Kisah Moksa Prabu Brawijaya V, Ajak Istri Tercinta Masuk Kobaran Api di Pesisir Selatan Jogjakarta

Selasa, 08 Februari 2022 - 07:13 WIB
loading...
Kisah Moksa Prabu Brawijaya...
Candi Gapura I merupakan peninggalan Majapahit yang terletak di sisi timur Gunung Penanggungan, tepatnya di Dusun Belahanjowo, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Foto/Dok.SINDOnews/Ali Masduki
A A A
Debur ombak laut selatan, menggetarkan hati sang Prabu Brawijaya. Tak ditemuinya lagi jalan ke luar. Pelariannya dari pusat kota raja Kerajaan Majapahit , bersama dua istri tercintanya, Dewi Lowati dan Bondan Surati membuat mereka terdampar di pesisir selatan Jogjakarta.



Di tengah kebuntuan jalan pelarian itu, Prabu Brawijaya V menyampaikan pertanyaan tentang kecintaan para istrinya kepadanya. "Siapa di antara kalian yang paling besar cintanya kepadaku?" ujar sang raja.



Dewi Lowati yang merupakan istri pertama, dengan tegas menjawab, bahwa cintanya kepada Sang Prabu Brawijaya adalah sebesar gunung. Berbeda dengan istri pertama, Bondan Surati menjawab, bahwa cintanya kepada sang Prabu Brawijaya seperti kuku hitam, dimana setiap kuku-kuku hitam itu selesai dipotong pasti akan tumbuh kembali.



Mengetahui jawaban istri-istrinya, Prabu Brawijaya V langsung menarik tangan Dewi Lowati, dan keduanya masuk ke dalam kobaran api yang membara, seperti cinta keduanya yang terus membara dalam keabadian.

Dewi Lowati dipilih Prabu Brawijaya untuk moksa masuk dalam kobaran api di tengah kebuntuan jalan ke luar, karena jawaban Dewi Lowati dianggap mencerminkan cintanya pada Sang Prabu Brawijaya lebih besar, dari pada Bondan Surati. Jawaban Bondan Surati dianggap oleh Prabu Brawijaya, cinta yang hilang akan tergantikan dengan cinta baru.

Sepenggal dongeng rakyat ini, terus berkembang di wilayah pesisir selatan Jogjakarta, tepatnya di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Bahkan, pantai yang digunakan untuk kedua pasangan suami istri bangsawan Majapahit itu moksa, dinamai Pantai Ngobaran. Makna nama Ngobaran, dikaitkan dengan pengorbanan.

Cerita legenda itu, terus berkembang hingga kini. Bahkan, diyakini oleh banyak kalangan, Prabu Brawijaya V, yang disebut-sebut sebagai raja terakhir Majapahit, menjadi awal keturunan raja-raja Jogjakarta, dan Surakarta.

Keberadaan orang-orang pelarian dari Majapahit di wilayah Gunungkidul, berkembang dalam banyak versi cerita rakyat. Mereka tersebar di beberapa daerah, seperti di Dusun Betoro Kidul, yang meyakini pernah ditinggali Bathara Katong yang bernama asli Jaka Umbaran keturunan Prabu Brawijaya dari Majapahit.



Sementara cerita Prabu Brawijaya moksa bersama istri pertamanya di Pantai Ngobaran, berkembang di wilayah Kecamatan Panggang. Dalam cerita rakyat tersebut, dikisahkan Prabu Brawijaya bersembunyi di Pantai Ngobaran, untuk menghindari perburuan pasukan Demak.

Kisah pelarian orang-orang Majapahit, juga berkembang dalam cerita rakyat di Sleman. Di mana ada abdi dalem Kerajaan Majapahit, Ki Ageng Tunggul Wulung yang mendapatkan tugas dari Prabu Brawijaya, untuk menyelamatkan pusaka kerajaan Majapahit.

Ki Agung Tunggul Wulung membawa pusaka kerajaan Majapahit, berupa tombak Tunggul Wasesa, keris Pulung Geni, dan bendera. Pusaka-pusaka itu, diserahkan kepada Danang Sutawijaya, yakni seorang kesatria yang mendirikan Kerajaan Mataram Islam. Ki Agung Tunggul Wulung akhirnya moksa bersama pengikutnya di wilayah yang kini dikenal dengan nama Dukuhan.

Cerita rakyat lainnya menyebut, Prabu Brawijaya hidup di wilayah Bantul, dan menyamar menjadi orang biasa dengan nama Ki Dipanala. Dia mengembara mencari burung perkututnya bernama Jaka Mangu yang lepas.

