Bersekongkol dengan Kompeni, Siasat Licik Ratu Syarifah Raih Kekuasaan Berakhir di Pengasingan

Rabu, 15 Desember 2021 - 05:04 WIB
loading...
Bersekongkol dengan Kompeni, Siasat Licik Ratu Syarifah Raih Kekuasaan Berakhir di Pengasingan
Kisah konflik internal Kesultanan Banten tidak lepas dari skenario halus para pencari rempah-rempah di Nusantara. Foto ilustrasi SINDOnews
A A A
JAKARTA - Siapa yang menabur angin, akan menuai badai. Pepatah lawas nan bijak ini mungkin cocok disematkan pada sosok Ratu Syarifah Fatimah. Permaisuri Sultan Syifa Zaenul Arifin ini ingin meraih kekuasaan dengan cara bersekongkol dengan Belanda. Namun, alih-alih mendapatkan kekuasaan di Kesultanan Banten, Ratu Syarifah Fatimah dan putranya malah dibuang ke pengasingan oleh kompeni Belanda

Kisah konflik internal Kesultanan Banten tentu tidak lepas dari skenario halus para pencari rempah-rempah di Nusantara. VOC sangat berkepentingan untuk mendapatkan semua yang mereka perlukan, namun dengan cara melemahkan pengaruh dan kekuasaan kaum raja-raja dan sultan. Kesultanan Banten salah satu yang patut diperhitungkan dan masuk dalam skenario pelemahan.

Pelemahan Kesultanan Banten, dimulai saat Pangeran Rajamangala menjadi Sultan yang bergelar Sultan Syifa Zaenal Arifin. Ia memerintah dari 1690 hingga 1733. Baca Juga: Puluhan Raja dan Permaisuri Keraton Nusantara Kumpul di Keraton Sumedang Larang

Disebutkan dalam buku sejarah, Syarifah adalah putri seorang ulama terkenal dan disegani oleh kalangan Keraton Surosowan yaitu Sayyid Ahmad.

Jauh sebelum menjadi sultan, Pangeran Rajamangala sudah mempunyai putera yang nanti dipersiapakan jadi sultan berikutnya, yaitu Pangeran Gusti atau Pangeran Arif. Nah, setelah ibunya pangeran Gusti ini meninggal, ayahnya menikahi Syarifah Fatimah dan menjadikannya permaisuri.

Disebutkan juga bahwa sang ratu memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi penguasa Banten. Setidaknya, kalau bukan dirinya yang berkuasa, putranya harus menjadi sultan berikutnya. Niat ini awal petaka ketika bicara suksesi kepemimpinan pasca Sultan Zaenul Arfin. Jelas, permaisuri menginginkan putranya yaitu Pangeran Syarif Abdullah menjadi suklan.

Untuk memuluskan niatnya itu, ratu melancarkan siasat dengan memohon bantuan VOC di Batavia. Gayung bersambut. Gubernur Jenderal VOC Gustaff Williem Van Imhoff menyanggupi permintaan Ratu Syarifah.

Skenario pertama, Sultan Zaenul Arifin dibenturkan dengan putranya Pangeran Gusti. Sang putra berhasil terprovokasi oleh Ratu Syarifah. Ia berontakan terhadap ayahnya, Sultan Zaenul Arifin. Skenario ini berhasil, sebab sang ayah menghukum Pangeran Gusti dengan membuangnya ke Sri Langka.

Setelah putra mahkota itu berhasil disingkirkan, skenario kedua diarahkan ke Sultan Zaenal Arifin. Campur tangan kompeni lewat permaisuri makin kuat hingga wibawa sultan Banten makin lemah.

Puncaknya terjadi pada 1748, saat konspirasi antara permaisuri dan Belanda berhasil menggulingkan kekuasaan sah Sultan Zaenul Arifin. Sultan Zaenul Arifin dibuang ke Ambon sebagai pesakitan oleh VOC Belanda.

