Merasa Dikriminalisasi, 2 Petani Mesuji OKI Ajukan Praperadilan
loading...
A
A
A
PALEMBANG - Abu Saida dan Sudiman, dua petani asal Desa Suka Mukti, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir (OKI) mengajukan praperadilan terhadap penangkapan yang berlangsung 16 Desember 2021 lalu. Sidang dugaan kriminalisasi tersebut berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis (27/1/2022).
Syahrul, saksi di persidangan mengatakan, bahwa keduanya disebut ditangkap saat mengikuti aksi menduduki lahan yang bersengketa dengan perusahaan. Pada malam kejadian, penangkapan dilakukan polisi setelah memasuki daerah menggelar aksi demonstrasi tersebut.
"Malam itu, kami masih berkumpul di tenda-tenda yang kami bangun. Polisi datang, lalu menangkap beberapa orang ini," ujar Syahrul.
Dijelaskan Syahrul, usai dilakukan penangkapan terhadap dua warga tersebut, selanjutnya warga diminta membongkar tenda yang telah didirikan.
"Pada waktu yang sama, polisi pun melepaskan tembakan pada sebuah mobil yang melintas di jalan poros tersebut, serta menangkap 6 orang," jelasnya.
Namun, Syahrul memastikan enam orang tersebut bukan warga desa setempat melainkan warga Sodong, Lampung. Mereka bukan bagian dari petani yang menggelar aksi pendudukan lahan hanya melintas saat terjadi pembubaran.
"Yang ditangkap itu dua kelompok petani yang berbeda. Dua yang ditangkap memang warga Suka Mukti sementara enamnya bukan warga Desa Suka Mukti. Di enam petani ini, polisi menemukan senjata tajam dan senjata api," ujarnya.
Syahrul juga memastikan aksi yang dilakukan petani Suka Mukti tidak benar jika disebutkan membawa senjata api dan senjata tajam seperti yang disebutkan polisi.
"Saya yang membuka plang perusahaan agar polisi bisa masuk ke areal, karena niat kami menggelar aksi damai, tidak anarkis, apalagi membawa senjata," ujar Syahrul yang sejak tahun 1980an memperjuangkan lahannya.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, bersama Walhi Sumsel yang mendampingi dua warga tersebut mengungkapkan penangkapan keduanya dilakukan tanpa prosedural. Keduanya dikenakan Pasal 263 junto KUHP mengenai pemalsuan dokumen.
"Ini aneh, polisi menangkap saat membubarkan aksi, tetapi yang dikenakan Pasal 263, mengenai pemalsuan dokumen. Pak Abu Saida memang pernah dipanggil sebagai saksi atas kasus ini, tetapi Sudiman belum pernah," ujar perwakilan Kuasa Hukum, Anak Agung Ngurah Usada.
Dalam sidang ini, pendamping hukum mempertanyakan prosedur penahanan sekaligus penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian.
"Dua petani ini, tengah memperjuangkan tanah, lalu polisi datang, hingga membubarkan aksi. Membawa beberapa orang, kemudian disangkakan pasal tersebut. Pokok perkaranya adalah penangkapan dan penahanan tanpa prosedur yang dibenarkan secara hukum," terang Anak Agung.
Disebutkan, warga Desa Suka Mukti, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan telah menggelar aksi di lahan yang diduga diserobot PT. Treekreasi Marga Mulya
Saat kejadian itu, sebanyak 115 keluarga warga Desa Suka Mukti yang merupakan masyarakat transmigrasi SKPC 3 tahun 1981 menggelar aksi atas lahan mereka. Baca: Lulus Kuliah Ingin Jadi Perwira Polisi, Simak Cara Daftarnya!.
Petani mengungkapkan menjadi korban perampasan tanah akibat tindakan Kepala Desa Suka Mukti, yang menerbitkan SPH fiktif. Surat tanah tersebut diserahkan kepada pihak perusahaan PT. Treekreasi Marga Mulya atau PT. TMM.
Aksi tersebut dibubarkan paksa oleh polisi pada 16 Desember 2021 lalu. Sampai dengan 27 Januari, pihak pendamping hukum belum mendapatkan perkembangan penyelidikan terhadap kasus ini. Polisi telah menahan 8 warga, yang disebut membawa senjata api dan senjata tajam saat pendampingan tersebut. Baca Juga: Heroik! Satpam BRI Gagalkan Aksi Penipuan di Galeri ATM Pematang Siantar.
