di tempat tinggal sementaranya di Batavia.
Selama beberapa waktu Sadrach tinggal di Batavia, sebelum kemudian ditugaskan ke Semarang. Di sini ia kembali Tunggul Wulung yang telah mendirikan desa-desa Kristen seperti Banyuwoto, Tegalombo dan Bondo di Jepara.
Sadrach kemudian diserahi kepemimpinan di Bondo karena Tunggul Wulung harus terus melakukan perjalanan demi meraih lebih banyak pengikut. Ketika Tunggul Wulung kembali ke Bondo, Sadrach, pada usia 35, berangkat ke Kediri dan kemudian ke Purworejo.
Di Purworejo, pada 1869, Sadrach bertemu dan diadopsi seorang pendeta, Stevens-Philips. Setahun kemudian ia pindah ke Karangjoso, 25 km selatan Purworejo. Keputusannya untuk meninggalkan Steven-Philips lebih pada kebiasaan saat itu untuk hidup mandiri dan percaya diri.
Sadrach bertemu dan diadopsi seorang pendeta, Stevens-Philips Setahun kemudian ia pindah ke Karangjoso, 25 km selatan Purworejo. Keputusannya untuk meninggalkan Steven-Philips lebih pada kebiasaan saat itu untuk lebih mandiri dan percaya diri.
Sayangnya, dokumen-dokumen tentang Sadrach sulit ditemukan. Situasi ini diduga berkaitan dengan seringnya Sadrach beda pendapat dan cekcok dengan para misionaris Belanda dan kelompok penginjil asing lain. Meski menjadi pendeta dari 1894 hingga akhir hayatnya (1924), Sadrach dikenal sebagai pendeta yang ‘mbalelo’ terhadap beberapa langkah misi Katolik maupun Zending Belanda.
Kisah pertemuan Radin alias Sadrach muda dengan kekristenan, tampaknya cukup panjang. Dalam perjalanannya berguru dari satu ke pesantren lain, Radin tak hanya bertemu banyak ustadz dan kiai. Ia juga pernah bertemu Kurmen alias Sis Kanoman, yang juga diangkatnya sebagai gurunya dalam ngelmu Jawa alias Kejawen.
Radin Abas tak pernah lama di satu daerah. Dia berpindah ke Semarang. Di sana bertemu seorang penginjil bernama Hoezoo. Kepada Hoezoo inilah Radin yang telah belajar ngaji Arab dan Kejawen itu belajar agama Kristen (kateketik). Pada sebuah sesi kelas, ia diperkenalkan dengan seorang senior, lelaki asal Jepara yang sudah menjadi Kristen, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung.
Radin akhirnya menjadi pengikut Tunggul Wulung. Akhirnya keduanya berangkat ke Batavia, tempat Radin dibaptis pada 14 April 1867, menjadi bagian dari Gereja Sion Batavia dari denominasi Hervormd. Dia berusia 26 tahun ketika dibaptis.
Dari situ ia mendapatkan nama Kristennya, Sadrach. Sejak dibaptis, ia memiliki tugas menyampaikan brosur dan buku-buku Kristen di tempat tinggal sementaranya di Batavia.
Selama beberapa waktu Sadrach tinggal di Batavia, sebelum kemudian ditugaskan ke Semarang. Di sini ia kembali Tunggul Wulung yang telah mendirikan desa-desa Kristen seperti Banyuwoto, Tegalombo dan Bondo di Jepara.
Sadrach kemudian diserahi kepemimpinan di Bondo karena Tunggul Wulung harus terus melakukan perjalanan demi meraih lebih banyak pengikut. Ketika Tunggul Wulung kembali ke Bondo, Sadrach, pada usia 35, berangkat ke Kediri dan kemudian ke Purworejo.
Di Purworejo, pada 1869, Sadrach bertemu dan diadopsi seorang pendeta, Stevens-Philips. Setahun kemudian ia pindah ke Karangjoso, 25 km selatan Purworejo. Keputusannya untuk meninggalkan Steven-Philips lebih pada kebiasaan saat itu untuk hidup mandiri dan percaya diri.
Sadrach bertemu dan diadopsi seorang pendeta, Stevens-Philips Setahun kemudian ia pindah ke Karangjoso, 25 km selatan Purworejo. Keputusannya untuk meninggalkan Steven-Philips lebih pada kebiasaan saat itu untuk lebih mandiri dan percaya diri.