Perkutut itu akhirnya ditemukan dan dirawat oleh Ki Wangsayuda. Ki Wangsayuda akhirnya menyerahkan kembali Jaka Mangu kepada Ki Dipanala. Keberhasilan Ki Wangsayuda menemukan dan merawat Jaka Mangu, membuatnya diberi hadiah sebagai orang terpandang di wilayah itu dengan gelar Ki Ageng Paker, dan wilayahnya kini dikenal sebagai Dusun Paker.



Dongeng rakyat lainnya juga berkembang, dan diyakini oleh mereka yang meyakininya. Yakni, Prabu Brawijaya V moksa di Gunung Lawu bersama para pengikutnya, setelah kerajaan Majapahit hancur lebur diserang oleh Kerajaan Demak Bintoro, yang dipimpin oleh anak Brawijaya V dengan istrinya dari China, Siu Bhan Ci, Raden Patah.

Kisah tentang serangan Raden Patah yang telah menjadi Raja Demak Binto, ke Kerajaan Majapahit yang dipimpin ayahnya sendiri, Prabu Brawijaya V, tak sepenuhnya benar. Sebagai Adipati Demak, Raden Patah tak bisa menerima kerajaan Majapahit, jatuh ke tangan Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu pemicu, dia menyerang Majapahit.

Raden Patah memiliki darah Majapahit. Ayahnya, adalah Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi, yakni raja terakhir Majapahit. Raden Patah diangkat sebagai Sultan Demak Bintara, pada tahun 1478 M, oleh wali songo, bertepatan pada waktu Majapahit jatuh di tangan Prabu Girindrawardhana.

Darah Majapahit yang mengalir dalam diri Raden Patah, berawal dari kisah cinta Brawijaya V, kepada Siu Ban Ci, yakni putri Syekh Bentong atau Tan Go Hwat. Dalam Babad Tanah Jawi, ibu Raden Patah disebut dengan nama Siu Ban Ci, sementara dalam Naskah Mertasinga dikenal dengan nama Banyowi.

Brawijaya V jatuh cinta pada pandangan pertama, saat Siu Ban Ci dibawa ayahnya datang menghadap ke Majapahit, untuk meminta izin berdagang di wilayah Keling. Kala itu, Syekh Bentong atau juga dikenal sebagai Kyai Batong, merupakan saudagar kaya, yang juga ulama besar.



Saat menghadap ke Brawijaya V, Syekh Bentong juga membawa berbagai seserahan, yakni batu giok dari Tiongkok, kain sutra, keramik Tiongkok, dupa, dan mutiara. Tetapi, bukan seserahan itu yang membuat Brawijaya V tertarik, melainkan dia terpikat oleh kecantikan Siu Ban Ci.

Ketertarikan Brawijaya V kepada Siu Ban Ci, memicu kecemburuan Sang permaisuri, Dewi Amarawati atau Putri Champa. Namun, Brawijaya V justru mempersilahkan Syekh Bentong bersama putrinya beristirahat di Puri Kanuruhan.

Setelah beristirahat semalam di Puri Kanuruhan, Syekh Batong dipanggil menghadap Brawijaya V, dan diminta agar putrinya, Siu Ban Ci menjadi garwa ampeyan atau istri selirnya. Permintaan itu tak ditampik oleh Syekh Bentong.

Siu Ban Ci akhirnya dibawa menghadap Brawijaya V, dengan menggunakan tandu terbaik dari Puri Kanuruhan. Brawijaya V sangat mencitai Siu Ban Ci, hal inilah yang memicu kemarahan permaisuri, Dewi Amarawati.

Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan, saat Dewi Amarawati belum juga memiliki keturunan, ternyata Siu Ban Ci justru sudah hamil. Kondisi ini semakin memperburuk hubungan antara Siu Ban Ci dengan Amarawati.



Amarawati meminta Brawijaya V untuk menceraikan Siu Ban Ci. Cinta yang sudah tumbuh di hati Brawijaya V, tak dapat dipadamkan. Namun, demi menuruti permintaan sang permaisuri, akhirnya Siu Ban Ci yang sudah dalam kondisi hamil tiga bulan, dititipkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar.

Palembang kala itu masih masuk wilayah kekuasaan Majapahit. Di wilayah tersebut, juga sangat banyak penduduk asal Tionghoa. Dengan menitipkan ke Arya Damar, Brawijaya V berharap Siu Ban Ci lebih betah hidup di Palembang.

Arya Damar sendiri merupakan putra Raja Majapahit Bathara Prabu Wikramawardhana dengan seorang selir berdarah Tionghoa. Arya Damar yang terhitung masih paman dari Brawijaya V, memiliki nama asli Swan Liong.

