Kisah Kiai Subchi: Kiai Bambu Runcing Pembakar Semangat Laskar Santri Usir Penjajah

Selasa, 22 Maret 2022 - 05:01 WIB
loading...
Kisah Kiai Subchi: Kiai Bambu Runcing Pembakar Semangat Laskar Santri Usir Penjajah
Kisah Kiai Subchi: Kiai Bambu Runcing Pembakar Semangat Laskar Santri Usir Penjajah/Dok
A A A
Kiai Subchi melekat dalam sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia dikenal sebagai Kiai Bambu Runcing . Julukan Kiai Bambu Runcing tidak lepas dari ide Kiai Subchi yang menyuruh para santri dan pemuda mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing.

Bambu-bambu yang ujungnya sudah diruncingkan kemudian diberi asma' dan doa khusus untuk dipakai laskar santri dan pemuda pejuang Indonesia dalam perjuangan mengusir penjajah. Lantas, siapa Kiai Subchi yang tersohor sebagai Kiai Bambu Runcing?

Dari beberapa literatur diceritakan, sosok Kiai Subchi lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 1850. Subchi atau Subeki adalah putra sulung seorang pemuka agama bernama Kiai Harun Rasyid. Semasa kecil, Subchi memiliki nama lahir Muhammad Benjing yang kemudian berganti Somowardoyo saat dewasa. Ihwal nama Subchi diketahui setelah naik haji.



Subchi adalah cucu dari Kiai Abdul Wahab yang merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Jogjakarta. Nah, Kiai Abdul Wahab dikenal sebagai pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam periode Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajah Belanda.

Setelah Laskar Diponegoro mengalami kekalahan, Kiai Abdul Wahab menyepi di pedesaan untuk fokus mengajar para santri. Kiai Abdul Wahab menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan.

Selanjutnya, keluarga Kiai Abdul Wahab menetap di Parakan yang dikenal sebagai tempat menggembleng santri. Dari Parakan inilah Kiai Abdul Wahab menyiapkan perlawanan terhadap penjajah Belanda yang masih terus mengejar sisa pengikut Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1850, Subchi lahir ke dunia di masa perjuangan melawan Belanda. Seperti halnya saat masa mengandung, ibunda Subchi mengungsi dari kejaran pasukan Belanda. Semasa kecil, Subchi dididik oleh orang tuanya dengan tradisi pesantren yang sangat kental.

Subchi kecil kemudian ikut menjadi santri di Pesantren Sumolangu yang diasuh oleh Syekh Abdurrahman Sumolangu. Selama nyantri, Subchi tumbuh menjadi pemuda dengan kepribadian kuat dengan penguasaan ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan. Parakan, sebuah kota kecil di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menjadi salah satu basis perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Temanggung dikenal sebagai basis pergerakan Sarekat Islam (SI).

Para santri yang tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI. Bahkan, di Parakan juga pernah diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto. Dalam buku Temanggung: Dewan Harian Cabang 2008 karya Husni Thamrin,pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769 orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507 orang.

Masa sebelum kemerdekaan sangat memprihatinkan bagi rakyat karena kekejaman Belanda yang menerapkan sistem kerja paksa. Ketika Jepang menduduki Jawa, warga Temanggung dipaksa menjadi Romusha. Banyak warga menderita busung lapar karena sulitnya memperoleh makanan. Dalam tulisan Ahmad Adaby Darban,Sejarah Bambu Runcing, Laporan Penelitian: Fakultas Sastra UGM, 1988, karung goni dipakai sebagai penutup tubuh yang menjadi pemandangan biasa pada masa Romusha.

Selama masa perang kemerdekaan, Parakan menjadi simpul pergerakan untuk melawan penjajah. Ketika Pemerintah Hindia Belanda berusaha menggunakan strategi pemisahan wilayah, berupa garis demarkasi Van Mook, warga Temanggung juga bergerak untuk melawan diskriminasi politik yang dilancarkan Hindia Belanda.

Pada saat itu, dibentuklah Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Barisan ini dipelopori oleh kiai-santri, yang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan rakyat melawan penjajah. BMT didirikan pada 30 Oktober 1945 di masjid Kauman Parakan.

Muhaiminan Gunardo dalambukunya Bambu Runcing Parakan,Yogyakarta: Kota Kembang, 1986 menuliskan terjadinya peristiwa Batuloyo yang mengisahkan penyerangan oleh warga Parakan yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) terhadap pasukan Jepang. Setelah muncul Barisan Muslimin Temanggung, santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah semangat dengan dukungan kiai, terutama Kiai Subchi Parakan.

Para santri BMT secara heroik menyerang patroli militer Belanda yang melintasi kawasan Parakan. Perjuangan BMT dan dukungan Kiai Subchi memancing perhatian pejuang santri dan militer. Beberapa tokoh berkunjung ke Parakan, untuk bertemu Kiai Subchi dan pemuda BMT: Jendral Soedirman (1916-1950), Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur (Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mohammad Roem, Mr. Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.

Jenderal Sudirman pun berkunjung ke kediaman Kiai Subchi untuk meminta doa berkah. Jenderal Sudirman sering berperang dalam keadaan suci untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi. Kiai Subchi dikenal sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan dengan membagikan hasil pertanian dan lahan kepada warga yang tidak mampu. Ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi turut serta dengan mendirikan NU Temanggung.

Kiai Subchi menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris. Kiai Subchi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi.



Pada 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang langsung dipantau oleh Kiai Subchi. Dalam catatan Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), Kiai Subchi menjadi rujukan askar-askar yang berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan.

Kiai Subchi dikenal sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu. Ketika banyak pemuda pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma', Kiai Subchi justru menangis tersedu. Kiai Subchi merasa tidak pantas dengan maqam tersebut.

Kendati sudah berumur 90 tahun, pergerakan Kiai Subchi disebut KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 349), masih cekatan. Badannya tegap, besar dan tinggi. Pendengaran dan penglihatannya masih sangat jelas. .

Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya "Guruku Orang-Orang dari Pesantren". Dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara sekutu juga mendarat di Ibu Kota Jawa Tengah.
(aww)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1268 seconds (0.1#10.140)