Muktamar DDI Ke-22 di Samarinda, BNPT Paparkan Ancaman Terorisme
loading...
A
A
A
SAMARINDA - Terorismemerupakankejahatan yang tidak hanya mengancam keamanan masyarakat, tetapisebagai proxy untuk menghancurkan citra Islam dan negara.Dampak yang ditimbulkan oleh aksi terorisme yang mengatasnamakan agama adalah munculnyaislamofobia yang memperburuk citra Islamdan menentang ideologi negara.
"Perlu ditegaskanbahwa memangtidak ada kaitannya antara terorisme dengan agama. Karena tidak ada satupun ajaranagamayang membenarkan terorisme. Tetapi,terorisme berkaitan dengan pemahamanyangmenyimpang dari subtansi agama oleh oknum umat beragama," kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwakhidsaat seminar Muktamar ke-22 Darud Dakwah wal Irsyad(DDI),Samarinda, Kalimantan Timur, dikutipKamis (24/2/2022).
Dia menyebut, tanpa banyak disadari terorisme adalah fitnah terhadap Islam, karena bertentangan dengan ruh ajaran yangrahmatan lil alamin.Aksi dan narasi propaganda yang disebarkan kelompok radikal terorisme sangat jauh dari nilai agama yang mengajarkan perdamaian, persaudaraan dan perdamaian.
"Kelompok radikal justrumelakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama sepertimengadu domba sesama masyarakat, ajakan tidak percaya terhadap negara, bahkan saling mengkafirkan sesama muslim.Tujuan kelompok ini sejatinya ingin membuat kegaduhan untukmenciptakankonflik," paparnya.
Selain sebagai fitnah terhadap Islam, menurut Nurwakhid, radikal terorisme sejatinyamerupakangerakan politik yang mempolitisasi agamadengan tujuanmengganti dasar dan ideologi negara. Mereka memperalat dalil agama untukkepentingan nafsu politiknya dalam menentang perjanjian luhur dan konsensus nasional.
Di dalam sistem demokrasi, semua pihak mendapatkan ruang kebebasan untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran yang berbeda. Namun, menurutnya pandangan dan ideologi yang digagas dan diusung tidak boleh bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati bersama sebagai komitmen berbangsa dan bernegara.
"Kita boleh berdebat tentang hal khilafiyah, tetapi hal yang tidak bisa ditawar dan menjadi kewajiban dalam beragama adalah menjaga dan merawat perjanjian. Mereka (radikal terorisme) adalah kelompok pembangkang atau bughat yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan mempolitisasi agama," tegasnya.
Karena itulah, menurutnya, masyarakat harus menyadari terorisme sebagai virus yang lebih berbahaya dari virus COVID-19. Penyebaran virus ini sangat mudah menular melalui mata dan telinga masyarakat yang terhasut narasi radikalisme. Narasi yang dimainkan kelompok radikal selalu membenturkan agama dan budaya, agama dan nasionalisme dan agama dengan ideologi negara.
Perkembangan teknologi dan informasi melalui internet semakin mempercepat proses penyabaean virus narasi radikalisme ini. Masyarakat terutama generasi muda sangat rentan ketika menghabiskan banyak waktu dengan membaca dan menerima informasi yang mengajarkan intoleransi, kebencian, fitnah, dan hoaks yang dimainkan kelompok radikal.
Menurut Nurkhawid, virus radikal ini akan mudah menyebar terlebihdi tengahmenguatnya sentimen keagamaan dalamkontestasi politik, perasaandidzalimi,dendamdan kebencian terhadap yang berbeda.
Berbagai konflik di negara seperti Timur Tengah diawali dengan berkembangnya narasi radikal yang tumbuh subur di tengah masyarakat.
"Kami telah mengindentifikasi banyak sekali varian virus radikal yang bisa mempengaruhi masyarakat hanya dalam waktu singkat menjadi radikal, tetapi kami juga sudah menyediakan vaksin yang terbaik agar masyarakat tidak mudah tertular virus ini," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Nurwakhid mengajak organisasi kemasyarakatan seperti DDI untuk aktif menjadi penyedia vaksin anti radikal. Ormas keagamaan merupakan mitra strategis BNPT dalam membentengi masyarakat agar tidak tertular virus radikalisme.
Penanggulangan terorisme harus dilakukan secara semesta.Karena itu, BNPT saat ini mengembangkan strategi dan kebijakanPentahelix secara multipihak dalam menanggulangi terorisme.
Penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan secara parsial dan sektoral oleh satu lembaga, melainkan harus melibatkan seluruh komponen bangsa.
