Jelang Pemakaman George Floyd Keluarga Tuntut Keadilan
loading...
A
A
A
Floyd bukanlah warga Afrika-Amerika pertama yang kematiannya di tahanan polisi telah memicu protes. Ada juga gelombang unjuk rasa dan seruan adanya perubahan setelah sosok, seperti Tamir Rice, Michael Brown, dan Eric Garner dibunuh aparat polisi.
Unjuk rasa menyebar ke seluruh 50 negara bagian dan Washington DC, termasuk di kota-kota dan kawasan pedesaan yang sebagian besar warganya berkulit putih. Gelombang protes Black Lives Matter kali ini tampaknya lebih beragam secara rasial, dengan jumlah yang lebih besar dari pengunjuk rasa kulit putih dan pendemo dari etnis lain bergabung dengan para aktivis kulit hitam.
Beberapa faktor berbeda lainnya ikut menentukan sehingga menciptakan "badai sempurna untuk aksi pemberontakan" terhadap kematian George Floyd, ujar Frank Leon Roberts, aktivis yang melakukan pendampingan dalam gerakan Black Lives Matter di New York University dilansir BBC. Dia mengungkapkan, dalam kasus George Floyd ini adalah ketidakdilan yang sepenuhnya tidak ambigu, karena masyarakat dapat melihat Floyd benar-benar tidak bersenjata dan tidak mampu berbuat apa-apa. (Baca juga: Rusia-China Siap Pasang Badan untuk Iran dari sanksi PBB)
"Dalam banyak contoh kekerasan yang dilakukan aparat polisi sebelumnya, ada semacam narasi yang bersifat ambigu--ada anggapan parsial tentang apa yang terjadi, atau aparat kepolisian mengatakan mereka membuat keputusan sepersekian detik karena mereka takut atas keselamatan mereka sendiri," kata Roberts. Banyak orang yang bergabung dalam unjuk rasa baru-baru ini merupakan pengalaman pertama berdemo, yang mengaku melihat kematian George Floyd membuat mereka merasa tidak bisa hanya berdiam diri di rumah lagi.
Kematian Floyd datang di tengah pandemi virus korona yang menyebabkan rakyat Amerika dipaksa agar tinggal di rumah mereka sehingga memicu tingkat pengangguran tertinggi sejak Great Depression pada 1930-an. Pada tingkat praktis, tingkat pengangguran sebesar 13% di AS yang berarti lebih banyak warga bisa ikut unjuk rasa tanpa disibukkan soal pekerjaan.
Unjuk rasa menyebar ke seluruh 50 negara bagian dan Washington DC, termasuk di kota-kota dan kawasan pedesaan yang sebagian besar warganya berkulit putih. Gelombang protes Black Lives Matter kali ini tampaknya lebih beragam secara rasial, dengan jumlah yang lebih besar dari pengunjuk rasa kulit putih dan pendemo dari etnis lain bergabung dengan para aktivis kulit hitam.
Beberapa faktor berbeda lainnya ikut menentukan sehingga menciptakan "badai sempurna untuk aksi pemberontakan" terhadap kematian George Floyd, ujar Frank Leon Roberts, aktivis yang melakukan pendampingan dalam gerakan Black Lives Matter di New York University dilansir BBC. Dia mengungkapkan, dalam kasus George Floyd ini adalah ketidakdilan yang sepenuhnya tidak ambigu, karena masyarakat dapat melihat Floyd benar-benar tidak bersenjata dan tidak mampu berbuat apa-apa. (Baca juga: Rusia-China Siap Pasang Badan untuk Iran dari sanksi PBB)
"Dalam banyak contoh kekerasan yang dilakukan aparat polisi sebelumnya, ada semacam narasi yang bersifat ambigu--ada anggapan parsial tentang apa yang terjadi, atau aparat kepolisian mengatakan mereka membuat keputusan sepersekian detik karena mereka takut atas keselamatan mereka sendiri," kata Roberts. Banyak orang yang bergabung dalam unjuk rasa baru-baru ini merupakan pengalaman pertama berdemo, yang mengaku melihat kematian George Floyd membuat mereka merasa tidak bisa hanya berdiam diri di rumah lagi.
Kematian Floyd datang di tengah pandemi virus korona yang menyebabkan rakyat Amerika dipaksa agar tinggal di rumah mereka sehingga memicu tingkat pengangguran tertinggi sejak Great Depression pada 1930-an. Pada tingkat praktis, tingkat pengangguran sebesar 13% di AS yang berarti lebih banyak warga bisa ikut unjuk rasa tanpa disibukkan soal pekerjaan.
(zai)