Kisah Prajurit Estri, Pasukan Elit Perempuan Mataram yang Ditakuti Belanda

Jum'at, 24 Desember 2021 - 05:44 WIB
loading...
Kisah Prajurit Estri, Pasukan Elit Perempuan Mataram yang Ditakuti Belanda
Tari Bedhaya Anglir Mendung dibawwakan oleh wanita-wanita yang diciptakan Pangeran Sambernyawa atau KGPAA Mangkunegara I. Foto: Istimewa
A A A
PADA masa Kerajaan Mataram , istana tidak hanya dijaga dan dikawal para lelaki perkasa, namun terdapat deretan wanita-wanita perkasa nan ayu yang ikut andil dalam menjaga keamanan hingga mengawal sang raja.

Mereka dikenal sebagai prajurit estri, pasukan elite perempuan Mataram yang umumnya berasal dari perdesaan. Pada masanya, mereka dilatih keprajuritan oleh Pangeran Sambenyawa dan dipimpin oleh Rubiyah (Raden Ayu Matah Ati) tidak hanya mahir dalam bidang kesenian, tapi juga memiliki keterampilan bersenjata dan berkuda.

Akibat kemahiran Wanita-wanita Matara mini sehingga dia disegani dan ditakuti lawan-lawannya di medan perang. Hal itu diakui Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yakni Herman Willem Daendels.
Dia bahkan terkejut ketika menyaksikan pertunjukan turnamen perang-perangan yang dilakukan oleh 40 orang perempuan.


Herman Willem Daendels, bahkan kagum dengan kepiawaian perempuan-perempuan dalam menunggang kuda dan menggunakan bedil di atasnya. Mengingat di tanah asalnya, kemampuan itu hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Dalam buku berjudul Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, profesor tamu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan Vincent Houben, guru besar sejarah modern Asia Tenggara di Humboldt University Berlin, menulis bahwa keraton Mataram memiliki jumlah penjaga perempuan yang sangat besar di lingkungan istana.

Sementara dari laporan Francois Valentijn (1666-1727) seorang misionaris yang menyebutkan bahwa di areal keraton terdapat 10.000 perempuan yang bermukim.

Dari 10.000 perempuan, 3.000 di antaranya kebanyakan berusia lanjut, yang berkewajiban untuk mengurus gerbang masuk dan keluar istana. Sementara itu, 3.000 lainnya menjadi budak perempuan yang mengurusi permaisuri dan para selir raja, dan 4.000 lainnya bekerja sebagai pengrajin tekstil untuk kerajaan atau untuk berdagang.

Namun, selain itu, Peter dan Vincent menyebutkan bahwa kerajaan di kawasan Jawa Tengah bagian selatan memiliki prajurit perempuan yang memiliki andil dalam berperang. Dibuktikan dengan adanya buku harian yang ditulis oleh seorang korps prajurit estri


Selain menjadi pioner perang, korps Prajurit Estri merupakan Abdi Raja dalam istana. Selain memiliki karakter yang tangguh dalam peperangan, ternyata sebagian prajurit lainnya memiliki rangkap jabatan dalam istana.

Prajurit khusus wanita ini memiliki tugas mengusung perkakas raja, seperti bejana air minum, sirih komplet, pipa tembakau, keset, payung, kotak minyak wangi, dan pakaian-pakaian.
Selain itu, mereka juga bertugas menjaga Raja dengan membawa tombak dan tulup yang berjaga pada semua sisi keraton.

Korps prajurit estri yang lain berprofesi juga sebagai penyanyi, penari dan pemain musik dalam Kraton Mangkunegaran. Alhasil dari dua sumber tersebut bisa tahu bahwa prajurit ini memiliki kemampuan ganda dalam profesinya bekerja untuk istana.

Meski piawai dalam berkuda dan mengangkat senjata, namun para perempuan ini tak lupa dengan kodrat yang ada pada dirinya sebagai perempuan Jawa yang patuh.

Meskipun korps Prajurit Estri merupakan pelopor majunya kekuatan perempuan, namun ternyata belakangan berkembang informasi pemilihan anggotanya sangat diskriminatif.

Perekrutan prajurit perempuan dengan cara paksaan. Bahkan, hanya perempuan yang memiliki paras cantik yang dapat masuk menjadi prajurit. Kebanyakan anggota, perekrutannya dengan mengambil putri pejabat daerah, seperti lurah, demang, setingkat kecamatan maupun kabupaten.

Sementara menurut catatan sejarah lainnya, perempuan dengan paras paling cantik biasanya akan menjadi prajurit pengawal raja dalam Istana.Tak hanya itu, gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung atau Prajurit Keparak éstri, ataupun Pasukan Langenkusumo juga tersemat pada mereka.


Namun demikian, mereka lebih beruntung tidak menjadi selir raja. Pasalnya, dalam peraturan kerajaan selir tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup atau bahkan sudah meninggal.
Akan tetapi, sumber lain mengatakan, nasib korps prajurit estri sangat tragis saat waktu menjelang akhir hayat kerajaan Mangkunegaran.

Francoist Valentijn, seorang misionaris, ahli botani, dan penulis buku mencatat, istana Surakarta pada abad 18 telah terjadi eksploitasi perempuan besar-besaran.

Menurutnya, perempuan-perempuan mantan prajurit estri diperjual-belikan pada bangsawan setempat. Namun anehnya mereka justru senang dan bahagia karena menjadi istri bangsawan.

Mantan korps prajurit estri percaya bahwa suaminya kelak tak akan berani memperlakukannya secara buruk, apalagi ada ungkapan raja akan marah ketika memperlakukan buruk terhadap istri.

Bukan hanya sekarang, ternyata beberapa kerajaan di nusantara memiliki tentara yang diisi oleh perempuan untuk menjaga keamanan keraton dan kerajaan dari ancaman musuh.

Di kerajaan Surakarta yang waktu itu dipimpin raja bergelar Mangkunegaran I. Sang raja kerap aktif membangun kekuatan militer dengan konsep Tri Darma.

Pendeknya, konsep itu dia pakai dalam mengerahkan segala kekuatan dari semua golongan masyarakat, tak terkecuali perempuan yang tergabung dalam korps prajurit estri.

Untuk pertama kalinya kerajaan Mangkunegaran merekrut perempuan sebanyak 144 anggota yang terdiri dari divisi pleton karabijn (senapan), dan satu kavaleri lengkap dengan pasukan berkuda.
(sumber: berbagai sumber)
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0938 seconds (0.1#10.140)