Anak Rentan Terdampak Covid-19, Sekolah Belum Direkomendasikan Dibuka

Jum'at, 05 Juni 2020 - 08:42 WIB
loading...
Anak Rentan Terdampak Covid-19, Sekolah Belum Direkomendasikan Dibuka
Anak didik di sektor pendidikan disebut rentan tertular, yang membuat potensi tingkat penyebaran virus semakin tinggi. Foto : SINDOnews/Doc
A A A
MAKASSAR - Rencana membuka dan memulai proses belajar mengajar di sekolah di masa pandemi Covid-19 masih berpolemik. Anak didik di sektor pendidikan disebut rentan tertular, yang membuat potensi tingkat penyebaran virus semakin tinggi.

Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Adi Suryadi Culla meminta pemerintah tidak gegabah menetapkan kebijakan. Bahkan, dirinya ragu kebijakan ini akan sukses jika dikemudian hari diterapkan. "Menurut saya, kesimpulan saya belum siap. Jadi pemerintah jangan gegabah," tegas Adi saat telekonferensi, kemarin.

Baca : Belajar dari Rumah Bakal Diperpanjang Hingga 19 Juni

Adi lantas memberikan beberapa argumen belum siapnya sekolah dibuka. Paling utama, pemerintah pusat belum menyiapkan kebijakan berupa petunjuk teknis yang mendetail bagi daerah jika rencana ini dijalankan.

"Saya lihat pemerintah belum siap itu. Kalaupun siap, siapnya itu apa? Ini harus dibuat kriteria apa yang disebut siap, harus diperjelas apanya yang siap. Saya kira perlu ada parameter, ada ukuran, ini saya kira belum siap juga ini kriteria dan ukurannya," urai dia.

Selama inipun, belum ada data pemetaan per wilayah terkait kasus Covid-19. Dalam artian, daerah yang dinilai masuk zona hijau. Padahal hal ini menjadi penting, untuk tiap daerah ikut mengambil tindakan, disamping karena kondisi wilayah yang berbeda-beda.

Pemerintah saat ini baru menekankan pelaksanaan pedoman protokol kesehatan. Namun, sekolah dinilai belum mampu menyiapkan segala infrastruktur pendukung pelaksanaan tersebut dalam waktu dekat jika tahun ajaran baru dimulai 13 Juli mendatang.

Adi berharap, skenario pembukaan sekolah masih harus dikaji lebih komprehensif. Pertimbangan faktor kemanusiaan harus dikedepankan. Skenario new normal di sektor ekonomi, tidak bisa disamakan di sektor pendidikan. Penanganannya pasti berbeda.

Baca Juga : Masjid-masjid di Sulsel Dibuka Kembali untuk Salat Berjamaah

"Apalagi saya membaca kebijakan yang diambil Presiden saja maju-mundur itu. Ketika kemarin (Presiden RI) pernah mengunjungi mal, mengunjungi beberapa infrastruktur ya, dikatakan siap. Tapi kemudian dievaluasi lagi. Ngomong belum siap," imbuhnya.

Dia menekankan, opini publik harus jadi acuan dalam pemerintah menetapkan kebijakan sebagai pertanggung jawaban. Sebab kebijakan yang diambil pemerintah, akan diperhadapkan oleh reaksi publik.

"Sebaiknya menurut saya, perlu ada survei juga untuk kebijakan itu. Perlu ada data. Kita belum ada data itu. Nanti kalau diberlakukan kebijakan masuk sekolah, itu harus dimuat argumentasi publiknya bahwa kita sudah beberapa kali dialog, konsultasi publik, atau survei, misalnya. Jadi ada pertanggungjawabannya," urai dia.

Sampai semua parameter itu dipenuhi, Akademisi asal Unhas inipun merekomendasikan agar pembelajaran jarak jauh atau daring (online) tetap dilakukan. Skenario belajar dari rumah cukup efektif dilakukan di tengah kondisi sekarang. Tahun ajaran baru sekolah yang sedianya dimulai tanggal 13 Juli tidak perlu diundur, jika penerapan itu dilakukan.

"Saya kira pada akhirnya menurut saya jangan memaksakan kebijakan lah, ya. Pemerintah ada kecenderungan saya lihat mau memaksakan di tengah situasi sekarang," sebut Adi.

