Awal Mula Panembahan Senopati Bercinta dengan Nyi Roro Kidul di Laut Selatan
loading...
A
A
A
Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, raja pertama Mataram , membuat gempar segoro kidul (Laut Selatan). Saat putra Ki Ageng Pamanahan itu berdiri di tepi samudera, mendadak muncul angin puting beliung bercampur hujan deras. Badai itu mendatangkan suara mengerikan.
Gelombang setinggi gunung bergulung-gulung membuat pohon-pohon di pantai seketika ambruk. Air laut menjadi panas mendidih. Tak ayal, ikan-ikan mati menggelepar. Banyak juga ikan yang meloncat ke daratan, namun tetap juga menemui ajal lantaran menghantam batu karang.
Mengapa huru-hara ini terjadi? Tak lain itu dampak dari kekuatan doa yang dipanjatkan Panembahan Senopati kepada Yang Maha Kuasa. Prahara itu tak urung mengejutkan penguasa kerajaan laut selatan, seorang ratu cantik jelita, Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Kidul. Dia pun membatin.
“Selama hidupku, belum pernah aku menyaksikan laut seperti ini. Kenapa ini? Apa kena gara-gara, apa karena matahari jatuh, atau apa mau kiamat,” kata Roro Kidul, disarikan dari buku ‘Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647’ yang ditulis sejarawan Belanda WL Olthof, dikutip, Sabtu (18/12/2021).
Olthof menerjemahkan, mahakarya sastra Jawa berupa tembang macapat ‘Babad Tanah Jawi’ yang mengisahkan tentang Mataram dan isinya serta silsilah raja-raja Jawa. Induk Babad Tanah Jawi mula-mula ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno atas perintah Pakubowono III dan telah beredar pada 1788.
Johannes Jacobus Meinsma lantas menerbitkan versi prosa dari induk tersebut pada pada 1874 yang dikerjakan Ngabehi Kertapraja. Karya Meinsma direproduksi oleh W L Olthof pada 1941. Namun menurut Merle Calvin Ricklefs, versi Meinsma dianggap bukan sumber utama untuk riset sejarah.
Dia justru mengakui edisi Olthof. Induk Babad Tanah Jawi juga ditulis Carik Adilangu II yang hidup di masa Pakubuwono I dan Pakubuwono II bertahun 1722.
Bukan tanpa alasan Penembahan Senopati mendatangi Laut Selatan. Langkah kakinya atas perintah sang Paman, Ki Juru Martani. Panembahan Senopati memang sedang gundah gulana. Dia tak henti berpikir kapan menjadi raja yang menguasai seluruh Tanah Jawa, turun-temurun hingga anak cucu.
Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, suatu ketika Ki Juru Martani menghampiri Panembahan Senopati yang sedang tiduran di Lipura. Tiba-tiba jatuh bintang bercahaya di dada keponakannya itu.
Bintang yang sinarnya terang benderang itu lantas berucap memberitahukan bahwa Panembahan Senopati akan menjadi raja di Mataram tanpa tanding. Disegani oleh musuh dan kaya raya. Wangsit dari bintang itu tak urung membuat Raden Bagus Dananjaya atau Raden Ngabehi Saloring Pasar (nama Panembahan Senopati) gelisah.
Dalam pikirannya, sudah waktunya dia mengambil alih Kerajaan Pajang. Kegelisahan itu ditangkap Ki Juru Martani. Dia mengingatkan, ucapan bintang bercahaya itu tak lain suara gaib yang belum tentu benar. Panembahan Senopati pun bingung.
“Kalau menurut nasihatku, mari bersama memohon kepada Allah, segala yang sulit semoga dipermudahkan. Mari berbagi tugas. Kamu pergilah ke Laut Kidul, sementara aku akan ke Gunung Merapi. Mari kita bersama-sama berangkat,” kata Juru Martani. Senopati lantas menuju Kali Ompak, terjun ke sungai berenang seturut aliran air.
Digoda Kanjeng Ratu Kidul
Huru-hara di samudera selatan membangunkan Nyi Roro Kidul yang sedang beristirahat di pembaringannya yang bertabur emas, berhias intan, berlian dan batu mulia lainnya. Babad Tanah Jawi menggambarkan Kanjeng Ratu Kidul menguasai seluruh makhluk halus di Jawa.
Dia lalu memperlihatkan diri kepada Panembahan Senopati. Segera didekati, lalu bersujud di kakinya dan berkata dengan hormat. “Semoga berkenan menghilangkan sedih hati agar hilang pula goro-goro (bencana) ini. Kasihanilah, sebab laut ini saya yang jaga,” kata Nyi Roro Kidul.
Senopati setelah mendengar suara itu begitu gembira hatinya. Prahara pun berhenti. Ikan-ikan yang mati hidup lagi. Nyi Roro Kidul menyembah dengan gerakan menggoda, pulang kembali ke samudera.
Tapi Senopati saat itu juga kasmaran. Dia pun mengikuti berjalan di atas air menuju kerajaan Nyi Roro Kidul. Senopati betul-betul terkesima. Dia bahkan tak ragu untuk mengutarakan isi hatinya.
“Ni mas, saya ingin sekali melihat tempat tidurmu,” ucapnya. Ucapan itu bersambut. “Marilah tidak usah malu-malu, saya selalu menunggu, Paduka empunya,” tutur Nyi Roro Kidul.
Panembahan Senopati tiga hari tiga malam tinggal di Laut Selatan. Di sana dia menghabiskan waktu untuk bermesraan dengan Nyi Roro Kidul. Di situ pula dia diberi petunjuk menjadi raja yang mampu menguasai manusia, jin dan peri.
