Ini Kisah Tentara AS tentang Dahsyatnya Ledakan Rudal Iran
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Letnan Kolonel Staci Coleman ingat betul dampak dari serangan rudal pertama Iran yang menghantam Pangkalan Udara Al Asad, Irak, pada malam 7 Januari 2020.
"Gelombang ledakan bisa dirasakan di sekujur tubuh," katanya. Kesaksian Coleman ini bagian dari beberapa kesaksian tentara Amerika Serikat (AS) tentang dahsyatnya rentetan serangan rudal Teheran beberapa bulan lalu. Kesaksian mereka resmi dirilis Komando Angkatan Udara Amerika beberapa hari lalu.
Seperti tentara lain yang berjongkok di pangkalan, Coleman ingat bahwa dia memikirkan keluarganya dan menghubungi mereka hanya untuk mengatakan; "Aku mencintaimu." Ucapan itu dia sampaikan tak lama setelah diperingatkan tentang serangan misil Teheran segera tiba.
Sesaat setelah Coleman menghubungi keluarganya, belasan rudal balistik Iran menghujani Pangkalan Udara Al Asad, tempat pasukan AS dan Irak berlatih bersama. Coleman, komandan Skuadron Ekspedisi Udara ke-443, adalah salah satu dari 24 penerbang AS yang laporan kesaksiannya dirangkum Komando Angkatan Udara AS.
Laporan kesaksian itu termasuk mereka yang ditempatkan di Pangkalan Udara Erbil, Camp Taji dan Camp Manion, yang semuanya terkena dampak ledakan misil-misil balistik Iran. Serangan Teheran itu sebagai pembalasan atas serangan pesawat tak berawak 3 Januari yang menewaskan komandan Pasukan Quds Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani.
Laporan awal menunjukkan tidak ada orang Amerika yang terluka dalam serangan itu. Namun, Pentagon berulang kali mengubah pernyataannya mengenai korban cedera, kemudian membenarkan bahwa banyak pasukan Amerika mengalami gejala seperti gegar otak.
Menurut data Pentagon, total ada 110 tentara Amerika yang menderita cedera otak traumatis ringan. Pekan lalu, juru bicara Departemen Pertahanan AS Letkol Thomas Campbell mengatakan kepada Military.com bahwa jumlahnya tidak bertambah.
Menurutnya, mayoritas tentara yang terkena dampak—sekitar 70 persen—telah kembali bertugas di Irak pada 21 Februari. Itu termasuk beberapa tentara yang diangkut ke Jerman untuk evaluasi dan perawatan.
Sebelumnya pada malam itu, Coleman harus memutuskan anggota timnya yang mana yang harus tetap tinggal, meskipun tidak tahu apa yang akan muncul terkait dengan serangan.
"Saya memutuskan siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati. Saya tidak percaya ada orang yang selamat dari serangan rudal balistik, dan itu membuat saya merasa mual dan tidak berdaya," katanya.
"Gelombang ledakan bisa dirasakan di sekujur tubuh," katanya. Kesaksian Coleman ini bagian dari beberapa kesaksian tentara Amerika Serikat (AS) tentang dahsyatnya rentetan serangan rudal Teheran beberapa bulan lalu. Kesaksian mereka resmi dirilis Komando Angkatan Udara Amerika beberapa hari lalu.
Seperti tentara lain yang berjongkok di pangkalan, Coleman ingat bahwa dia memikirkan keluarganya dan menghubungi mereka hanya untuk mengatakan; "Aku mencintaimu." Ucapan itu dia sampaikan tak lama setelah diperingatkan tentang serangan misil Teheran segera tiba.
Sesaat setelah Coleman menghubungi keluarganya, belasan rudal balistik Iran menghujani Pangkalan Udara Al Asad, tempat pasukan AS dan Irak berlatih bersama. Coleman, komandan Skuadron Ekspedisi Udara ke-443, adalah salah satu dari 24 penerbang AS yang laporan kesaksiannya dirangkum Komando Angkatan Udara AS.
Laporan kesaksian itu termasuk mereka yang ditempatkan di Pangkalan Udara Erbil, Camp Taji dan Camp Manion, yang semuanya terkena dampak ledakan misil-misil balistik Iran. Serangan Teheran itu sebagai pembalasan atas serangan pesawat tak berawak 3 Januari yang menewaskan komandan Pasukan Quds Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani.
Laporan awal menunjukkan tidak ada orang Amerika yang terluka dalam serangan itu. Namun, Pentagon berulang kali mengubah pernyataannya mengenai korban cedera, kemudian membenarkan bahwa banyak pasukan Amerika mengalami gejala seperti gegar otak.
Menurut data Pentagon, total ada 110 tentara Amerika yang menderita cedera otak traumatis ringan. Pekan lalu, juru bicara Departemen Pertahanan AS Letkol Thomas Campbell mengatakan kepada Military.com bahwa jumlahnya tidak bertambah.
Menurutnya, mayoritas tentara yang terkena dampak—sekitar 70 persen—telah kembali bertugas di Irak pada 21 Februari. Itu termasuk beberapa tentara yang diangkut ke Jerman untuk evaluasi dan perawatan.
Sebelumnya pada malam itu, Coleman harus memutuskan anggota timnya yang mana yang harus tetap tinggal, meskipun tidak tahu apa yang akan muncul terkait dengan serangan.
"Saya memutuskan siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati. Saya tidak percaya ada orang yang selamat dari serangan rudal balistik, dan itu membuat saya merasa mual dan tidak berdaya," katanya.