Saat melepas Siu Ban Ci ke Palembang, Brawijaya V merelakan Arya Damar menikahi Sii Ban Ci, tetapi dengan syarat tidak boleh diapa-apakan sebelum anaknya lahir. Selain itu, Brawijaya V juga meminta, apabila anaknya lahir diberi nama Naraprakosa yang memiliki arti laki-laki perkasa.

Setelah lahir, buah cinta Brawijaya V dengan Siu Ban Ci tersebut diberi nama Raden Hasan, dan memiliki nama Tionghoa, Jin Bun. Saat beranjak dewasa, Raden Hasan melakukan perjalanan ke tanah Jawa, untuk menemui ayah kandungnya, Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi.



Ayah kandungnya begitu senang dengan kedatangan puteranya tersebut, dan mengangkat Raden Hasan menjadi Adipati Demak. Bukan hanya itu, Brawijaya V juga mengangkat adik tiri Raden Hasan, yakni putera hasil perkawinan Arya Damar dengan Siu Ban Ci, Raden Husain atau Raden Kusen sebagai Adipati Terung, yang dikemudian hari dikenal dengan nama Arya Pecattanda.

Raden Hasan akhirnya memerdekakan Kadipaten Demak, menjadi Kesultanan Demak Bintoro. Dia diangkat oleh wali songo, menjadi Sultan Demak Binto, yang dikenal dengan nama Raden Patah. Nama Radem Patah, diduga diambil dari Bahasa Arab al-Fatah yang artinya Sang Pembuka.

Dalam situs resmi kemendikbud.go.id, pembangunan masjid Agung Demak juga dikaitkan dengan pengangkatan Raden Patah sebagai Adipati Demak tahun 1462, dan pengangkatannya sebagai Sultan Demak Bintara Binto tahun 1478 M, yaitu pada waktu Majapahit jatuh di tangan Prabu Girindrawardhana dari Kediri, atau tahun 1512 M.

Diceritakan juga, Raden Patah menangguhkan penyerangan yang kedua ke wilayah Majapahit, yang dikuasai Prabu Girindrawardhana, untuk melanjutkan mendirikan masjid Kadipaten Demak, bersama para walisongo yang sudah dimulai pada tahun 1477 M.

Kelanjutan pembangunan masjid dan penangguhan serangan ke Majapahit tersebut, merupakan bentuk penyesalan Raden Patah atas kekhilafannya yang terburu nafsu menyerang pasukan Girindrawadhana, sehingga banyak prajuritnya yang gugur.



Masjid yang selesai dibangun pada tahun 1479 M tersebut, ditandai dengan gambar bulus yang memiliki makna sengkala memet. Sengkala memet bergambar bulus ini, memiliki makna rasa keprihatinan Raden Patah karena kerajaan ayahnya direbut Girindrawadhana.

Sementara dalam catatan Riboet Darmosoetopo yang termuat dalam buku "700 Tahun Majapahit, Suatu Bungai Rampai" disebutkan, Babad Tanah Jawi menyebut, Majapahit runtuh akibat serangan Kerajaan Islam Demak. Hal ini ditandai dengan sengkalan sirna ilang kertaning bumi, bertahun 1.400 saka atau 1478 masehi.

Keberadaan kerajaan Majapahit tidak benar-benar lenyap usai adanya serangan Demak. Sejumlah prasasti menyebut, pada tahun 1486 masehi Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana merupakan raja di wilayah Wilwatiktapura Janggala, dan Kadiri.

Berita China dari Dinasti Ming, menyebutkan adanya hubungan dengan raja Jawa, pada tahun 1499 masehi. Bahkan Gubernur Portugis di Malaka, Rui de Brito pada tahun 1514 masehi, menyebutkan ada dua raja "Kafir" yaitu raja Sunda, dan raja Jawa. Hal yang sama juga dituliskan oleh penulis Italia, Barbosa, yang menyebut raja 'kafir" di pedalaman Jawa, pada tahun 1518 masehi.

Barulah pada tahun 1522 masehi, seorang ahli Italia lainnya, Antonio Pigafeta menyebutkan bahwa penguasa di Majapahit adalah Pati Unus. Tulisan inilah yang mengisyaratkan bahwa kala itu Majapahit sudah masuk dalam kekuasaan kerajaan Demak.

Penakhlukan Majapahit oleh Demak, tak terlalu gamblang diceritakan dalam Seran Kanda, dan Serat Darmogandul. Riboet Darmosoetopo menduga, kematian Bhre Kertabhumi pada tahun 1478 masehi akibat serangan Dyah Ranawijaya, dijadikan senkalan sirna ilang kertaning bumi dalam Babad Tanah Jawi.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3183 seconds (0.1#10.140)