Kerajaan Majapahit dan Rentetan Bencana Alam yang Memicu Kehancurannya

Minggu, 21 November 2021 - 05:00 WIB
loading...
Kerajaan Majapahit dan Rentetan Bencana Alam yang Memicu Kehancurannya
Majapahit dihantui aktifitas gunung berapi dan situs-situs peninggalannya terkubur lapisan lahar.Foto/dok
A A A
Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia. Majapahit berdiri sekitar 1293 - 1500 M dan mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk tahun y1350 - 1389.

Kerajaan Majapahit berpusat di dekat Trowulan yang letaknya kurang lebih 10 KM di sebelah barat daya Kota Mojokerto sekarang. Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya penemuan di desa-desa sekitar Trowulan berupa fondasi bangunan, candi, gapura, reservoar air dan umpak-umpak rumah.

Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya, Sani Safitri dalam "Telaah Geomorfologi Kerajaan Majapahait" menuliskan, penelitian geologis Institut Teknologi Bandung pada 1980 menghasilkan suatu teori bahwa hancurnya Majapahit itu karena ledakan gunung api yang disertai dengan banjir besar.

Baca juga: Siasat Ratu Suhita Penggal Kepala Raden Gajah untuk Padamkan Api Pemberontakan di Majapahit

Kemungkinan besar adalah ledakan gunung Welirang atau Anjasmoro, sedangkan kemungkinan kedua adalah aliran lahar dari piroklastik yang berasal dari gunung Welirang.

Arah aliran maut ini diperkirakan menuju ke Utara dan Barat Laut, melalui kali Gembolo dan anak-anak Sungai Brantas lain yang berasal dari gunung Welirang. Di samping aliran benda-benda lepas hasil longsoran dari kompleks Gentonggowahgede dapat saja meluncur melalui lembah Jurangcelot dan langsung menghambur ke daerah Jatirejo dan tumpahnya persis di daerah pusat Kerajaan Majapahit. Longsoran itu dapat diawali oleh gempa hebat dan banjir sungai yang besar.

Untuk mendukung teori tersebut di atas, Sampurna pada pertemuan ilmiah Ikatan Ahli Geologi ke 9 di Yogyakarta (1983) berkata; “Tidak mungkin suatu pusat kerajaan besar lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suatu relik. Akan tetapi untuk Majapahit seakan-akan pada suatu saat segalanya itu dihancurkan oleh suatu bencana hebat”.

Suatu kelemahan dari teori sebelumnya yang diakuinya adalah kapan kiranya bencana tersebut terjadi. Kemungkinan pada waktu pusat kerajaan masih dalam keadaan puncak kejayaan dan bencana alam telah mengubur sebagian dari pusat kerajaan. Kemungkinan lain adalah bahwa datangnya bencana tersebut justru kemudian yakni jauh sesudah keruntuhan Kerajaan Majapahit.

Tetapi bencana alam itu sendiri mungkin sekali berkaitan dengan apa yang dicatat dalam risalah Kerajaan Majapahit sebagai Guntur Pawatugunung yang terjadi pada 1481. Jika benar artinya peristiwa itu ada pada akhir zaman keagungan Majapahit.

Tetapi andaikata pusat kerajaan tidak dihancurkan oleh bencana alam, kerajaan yang pernah amat besar itu dan menguasai seluruh Nusantara dapat saja mengalami kemunduran sebagai akibat dari proses pendangkalan kali Brantas, khususnya bagian deltanya dan kali Porong.

Bersamaan dengan itu, garis pantai maju dan menghambat lalulintas air sehingga hubungan Majapahit dengan dunia luar tersumbat karenanya, sedang pada masa itu jalur itu dominan.



Baca juga: 27 Persen Balita di Jawa Timur Alami Gizi Buruk selama Pandemi Covid-19

Majapahit dan Aktivitas Gunung Api


Sebuah penelitian menyebutkan, Majapahit dihantui aktifitas gunung berapi dan situs-situs peninggalannya terkubur lapisan lahar. Candi, sarana kota, permukiman semuanya porak poranda terkubur material muntahan Sang Giri.

"Ini yang mengubur peradaban, yang sekarang ditemukan di beberapa tempat. Antara lain situs Kedaton di Jonbang, Sumberbeji di Jombang, dan Kumitir di Trowulan," terang peneliti ITS, Amien Widodo.

Sementara dalam Serat Pararaton mencatat terjadinya bencana berkali-kali. Tulisan yang dibuat pada masa akhir Majapahit menyebut gunung meletus pada 1233 Saka (1311 M), 1317 Saka (1395 M), 1343 Saka (1421 M), 1373 Saka (1451 M), 1384 Saka (1462 M), dan 1403 Saka (1481 M).a

Juga ada bencana lain seperti gemuruh lahar dingin (guntur banyu pindah) pada 1256 Saka (13334 M) dan muncul gunung anyar (baru) pada 1307 Saka (385 M).

Letusan gunung pada 1343 Saka (1421 M) diikuti kekurangan pangan pasa 1348 Saka (1426 M). Gempa bumi (palindu) terjadi pada 1372 Saka (1450 M) sebelum gunung meletus pada 1373 Saka (1451 M).



Strategi Majapahit Antisipasi Letusan Gunung Berapi

Lingkungan alam di Kerajaan Majapahit memberikan dukungan terhadap kemajuan. Namun juga menyimpan bahaya berupa bencana alam, yaitu bencana banjir dan letusan gunung berapi.

Masyarakat Majapahit rupanya memahami betul ancaman tersebut dan mengantisipasinya dengan pembangunan waduk-waduk. Demikian dikutip dari buku "Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota", editor Prof Dr Inajati Adrisijanti yang diterbitkan Kepel Press, 2014.

Berdasarkan fungsinya, waduk-waduk yang ada di situs Trowulan dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok barat laut dan kelompok timur. Waduk-waduk yang ada di kelompok barat laut berfungsi sebagai jalur transportasi air, sebagai contoh adalah waduk Temon.

Terdapat dua kanal kuno yang bermuara di sungai Temon dari arah barat. Dalam prasasti Canggu juga disebutkan bahwa tempat penyeberangan kali pertama adalah Temon, sehingga dugaan bahwa waduk Temon sebagai terminal air cukup beralasan. Adapun kelompok kedua adalah kelompok timur.

Waduk-waduk yang ada di kelompok timur mempunyai fungsi sebagai penyeimbang debit air, sehingga pada musim hujan tidak terjadi banjir, dan pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan.

Tulisan diolah dari berbagai sumber:
-Historia.id
-e-Jurnal Sani Safitri "Telaah Geomorfologi Kerajaan Majapahit"
-Buku "Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota"
-Okezone.com
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1414 seconds (0.1#10.140)