Kisah Perang Saudara di Balik Legenda Terbelahnya Pulau Jawa dan Sumatera
loading...
A
A
A
BANDUNG - Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dipercaya masyarakat, termasuk para ahli sebagai daratan yang awalnya tak terpisahkan. Ada dua versi sejarah pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera, yakni akibat letusan Gunung Krakatau dan akibat gerakan lempeng bumi.
Mengacu pada Pustaka Raja Purwa yang ditulis pujangga besar Jawa, Ronggowarsito pada tahun 1869, letusan Gunung Krakatau sebagai penyebab terpisahnya Pulau Jawa dan Sumatera itu disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi.
Ken Wohletz, seorang peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico) termasuk yang mendukung teori tentang kemungkinan letusan besar Gunung Krakatau purba yang memisahkan dia pulau besar di Indonesia itu.
Bahkan, dia membuat simulasi tentang skenario letusan super. Namun, berbeda dengan Ronggowarsito, Ken menyebutkan bahwa letusan itu kemungkinan terjadi puluhan ribu tahun lalu. Melalui penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi juga memastikan bahwa Gunung Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat.
Dalam versi lain, pemisahan Jawa dan Sumatera sebagai produk gerakan tektonik di dalam bumi. Pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam bumi seperti teori yang disampaikan geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo.
Diketahui, letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada 1883 sangat dahsyat dimana awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Suara letusan itu bahkan terdengar hingga Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer.
Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II hingga menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer dan matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya.
Namun, di balik dua teori tersebut, berkembang cerita di masyarakat terkait asal muasal terbelahnya Pulau Jawa dan Sumatera itu. Meski secara nalar dan logika sukar diterima, namun cerita itu banyak dipercaya hingga menjadi legenda.
Selat Sunda sendiri merupakan selat yang menghubungkan Jawa dan Sumatera serta menghubungkan Laut Jawa dengan Samudera Hindia. Dalam legenda, terbentuknya Selat Sunda juga mengawali cerita terbentuknya Gunung Krakatau.
Masyarakat percaya bahwa Selat Sunda terbentuk berkat kekuasaan seorang raja yang berkuasa atas tanah Jawa dan Sumatera yang kalau itu merupakan satu daratan, yakni Prabu Rakata. Prabu Rakata dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana dan memiliki dua orang putera bernama Raden Sundana dan Raden Tapabaruna.
Di usianya yang telah senja, Prabu Rakata atau dikenal juga dengan nama Krakatau itu berniat untuk membagi wilayah kekuasaannya, yakni wilayah barat yang kini menjadi Pulau Sumatera dan Timur yang kini menjadi Pulau Jawa.
Selain usianya yang telah senja, niat Prabu Rakata juga didasari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Kedua alasan tersebut membuat tekad Prabu Rakata menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada kedua putranya semakin kuat.
Tiba di hari penentuan, Prabu Rakata pun akhirnya menyerahkan wilayah barat kepada Raden Tapabaruna dan wilayah timur kepada Raden Sundana. Pembagian wilayah tersebut dilakukan sangat adil oleh Prabu Rakata karena tak ingin kedua putranya berselisih pascapembagian wilayah kekuasaannya itu.
Kala itu, kedua putra Prabu Rakata pun menerima dengan baik keputusan ayahandanya itu. Prabu Rakata pun akhirnya pergi dari kerajaan dengan hati yang tenang menuju sebuah tempat untuk menyepi. Hanya sebuah guci yang dia bawa dari kerajaaan untuk menemani hari-harinya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Beberapa tahun menyendiri, Prabu Rakata menerima kabar yang mengejutkan. Pembagian wilayah yang dia putuskan seadil-adilnya itu ternyata membawa petaka bagi kedua putranya. Kabar yang dia terima, Raden Tapabaruna dan Raden Sundana terlibat perang besar memperebutkan wilayah perbatasan yang digadang-gadang kaya akan emas.
Hati Prabu Rakata pun seketika hancur mendengar kabar tersebut. Dia tak menyangka jika niat baiknya berlaku adil dibalas dengan perselisihan hanya karena kekuasaan. Hal itu pun membuat Prabu Rakata murka dan memutuskan kembali ke kerajaan untuk menghentikan perang saudara itu.
Mengetahui ayahandanya akan pulang ke kerajaan, Raden Tapabaruna dan Raden Tukdana akhirnya memutuskan untuk menarik pasukannya masing-masing. Keduanya sepakat menghentikan perang untuk menghormati kedatangan Prabu Rakata.
Dalam perjalanannya ke kerajaan, Prabu Rakata pun menyempatkan diri mengisi penuh guci yang dibawanya dengan air laut. Tiba di kerajaan, Prabu Rakata lalu memanggil kedua putranya dan meminta agar keduanya berdiri di wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaanya masing-masing.
Tanpa banyak bicara, Prabu Rakata kemudian menuangkan air laut dari guci pusakanya itu ke permukaan tanah, tepat di tengah wilayah kekuasaan kedua putranya. Guci yang telah kosong lalu ditempatkan Prabu Rakata di permukaan tanah yang telah basah oleh air yang dituangkan dari guci.
Tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh hingga membuat tanah bergetar. Getarannya yang hebat membentuk celah jurang yang sangat dalam hingga terbelahlah wilayah yang disengketakan Raden Tapabaruna dan Raden Sundana itu. Adapun guci yang tersimpan di tengah rekahan tanah kemudian berubah menjadi sebuah gunung. Untuk menghormati pemilik guci, gunung tersebut lalu dinamai Rakata atau Krakatau.
