Kisah Pohon Sukun, Sukarno dan Butir-Butir Pancasila
loading...
A
A
A
Cerita tentang ideologi Pancasila dengan lima sila di dalamnya tidak lepas dari cerita tentang Sukarno. Kisah tentang Bung Karno yang dibuang ke Flores, tepatnya di Ende -yang sekarang menjadi salah sati kabupaten di Flores NusaTenggara Timur (NTT)- juga selalu dikaitkan dengan Pohon Sukun.
Menurut catatan sejarah, pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda, Sukarno kerap kali keluar masuk penjara. Setelah dipenjara di tempat tahanan Sukamiskin pada 1934-1939, Bung Karno masih dianggap sebagai figur berbahaya bagi kepentingan kolonial Belanda. Rasa ketakutan inilah yang mendorong penjajah untuk membuang Sukarno ke Flores, tepatnya Ende, sebuah tempat yang jauh dan terpencil di Indonesia bagian timur.
Sang Proklamator itu menjalani masa tahanan di Ende dalam waktu yang relatif lama, yakni selama empat tahun, dari 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Saking jauhnya dari Jawa menuju Flores, waktu yang ditempuh Bung Karno -menurut catatan sejarah- mencapai 8 hari perjalanan dengan menggunakan kapal laut. (Baca Juga: Danau Rayo, Legenda Pemuda Buruk Rupa Sakti Mandraguna)
Dalam pengasingan ini, Sukarno didampingi istri tercinta Inggit Garnasih, anak angkat Ratna Djuami, Ibu Amsi mertuanya. Mereka menempati rumah sederhana milik Abdullah Ambuwawu di kawasan Ambugaga, kampung kecil yang terdiri dari pondok-pondok beratap ilalang. Di sinilah Sukarno dan keluarga menjalani kehidupan bersahaja.
Sebagaimana lumrah, tokoh yang dibuang ke tempat terpencil, akses untuk berkoresponden menjadi fakta tak bisa dipungkiri. Namun, di sinilah ketokohan itu menguat. Ia ditempa menjadi tokoh yang makin tegar di alam yang serba sulit. Sang tokoh, dengan ini, memiliki banyak waktu untuk membaca dan lebih banyak berpikir daripada sebelumnya.
Dia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam, hingga belajar pluralisme dengan bergaul bersama pastor di Ende. Ia mengalami keseharian masyarakat Ende yang sangat harmonis dalam berketuhanan dan bermasyarakat. Selain itu, Sukarno juga mulai melukis dan menulis naskah pementasan drama. Dia juga berkebun. Di sekitar lokasi pengasingannya, terdapat sebuah taman, tempat dia Bung Karno banyak merenung.
Di taman tersebut, terdapat pohon sukun yang rindang bercabang lima. Dari sinilah Sukarno merancang lima bulir yang menjadi dasar Pancasila. Melalui perenungan yang mendalam di taman ini dan di bawah rindang Pohon Sukun, Bung Karno mendapat ilham bahwa negara ini harus memiliki ideologi yang merangkum berbagai aspek kebangsaan.
Pada tahun 1954, Bung Karno meresmikan "Rumah Museum" di taman tempat ia merenung. Di atas prasasti tertulis, "Di kota ini kutemukan lima butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila". (Baca Juga: Prasasti Gondang, Situs Peninggalan Kerajaan Singosari yang Usang)
Saat ini, kawasan tman Soekarno merenung dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan kreasi seni dan budaya, serta diskusi. Selain menjadi lokasi lahirnya Pancasila, taman juga menjadi salah satu objek wisata sejarah yang tidak boleh dilewatkan.
Taman itu tampak indah dan dipercantik dengan patung Sukarno yang tengah duduk sambil menghadap laut. Patung karya perupa Hanafi ini diresmikan Wapres Boediono tahun 2013. Lokasi patung adalah tempat Soekarno merenungkan Pancasila dulu.
Hanya, Pohon Sukun yang asli telah lama tumbang, tepatnya tahun 1960. Sedangkan pohon sukun baru sebagai penggantinya adalah pohon sukun yang ditanam oleh Megawati Sukarnoputri, saat menjadi presiden.