Seiring melemahnya Kesultanan Banten, VOC semakin menguasai hasil bumi. VOC memonopoli pedagangan di Banten. Pala, lada, cengkeh dan komoditi lainnya dikuasai VOC.

Sisi lain, masyarakat dan para tokoh Banten muak dengan ambisi Ratu Syarifah Fatimah yang sudah memakan korban yaitu suaminya. Selepas Pangeran Gusti dan Sultan Zaenal Arifin dibuang, situasi soail di Kesultanan Banten semakin memburuk.

Maka 1 November 1750, masyarakat yang sudah sangat marah melakukan perlawanan terhadap permaisuri dan putranya. Pemberontakan dipimpin oleh dua tokoh legendaris yaitu Kiai Tapa alias Kiai Bagus Mustofa dan Tubagus Buang. Basis perjuangan para pemberontak ini adalah Gunung Munara, kawasan antara Gunung Kaler dan Kresek Tangerang

Perang yang dipimpin kedua tokoh itu pecah. Pasukan pemebrontak yang dipimpin oleh Kiai Tapa dan Tubagus Buang mampu menusuk masuk ke dalam area keraton yang prajuritnya tidak bisa mengimbangi pasukan Kiai Tapa.

Padahal saat itu, pasukan penjaga keraton terdiri dari tentara campuran Eropa yang dibina oleh VOC dan pasukan pribumi non parjurit. Mereka ikut bergabung untuk menghalau serbuan pasukan Kiai Tapa dan Tubagus Buang.

Meski demikian, pasukan gabungan keraton tidak bisa membendung serangan pasukan pemberontak. Merasa terdesak, keraton kemudian mengajukan permohonan bantuan tentara VOC yang ditempatkan di tangsi-tangsi yang jaraknya tidak jauh dari Keraton Surosowan.

Sayangnya permohonan itu tidak direspons oleh otoritas Belanda di Banten. Alih-alih membantu, pihak VOC malah menuduh Ratu Syarifah sebagai biang kegaduhan atas terjadinya kekacauan di kesultanan Banten.

Lagi-lagi VOC ingin ambil untung dari pemberontakan ini. Dengan niat tersembunyi ingin tetap menguasai Banten secara ekonomi, VOC tampil sebagai penegah. VOC berusaha meredam amarah pemberontak terhadap permaisuri dengan cara menghukum permaisuri.

Pada Januari 1751 Belanda menghukum Ratu Syarifah dengan membuanganya ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu bersama putranya Syarif Abdullah hingga mereka wafat di sana sebagai tahanan politik. Untuk mengisi kekosongan, Pangeran Adi Santika saudara tua sultan yang dibuang akhirnya dinobat oleh Kompeni Belanda sebagai Regent Pangeran atau penguasa sementara.

Pada tahun 1752, VOC di Batavia memutuskan untuk menjemput kembali sang putra mahkota yakni Pangeran Gusti dari Sri Langka untuk kemudian didudukan sebagai Regent Pangeran atau putera mahkota.

Dengan situasi ini, kompeni semakin berkuasa mengendalikan Banten. Bahkan Pangeran Gusti tidak secara langsung diangkat sebagai sultan baru pengganti mendiang ayahnya yang dibuang di Ambon Maluku melainkan VOC mengangkat Pangeran Adi Santika sebagai sultan baru dengan gelar Sultan Wasi Zaenul ‘Alimin.

Meski kemudian Sultan Wasi harus meletakkan jabatanya di tahun 1752 sebagai sultan kepada keponakanya yang memang sudah digadang-gadang akan dinobatkan menjadi Sultan Banten.

Singkat cerita, suksesi Kesultanan Banten secara priodik, tidak lain dari sekenario geo-politik kolonial Belanda dalam rangka mengamankan komoditi perdagangan.

Diolah dari berbagai sumber
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4377 seconds (0.1#10.140)