Legenda tersebut dipercaya masyarakat hingga saat ini. Terlebih, legenda itu menyimpan pesan moral yang sangat berharga, yakni kekuasaan bukanlah segala-galanya. Akibat keserakahan, perbatasan wilayah kekuasaan Raden Tapabaruna dan Raden Sundana itu akhirnya sirna tak berbekas. agung bakti sarasa
Mengacu pada Pustaka Raja Purwa yang ditulis pujangga besar Jawa, Ronggowarsito pada tahun 1869, letusan Gunung Krakatau sebagai penyebab terpisahnya Pulau Jawa dan Sumatera itu disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi.
Baca Juga
Ken Wohletz, seorang peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico) termasuk yang mendukung teori tentang kemungkinan letusan besar Gunung Krakatau purba yang memisahkan dia pulau besar di Indonesia itu.
Bahkan, dia membuat simulasi tentang skenario letusan super. Namun, berbeda dengan Ronggowarsito, Ken menyebutkan bahwa letusan itu kemungkinan terjadi puluhan ribu tahun lalu. Melalui penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi juga memastikan bahwa Gunung Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat.
Dalam versi lain, pemisahan Jawa dan Sumatera sebagai produk gerakan tektonik di dalam bumi. Pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam bumi seperti teori yang disampaikan geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo.
Diketahui, letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada 1883 sangat dahsyat dimana awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Suara letusan itu bahkan terdengar hingga Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer.
Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II hingga menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer dan matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya.
Namun, di balik dua teori tersebut, berkembang cerita di masyarakat terkait asal muasal terbelahnya Pulau Jawa dan Sumatera itu. Meski secara nalar dan logika sukar diterima, namun cerita itu banyak dipercaya hingga menjadi legenda.
Selat Sunda sendiri merupakan selat yang menghubungkan Jawa dan Sumatera serta menghubungkan Laut Jawa dengan Samudera Hindia. Dalam legenda, terbentuknya Selat Sunda juga mengawali cerita terbentuknya Gunung Krakatau.
Masyarakat percaya bahwa Selat Sunda terbentuk berkat kekuasaan seorang raja yang berkuasa atas tanah Jawa dan Sumatera yang kalau itu merupakan satu daratan, yakni Prabu Rakata. Prabu Rakata dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana dan memiliki dua orang putera bernama Raden Sundana dan Raden Tapabaruna.
Di usianya yang telah senja, Prabu Rakata atau dikenal juga dengan nama Krakatau itu berniat untuk membagi wilayah kekuasaannya, yakni wilayah barat yang kini menjadi Pulau Sumatera dan Timur yang kini menjadi Pulau Jawa.
Selain usianya yang telah senja, niat Prabu Rakata juga didasari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Kedua alasan tersebut membuat tekad Prabu Rakata menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada kedua putranya semakin kuat.
Tiba di hari penentuan, Prabu Rakata pun akhirnya menyerahkan wilayah barat kepada Raden Tapabaruna dan wilayah timur kepada Raden Sundana. Pembagian wilayah tersebut dilakukan sangat adil oleh Prabu Rakata karena tak ingin kedua putranya berselisih pascapembagian wilayah kekuasaannya itu.
Kala itu, kedua putra Prabu Rakata pun menerima dengan baik keputusan ayahandanya itu. Prabu Rakata pun akhirnya pergi dari kerajaan dengan hati yang tenang menuju sebuah tempat untuk menyepi. Hanya sebuah guci yang dia bawa dari kerajaaan untuk menemani hari-harinya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Beberapa tahun menyendiri, Prabu Rakata menerima kabar yang mengejutkan. Pembagian wilayah yang dia putuskan seadil-adilnya itu ternyata membawa petaka bagi kedua putranya. Kabar yang dia terima, Raden Tapabaruna dan Raden Sundana terlibat perang besar memperebutkan wilayah perbatasan yang digadang-gadang kaya akan emas.
Hati Prabu Rakata pun seketika hancur mendengar kabar tersebut. Dia tak menyangka jika niat baiknya berlaku adil dibalas dengan perselisihan hanya karena kekuasaan. Hal itu pun membuat Prabu Rakata murka dan memutuskan kembali ke kerajaan untuk menghentikan perang saudara itu.
Mengetahui ayahandanya akan pulang ke kerajaan, Raden Tapabaruna dan Raden Tukdana akhirnya memutuskan untuk menarik pasukannya masing-masing. Keduanya sepakat menghentikan perang untuk menghormati kedatangan Prabu Rakata.
Dalam perjalanannya ke kerajaan, Prabu Rakata pun menyempatkan diri mengisi penuh guci yang dibawanya dengan air laut. Tiba di kerajaan, Prabu Rakata lalu memanggil kedua putranya dan meminta agar keduanya berdiri di wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaanya masing-masing.
Tanpa banyak bicara, Prabu Rakata kemudian menuangkan air laut dari guci pusakanya itu ke permukaan tanah, tepat di tengah wilayah kekuasaan kedua putranya. Guci yang telah kosong lalu ditempatkan Prabu Rakata di permukaan tanah yang telah basah oleh air yang dituangkan dari guci.
Tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh hingga membuat tanah bergetar. Getarannya yang hebat membentuk celah jurang yang sangat dalam hingga terbelahlah wilayah yang disengketakan Raden Tapabaruna dan Raden Sundana itu. Adapun guci yang tersimpan di tengah rekahan tanah kemudian berubah menjadi sebuah gunung. Untuk menghormati pemilik guci, gunung tersebut lalu dinamai Rakata atau Krakatau.
Legenda tersebut dipercaya masyarakat hingga saat ini. Terlebih, legenda itu menyimpan pesan moral yang sangat berharga, yakni kekuasaan bukanlah segala-galanya. Akibat keserakahan, perbatasan wilayah kekuasaan Raden Tapabaruna dan Raden Sundana itu akhirnya sirna tak berbekas. agung bakti sarasa
(shf)