Pada kesempatan yang sama, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sulsel, Basri menuturkan, skenario pembukaan sekolah menunggu kebijakan pusat. Apalagi sampai saat ini belum ada petunjuk teknis yang dikeluarkan pusat melalui Kemendikbud.

Dia mengaku, hal ini sudah beberapa kali didiskusikan dengan jajaran di Kemendikbud. Sebagai perwakilan pusat di daerah, pihaknya meminta agar ada pedoman yang diatur secara spesifik. Karena agenda new normal di sektor pendidikan penanganannya berbeda dibanding sektor lainnya.

"Kami meminta khusus di bidang pendidikan dibuat secara spesifik, secara khusus. Karena mau bagainanapun juga kondisi sekolah dengan lingkungan lainnya sangat berbeda. Tidak bisa disamakan siswa ketika berada di mall, dengan siswa berada di sekolah," tutur Basri.

Beberapa skenario kata dia, memang sudah disiapkan jika sekolah mulai dibuka. Namun hal ini belum final. Masih butuh kajian lebih lanjut. Aspek keselamatan komunitas sekolah, baik siswa, guru, pegawai tetap jadi pertimbangan.

"Saya terus terang saja selaku dinas pendidikan tidak mau bermain judi (bertaruh). Kami selalu mempertimbangkan secara matang untuk menerima masukan dari berbagai elemen masyarakat dan unsur-unsur lain yang punya kemampuan bisa memberi masukan," paparnya.

Di satu sisi, masa belajar yang dialihkan dari sekolah di rumah masih dilakukan, khususnya di tingkat SMA/SMK di bawah naungan Disdik Sulsel. Hal ini karena masa tanggap darurat Covid-19 memang belum berakhir. Pemberlakuan masa belajar dari rumah inipun kembali diperpanjang sejak tanggal 5 hingga 19 Juni 2020.

Kebijakan itu tertuang dalam surat edaran bernomor: 443.2/3450/Disdik yang diteken Gubernur Sulsel. "Tadi pagi sudah ditandatangai pak gubernur perpanjangan belajar dari rumah keenam kalinya," sambung Basri.

Keputusan ini otomatus membuat proses belajar mengajar tetap melalui online. Dengan memanfaatkan aplikasi media sosial. Bagi daerah yang terkendala akses internet, Disdik Sulsel juga sebelumnya telah menerapkan model pembelajaran dengan memberikan materi belajar terjadwal melalui kerja sama pemanfaatan media radio dan televisi.

Sementara penerimaan peserta didik baru (PPDB) pun tengah disiapkan. Rencananya tahapannya mulai dibuka akhir Juli 2020. Basri menegaskan, segala tahapan PPDB baik pendaftaran hingga verifikasi berkas, melalui via online.

"Kita memang tidak mengharapkan calon siswa dan orangtua datang ke sekolah," paparnya. Bahkan, jika memasuki masa pengenalan sekolah bagi siswa baru pun, diagendakan pelaksanaannya bakal digelar secara online.

Senada Plt Kepala Disdik Kota Makassar, Amalia Malik Hambali mengatakan, proses belajar mengajar di tingkat PAUD/TK/SD/SMP di bawah penangannya pun mengikut dengan edaran Pemprov Sulsel. Selanjutnya akan ditindaklanjuti di tingkat Pemkot Makassar ikut diperpanjang agar aktivitas belajar tetap dilakukan di rumah.

"Kita ketahui, bahwa persiapan belajar jarak jauh banyak dikeluhkan orang tua karena belum terbiasa. Tapi dalam keadaan seperti ini harus dilakukan demi kesehatan anak-anak kita. Kita ketahui sistem belajar sistem daring tidak semua bisa terjangkau, khususnya pulau di Makassar," papar Amalia.

Namun, dia mengaku untuk mendukung penyediaan fasilitas pelayanan internet dalam proses belajar mengajar bisa diakomodir melalui dana BOS. Kebijakan itu diatur dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

"Dana BOS dapat digunakan untik membiayai pengadaan kuota internet peserta didik dan pengadaan handisanitezer dan disienfektan di sekolah. Ini cukup membantu anak didik kita untuk internet," paparnya.

Dia menegaskan, sampai saat ini belum ada kebijakan untuk memundurkan kalender pendidikan tahun ajaran baru 2020/2021. Masih sesuai jadwal dimulai 13 Juli depan. Untuk kebijakan apakah sekolah sudah dibuka saat itu, masih menunggu pusat.