"KebijakanPentahelix yang dilakukan oleh BNPT merupakan prinsip kerjasama dan kolaborasi secara multi pihak yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan komunitas atau masyarakat, termasuk ormas keagamaan seperti DDI," pungkasnya.
"Perlu ditegaskanbahwa memangtidak ada kaitannya antara terorisme dengan agama. Karena tidak ada satupun ajaranagamayang membenarkan terorisme. Tetapi,terorisme berkaitan dengan pemahamanyangmenyimpang dari subtansi agama oleh oknum umat beragama," kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwakhidsaat seminar Muktamar ke-22 Darud Dakwah wal Irsyad(DDI),Samarinda, Kalimantan Timur, dikutipKamis (24/2/2022).
Dia menyebut, tanpa banyak disadari terorisme adalah fitnah terhadap Islam, karena bertentangan dengan ruh ajaran yangrahmatan lil alamin.Aksi dan narasi propaganda yang disebarkan kelompok radikal terorisme sangat jauh dari nilai agama yang mengajarkan perdamaian, persaudaraan dan perdamaian.
"Kelompok radikal justrumelakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama sepertimengadu domba sesama masyarakat, ajakan tidak percaya terhadap negara, bahkan saling mengkafirkan sesama muslim.Tujuan kelompok ini sejatinya ingin membuat kegaduhan untukmenciptakankonflik," paparnya.
Selain sebagai fitnah terhadap Islam, menurut Nurwakhid, radikal terorisme sejatinyamerupakangerakan politik yang mempolitisasi agamadengan tujuanmengganti dasar dan ideologi negara. Mereka memperalat dalil agama untukkepentingan nafsu politiknya dalam menentang perjanjian luhur dan konsensus nasional.
Di dalam sistem demokrasi, semua pihak mendapatkan ruang kebebasan untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran yang berbeda. Namun, menurutnya pandangan dan ideologi yang digagas dan diusung tidak boleh bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati bersama sebagai komitmen berbangsa dan bernegara.
"Kita boleh berdebat tentang hal khilafiyah, tetapi hal yang tidak bisa ditawar dan menjadi kewajiban dalam beragama adalah menjaga dan merawat perjanjian. Mereka (radikal terorisme) adalah kelompok pembangkang atau bughat yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan mempolitisasi agama," tegasnya.
Karena itulah, menurutnya, masyarakat harus menyadari terorisme sebagai virus yang lebih berbahaya dari virus COVID-19. Penyebaran virus ini sangat mudah menular melalui mata dan telinga masyarakat yang terhasut narasi radikalisme. Narasi yang dimainkan kelompok radikal selalu membenturkan agama dan budaya, agama dan nasionalisme dan agama dengan ideologi negara.
Perkembangan teknologi dan informasi melalui internet semakin mempercepat proses penyabaean virus narasi radikalisme ini. Masyarakat terutama generasi muda sangat rentan ketika menghabiskan banyak waktu dengan membaca dan menerima informasi yang mengajarkan intoleransi, kebencian, fitnah, dan hoaks yang dimainkan kelompok radikal.
Menurut Nurkhawid, virus radikal ini akan mudah menyebar terlebihdi tengahmenguatnya sentimen keagamaan dalamkontestasi politik, perasaandidzalimi,dendamdan kebencian terhadap yang berbeda.
Berbagai konflik di negara seperti Timur Tengah diawali dengan berkembangnya narasi radikal yang tumbuh subur di tengah masyarakat.
"Kami telah mengindentifikasi banyak sekali varian virus radikal yang bisa mempengaruhi masyarakat hanya dalam waktu singkat menjadi radikal, tetapi kami juga sudah menyediakan vaksin yang terbaik agar masyarakat tidak mudah tertular virus ini," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Nurwakhid mengajak organisasi kemasyarakatan seperti DDI untuk aktif menjadi penyedia vaksin anti radikal. Ormas keagamaan merupakan mitra strategis BNPT dalam membentengi masyarakat agar tidak tertular virus radikalisme.
Penanggulangan terorisme harus dilakukan secara semesta.Karena itu, BNPT saat ini mengembangkan strategi dan kebijakanPentahelix secara multipihak dalam menanggulangi terorisme.
Penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan secara parsial dan sektoral oleh satu lembaga, melainkan harus melibatkan seluruh komponen bangsa.
"KebijakanPentahelix yang dilakukan oleh BNPT merupakan prinsip kerjasama dan kolaborasi secara multi pihak yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan komunitas atau masyarakat, termasuk ormas keagamaan seperti DDI," pungkasnya.
(shf)