Jaksa Pertimbangkan Hukuman Mati dan Kebiri Herry Wirawan si Predator Pemerkosa Santriwati

Selasa, 21 Desember 2021 - 15:18 WIB
loading...
Jaksa Pertimbangkan...
JPU sekaligus Kepala Kejati Jawa Barat, Asep N Mulyana. Foto: Agung/SINDOnews
A A A
BANDUNG - Pemerkosa belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan, Herry Wirawan (36) terancam hukuman mati akibat perbuatan bejatnya.

Pertimbangan hukuman mati tersebut mengemuka, dalam sidang lanjutan kasus perbuatan asusila yang dilakukan Herry, di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Asep N Mulyana menyatakan, hukuman mati dipertimbangkan dengan melihat fakta-fakta di persidangan.



"(Hukuman mati) Nanti kita lihat, saya gak berani berandai-andai, nanti fakta di persidangan seperti apa," ungkap Asep sesuai sidang, Selasa (21/12/2021).

Tidak hanya hukuman mati, lanjut Asep, pihaknya pun bakal mempertimbangkan hukuman lain untuk memperberat hukuman bagi terdakwa, yakni hukuman kebiri. "(Hukuman kebiri) nanti kita lihat," ujar Asep.

Lebih lanjut, Asep mengatakan, sidang lanjutan kali ini digelar secara hybrid dengan menghadirkan tiga anak sebagai saksi yang hadir secara offline di pengadilan dan online.



"Ada dua orang saksi yang hadir fisik, kemudian satu hadir yang memberikan keterangan melalui video conference," kata dia.

Dalam sidang, kata Asep, pihaknya berupaya menggali dugaan tindak pidana lain yang dilakukan Herry, terutama terkait dengan pengelolaan pesantren hingga penggunaan bantuan sosial (bansos).

"Sesuai yang disangkakan, kami tanyakan seluruhnya. Tidak hanya perbuatan pidana pada anak-anak itu, tapi juga termasuk penggunaan bansos," terang Asep.



Dilanjutkan dia, berdasarkan keterangan di persidangan, pesantren yang dikelola Herry merupakan penerima bantuan pemerintah. Tidak hanya itu, pihaknya juga berupaya menggali metode pembelajaran hingga kurikulum yang diterapkan.

"Kami juga tanyakan tadi tentang metode pembelajaran ya, bagaimana mekanisme pembelajaran di sana dan bagaimana kurikulum dan tempat pendidikan dimana si terdakwa itu bernaung, kami tanyakan seluruhnya," bebernya.

Menurutnya, metode yang digunakan ada yang dalam bentuk program Indonesia Pintar dan lainnya.



"Yang bersangkutan mengajukan atas nama anak-anak, kemudian menerima bansos dan ditarik untuk digunakan kepentingan bersangkutan," sambungnya.

Hingga saat ini, tambah Asep, sebanyak 18 saksi anak telah diperiksa dan dimintai kesaksiannya. Mereka merupakan saksi yang mengalami, melihat, dan mendengar langsung peristiwa itu.

"Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan, maka kami mengusulkan untuk memeriksa saksi secara maraton dalam artian klaster-klaster. Misal ada klaster bidan, di pisah secara bersamaan. Kemudian klaster menyangkut PNS, di pisah bersamaan, sehingga pertanyaan kami tidak berulang ulang dan juga untuk cepat," tukasnya.



Herry sendiri didakwa dengan dakwaan primair, melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Selain itu, Herry juga didakwa dakwaan subsidair, yakni melanggar Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
(hsk)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2338 seconds (0.1#10.140)