Lihat Juga: Mitos dan Sejarah di Keraton Yogyakarta, Farel Tarek Ungkap Cerita Mistis Sultan dan Nyi Roro Kidul
Gelombang setinggi gunung bergulung-gulung membuat pohon-pohon di pantai seketika ambruk. Air laut menjadi panas mendidih. Tak ayal, ikan-ikan mati menggelepar. Banyak juga ikan yang meloncat ke daratan, namun tetap juga menemui ajal lantaran menghantam batu karang.
Baca Juga
Mengapa huru-hara ini terjadi? Tak lain itu dampak dari kekuatan doa yang dipanjatkan Panembahan Senopati kepada Yang Maha Kuasa. Prahara itu tak urung mengejutkan penguasa kerajaan laut selatan, seorang ratu cantik jelita, Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Kidul. Dia pun membatin.
“Selama hidupku, belum pernah aku menyaksikan laut seperti ini. Kenapa ini? Apa kena gara-gara, apa karena matahari jatuh, atau apa mau kiamat,” kata Roro Kidul, disarikan dari buku ‘Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647’ yang ditulis sejarawan Belanda WL Olthof, dikutip, Sabtu (18/12/2021).
Olthof menerjemahkan, mahakarya sastra Jawa berupa tembang macapat ‘Babad Tanah Jawi’ yang mengisahkan tentang Mataram dan isinya serta silsilah raja-raja Jawa. Induk Babad Tanah Jawi mula-mula ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno atas perintah Pakubowono III dan telah beredar pada 1788.
Johannes Jacobus Meinsma lantas menerbitkan versi prosa dari induk tersebut pada pada 1874 yang dikerjakan Ngabehi Kertapraja. Karya Meinsma direproduksi oleh W L Olthof pada 1941. Namun menurut Merle Calvin Ricklefs, versi Meinsma dianggap bukan sumber utama untuk riset sejarah.
Dia justru mengakui edisi Olthof. Induk Babad Tanah Jawi juga ditulis Carik Adilangu II yang hidup di masa Pakubuwono I dan Pakubuwono II bertahun 1722.
Bukan tanpa alasan Penembahan Senopati mendatangi Laut Selatan. Langkah kakinya atas perintah sang Paman, Ki Juru Martani. Panembahan Senopati memang sedang gundah gulana. Dia tak henti berpikir kapan menjadi raja yang menguasai seluruh Tanah Jawa, turun-temurun hingga anak cucu.
Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, suatu ketika Ki Juru Martani menghampiri Panembahan Senopati yang sedang tiduran di Lipura. Tiba-tiba jatuh bintang bercahaya di dada keponakannya itu.
Baca Juga
Bintang yang sinarnya terang benderang itu lantas berucap memberitahukan bahwa Panembahan Senopati akan menjadi raja di Mataram tanpa tanding. Disegani oleh musuh dan kaya raya. Wangsit dari bintang itu tak urung membuat Raden Bagus Dananjaya atau Raden Ngabehi Saloring Pasar (nama Panembahan Senopati) gelisah.
Dalam pikirannya, sudah waktunya dia mengambil alih Kerajaan Pajang. Kegelisahan itu ditangkap Ki Juru Martani. Dia mengingatkan, ucapan bintang bercahaya itu tak lain suara gaib yang belum tentu benar. Panembahan Senopati pun bingung.
“Kalau menurut nasihatku, mari bersama memohon kepada Allah, segala yang sulit semoga dipermudahkan. Mari berbagi tugas. Kamu pergilah ke Laut Kidul, sementara aku akan ke Gunung Merapi. Mari kita bersama-sama berangkat,” kata Juru Martani. Senopati lantas menuju Kali Ompak, terjun ke sungai berenang seturut aliran air.
Digoda Kanjeng Ratu Kidul
Huru-hara di samudera selatan membangunkan Nyi Roro Kidul yang sedang beristirahat di pembaringannya yang bertabur emas, berhias intan, berlian dan batu mulia lainnya. Babad Tanah Jawi menggambarkan Kanjeng Ratu Kidul menguasai seluruh makhluk halus di Jawa.
Dia lalu memperlihatkan diri kepada Panembahan Senopati. Segera didekati, lalu bersujud di kakinya dan berkata dengan hormat. “Semoga berkenan menghilangkan sedih hati agar hilang pula goro-goro (bencana) ini. Kasihanilah, sebab laut ini saya yang jaga,” kata Nyi Roro Kidul.
Senopati setelah mendengar suara itu begitu gembira hatinya. Prahara pun berhenti. Ikan-ikan yang mati hidup lagi. Nyi Roro Kidul menyembah dengan gerakan menggoda, pulang kembali ke samudera.
Tapi Senopati saat itu juga kasmaran. Dia pun mengikuti berjalan di atas air menuju kerajaan Nyi Roro Kidul. Senopati betul-betul terkesima. Dia bahkan tak ragu untuk mengutarakan isi hatinya.
“Ni mas, saya ingin sekali melihat tempat tidurmu,” ucapnya. Ucapan itu bersambut. “Marilah tidak usah malu-malu, saya selalu menunggu, Paduka empunya,” tutur Nyi Roro Kidul.
Panembahan Senopati tiga hari tiga malam tinggal di Laut Selatan. Di sana dia menghabiskan waktu untuk bermesraan dengan Nyi Roro Kidul. Di situ pula dia diberi petunjuk menjadi raja yang mampu menguasai manusia, jin dan peri.
Lihat Juga: Mitos dan Sejarah di Keraton Yogyakarta, Farel Tarek Ungkap Cerita Mistis Sultan dan Nyi Roro Kidul
(sms)