Lihat Juga: BPIP Gelar Diskusi di Ambon, Nilai-nilai Universal Agama Penting untuk Tegakkan Moralitas dan Etika
Menurut catatan sejarah, pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda, Sukarno kerap kali keluar masuk penjara. Setelah dipenjara di tempat tahanan Sukamiskin pada 1934-1939, Bung Karno masih dianggap sebagai figur berbahaya bagi kepentingan kolonial Belanda. Rasa ketakutan inilah yang mendorong penjajah untuk membuang Sukarno ke Flores, tepatnya Ende, sebuah tempat yang jauh dan terpencil di Indonesia bagian timur.
Sang Proklamator itu menjalani masa tahanan di Ende dalam waktu yang relatif lama, yakni selama empat tahun, dari 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Saking jauhnya dari Jawa menuju Flores, waktu yang ditempuh Bung Karno -menurut catatan sejarah- mencapai 8 hari perjalanan dengan menggunakan kapal laut. (Baca Juga: Danau Rayo, Legenda Pemuda Buruk Rupa Sakti Mandraguna)
Dalam pengasingan ini, Sukarno didampingi istri tercinta Inggit Garnasih, anak angkat Ratna Djuami, Ibu Amsi mertuanya. Mereka menempati rumah sederhana milik Abdullah Ambuwawu di kawasan Ambugaga, kampung kecil yang terdiri dari pondok-pondok beratap ilalang. Di sinilah Sukarno dan keluarga menjalani kehidupan bersahaja.
Sebagaimana lumrah, tokoh yang dibuang ke tempat terpencil, akses untuk berkoresponden menjadi fakta tak bisa dipungkiri. Namun, di sinilah ketokohan itu menguat. Ia ditempa menjadi tokoh yang makin tegar di alam yang serba sulit. Sang tokoh, dengan ini, memiliki banyak waktu untuk membaca dan lebih banyak berpikir daripada sebelumnya.
Dia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam, hingga belajar pluralisme dengan bergaul bersama pastor di Ende. Ia mengalami keseharian masyarakat Ende yang sangat harmonis dalam berketuhanan dan bermasyarakat. Selain itu, Sukarno juga mulai melukis dan menulis naskah pementasan drama. Dia juga berkebun. Di sekitar lokasi pengasingannya, terdapat sebuah taman, tempat dia Bung Karno banyak merenung.
Di taman tersebut, terdapat pohon sukun yang rindang bercabang lima. Dari sinilah Sukarno merancang lima bulir yang menjadi dasar Pancasila. Melalui perenungan yang mendalam di taman ini dan di bawah rindang Pohon Sukun, Bung Karno mendapat ilham bahwa negara ini harus memiliki ideologi yang merangkum berbagai aspek kebangsaan.
Pada tahun 1954, Bung Karno meresmikan "Rumah Museum" di taman tempat ia merenung. Di atas prasasti tertulis, "Di kota ini kutemukan lima butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila". (Baca Juga: Prasasti Gondang, Situs Peninggalan Kerajaan Singosari yang Usang)
Saat ini, kawasan tman Soekarno merenung dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan kreasi seni dan budaya, serta diskusi. Selain menjadi lokasi lahirnya Pancasila, taman juga menjadi salah satu objek wisata sejarah yang tidak boleh dilewatkan.
Taman itu tampak indah dan dipercantik dengan patung Sukarno yang tengah duduk sambil menghadap laut. Patung karya perupa Hanafi ini diresmikan Wapres Boediono tahun 2013. Lokasi patung adalah tempat Soekarno merenungkan Pancasila dulu.
Hanya, Pohon Sukun yang asli telah lama tumbang, tepatnya tahun 1960. Sedangkan pohon sukun baru sebagai penggantinya adalah pohon sukun yang ditanam oleh Megawati Sukarnoputri, saat menjadi presiden.
Lihat Juga: BPIP Gelar Diskusi di Ambon, Nilai-nilai Universal Agama Penting untuk Tegakkan Moralitas dan Etika
(don)