Sementara usai sidang, pihak kepolisian daerah (Polda) Sumatera Selatan atau sebagai pihak yang diadukan mengungkapkan akan menjawab pengajuan praperadilan pada sidang, Jumat (28/1/2022) besok.
Syahrul, saksi di persidangan mengatakan, bahwa keduanya disebut ditangkap saat mengikuti aksi menduduki lahan yang bersengketa dengan perusahaan. Pada malam kejadian, penangkapan dilakukan polisi setelah memasuki daerah menggelar aksi demonstrasi tersebut.
"Malam itu, kami masih berkumpul di tenda-tenda yang kami bangun. Polisi datang, lalu menangkap beberapa orang ini," ujar Syahrul.
Dijelaskan Syahrul, usai dilakukan penangkapan terhadap dua warga tersebut, selanjutnya warga diminta membongkar tenda yang telah didirikan.
"Pada waktu yang sama, polisi pun melepaskan tembakan pada sebuah mobil yang melintas di jalan poros tersebut, serta menangkap 6 orang," jelasnya.
Namun, Syahrul memastikan enam orang tersebut bukan warga desa setempat melainkan warga Sodong, Lampung. Mereka bukan bagian dari petani yang menggelar aksi pendudukan lahan hanya melintas saat terjadi pembubaran.
"Yang ditangkap itu dua kelompok petani yang berbeda. Dua yang ditangkap memang warga Suka Mukti sementara enamnya bukan warga Desa Suka Mukti. Di enam petani ini, polisi menemukan senjata tajam dan senjata api," ujarnya.
Syahrul juga memastikan aksi yang dilakukan petani Suka Mukti tidak benar jika disebutkan membawa senjata api dan senjata tajam seperti yang disebutkan polisi.
"Saya yang membuka plang perusahaan agar polisi bisa masuk ke areal, karena niat kami menggelar aksi damai, tidak anarkis, apalagi membawa senjata," ujar Syahrul yang sejak tahun 1980an memperjuangkan lahannya.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, bersama Walhi Sumsel yang mendampingi dua warga tersebut mengungkapkan penangkapan keduanya dilakukan tanpa prosedural. Keduanya dikenakan Pasal 263 junto KUHP mengenai pemalsuan dokumen.
"Ini aneh, polisi menangkap saat membubarkan aksi, tetapi yang dikenakan Pasal 263, mengenai pemalsuan dokumen. Pak Abu Saida memang pernah dipanggil sebagai saksi atas kasus ini, tetapi Sudiman belum pernah," ujar perwakilan Kuasa Hukum, Anak Agung Ngurah Usada.
Dalam sidang ini, pendamping hukum mempertanyakan prosedur penahanan sekaligus penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian.
"Dua petani ini, tengah memperjuangkan tanah, lalu polisi datang, hingga membubarkan aksi. Membawa beberapa orang, kemudian disangkakan pasal tersebut. Pokok perkaranya adalah penangkapan dan penahanan tanpa prosedur yang dibenarkan secara hukum," terang Anak Agung.
Disebutkan, warga Desa Suka Mukti, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan telah menggelar aksi di lahan yang diduga diserobot PT. Treekreasi Marga Mulya
Saat kejadian itu, sebanyak 115 keluarga warga Desa Suka Mukti yang merupakan masyarakat transmigrasi SKPC 3 tahun 1981 menggelar aksi atas lahan mereka. Baca: Lulus Kuliah Ingin Jadi Perwira Polisi, Simak Cara Daftarnya!.
Petani mengungkapkan menjadi korban perampasan tanah akibat tindakan Kepala Desa Suka Mukti, yang menerbitkan SPH fiktif. Surat tanah tersebut diserahkan kepada pihak perusahaan PT. Treekreasi Marga Mulya atau PT. TMM.
Aksi tersebut dibubarkan paksa oleh polisi pada 16 Desember 2021 lalu. Sampai dengan 27 Januari, pihak pendamping hukum belum mendapatkan perkembangan penyelidikan terhadap kasus ini. Polisi telah menahan 8 warga, yang disebut membawa senjata api dan senjata tajam saat pendampingan tersebut. Baca Juga: Heroik! Satpam BRI Gagalkan Aksi Penipuan di Galeri ATM Pematang Siantar.
Sementara usai sidang, pihak kepolisian daerah (Polda) Sumatera Selatan atau sebagai pihak yang diadukan mengungkapkan akan menjawab pengajuan praperadilan pada sidang, Jumat (28/1/2022) besok.
(nag)