"Untuk keputusan proses belajar nanti sudah bisa di sekolah atau tetap di rumah, kami tentu menunggu kebijakan pusat, termasuk dari provinsi. Tapi kami sudah mendapatkan informailsi kemendikbud yang disampaikan, Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, menepis adanya kemunduran tahun ajaran baru ke Januari 2021," tegas Amelia.

Pakar Epidemiologi di Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unhas, Ansariadi memaparkan, pembukaan sekolah masih berisiko dilakukan. Apalagi penularan secara nasional, termasuk di Sulsel masih berlangsung, belum menunjukkan penurunan yang signifikan.

Hal ini kata dia merujuk pada data kasus harian yang dikeluarkan Gugus Tugas Covid-19 Sulsel. "Kita lihat kontak masih berlangsung setiap hari. Transmisi penyebaran virus ini masih terjadi di masyarakat secara luas," beber Ansariadi yang turut menjadi narasumber dalam telekonferensi.

Dia mengaku, resiko penularan tetap bisa terjadi. Meski peserta didik sekolah, utamanya pada anak kecil resiko penularan kecil dengan gejala yang ringan. Namun berpotensi menularkan ke orang dewasa.

"Dengan demikian rekomendasi saya adalah dengan melihat kurvanya, menurut saya belum saatnya dibuka. Tapi pertanyaan saya adalah, apakah ini berlaku untuk seluruh provinsi atau kabupaten. Ini perlu direview, didiskusikan yang mana kurang kasusnya," beber dia.

Wakil Dekan I Bidang Akademik FKM Unhas ini menambahkan, kalaupun sekolah dibuka harus dipastikan bahwa anak-anak resikonya tertular kecil melalui penanganan protokol kesehatan yang jelas. Dia mengaku khawatir jika anak kembali sekolah potensi second wave (fase kedua) serangan Covid-19 justru terjadi.

"Perlu didefinisikan yang dimaksud 'buka sekolah'. Dan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip pencegahan seperti physical distancing, penggunaan masker, cuci tangan," harao Ansariadi.

Sementara Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sulsel, Prof Dasril Daud justru mendukung kebijakan Kemendikbud agar proses pembelajaran jarak jauh atau daring tetap dilakukan. Kebijakan menjadikan rumah sebagai sekolah dinilai masih efektif di tengah kondisi saat ini.

Hal ini dilakukan, untuk mengantisipasi adanya lonjakan kasus kedua serangan Covid-19. Belum dibukanya sekolah, dinilai bisa memperlambat penyebaran virus. Sebaiknya sekolah, kata dia, tidak dibuka hingga akhir tahun.

"Sebaiknya sekolah tidak dibuka setidak-tidaknya sampai bulan Desember 2020. Artinya sampai akhir. Pembukaan sekolah baru dapat dilakukan tentu dengan pertimbangan-pertimbangan protokol kesehatan," sebut Dasril.

Dia berharap, pemerintah tidak terburu-buru menetapkan keputusan. Anak-anak yang jadi peserta didik, masih sangat rentan terdampak Covid-19. Disamping penyakit penyerta atau comorbid masih membayangi. Episentrum baru atau klaster baru sekolah masih memungkinkan terjadi.

"Memang anak-anak Indonesia itu masih jauh dari capaian yang diinginkan, karena masih tingginya komorbid yang ada pada anak Indonesia. Apa itu? Masih tinggi TBC, diare, pneumonia, apalagi stunting masih papan atas. Kemudian imunisasi juga masih 60%, jeblok betul. Artinya apa, kerentanan anak-anak Indonesia itu tinggi sekali," pungkasnya.

Untuk saat ini, lanjut dia, IDAI menyarankan agar pemerintah membenahi sistem pelayanan kesehatan dan sistem surveilans kesehatan untuk mendeteksi kasus baru dan pelacakan epidemiologi. Jika ini terpenuhi, barulah perencanaan pembukaan sekolah bisa dimulai.

"IDAI menyarankan agar pemerintah dan pihak swasta melakukan pemeriksaan real time PCR secara massif, 30 kali lipat dari jumlah kasus konfirmasi Covid-19 termasuk pada kelompok usia anak," urai Dasri.
(sri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2297 seconds (0.1#10.140)