Kisah Ciung Wanara dari Jawa Barat dan Perebutan Kekuasaan di Kerajaan Galuh

Senin, 01 November 2021 - 11:47 WIB
loading...
Kisah Ciung Wanara dari Jawa Barat dan Perebutan Kekuasaan di Kerajaan Galuh
Situs jejak peninggalan Kerajaan Galuh dengan legenda Ciung Wanara masih bisa dilihat di Situs Karang Kamulyan yang berlokasi di hutan lindung seluas 2,5 hektare di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Foto/Istimewa.
A A A
CIAMIS - Berbicara sejarah Jawa Barat tidak bisa dilepaskan eksistensi Kerajaan Galuh di Ciamis. Salah satu kerajaan yang termasyur dan disegani dimasanya itu memiliki daerah penaklukan yang cukup luas.

Wilayah kekuasaannya mencakup dari ujung kulon Jawa Barat sampai ujung timur Pulau Jawa, yakni Sungai Berantas di dekat Surabaya. Salah satu situs jejak peninggalan Kerajaan Galuh masih bisa dilihat hingga sekarang.

Yakni Situs Karang Kamulyan yang berlokasi di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Situs yang berada di antara hutan lindung seluas 25,5 hektare ini dipercayai menyimpan jejak peninggalan Kerajaan Galuh.


Situs Karang Kamulyan berada di antara perbatasan antara Ciamis dan Banjar. Sekarang situs itu bukan hanya milik Kabupaten Ciamis, tetapi juga milik nasional karena sudah termasuk Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi pemerintah. Sebab di kompleks situs itu ada jejak peninggalan sejarah Kerajaan Galuh lengkap dengan benda-benda bersejarah lainnya.

Perjalanan Kerajaan Galuh tidak bisa dilepaskan dari cerita perjuangan Ciung Wanara yang begitu melegenda. Kisahnya menggambarkan hubungan budaya antara orang Sunda di Pulau Jawa yang tinggal di bagian barat dan Jawa Tengah.

Saking melegendanya nama Ciung Wanara, pahlawan nasional Indonesia dari Bali, I Gusti Ngurah Rai menamai pasukannya dengan nama Ciung Wanara dalam pertempuran Puputan Margarana melawan kolonial Belanda.

Berdasarkan cerita sejarah, legenda Ciung Wanara diawali saat Kerajaan Galuh diperintah oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah. Kemudian dia mempercayakan kerajaannya kepada menteri Aria Kebonan yang dikenal dengan nama Prabu Barma Wijaya.



Dikisahkan, dikerajaan itu tinggal dua istri raja yang bernama Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum. Kemudian kedua istri raja itu hamil bersamaan, Dewi Pangrenyep melahirkan lebih dahulu anak laki-laki yanh diberi nama Hariang Banga.

Sementara itu Dewi Naganingrum yang masih mengandung yang diketahui janinnya berjenis kelamin laki-laki, dianggap sebagai ancaman bagi tahta Prabu Barma Wijaya dan estafet penerus kerajaan selanjutnya.

Alhasil Prabu Barma Wijaya bersama Dewi Pangrenyep menyusun strategi jahat untuk menyingkirkan bayi laki-laki yang dikandung oleh Dewi Naganingrum. Tiba saatnya waktu kelahiran, bayi laki-laki tampan yang dilahirkan oleh Dewi Naganingrum ditukarkan dengan bayi seekor anjing.

Sedangkan bayi laki-laki yang dikemudian hari menjelma sebagai Ciung Wanara itu dibuang ke Sungai Citanduy. Tidak cukup sampai di situ, Prabu Barma Wijaya bersama Dewi Pangrenyep kemudian berusaha untuk menyingkirkan Dewi Naganingrum dari istana. Kemudian disuruhlah Uwa Batara Lengser untuk membunuh Dewi Naganingrum.


Perintah itu dilaksanakan dengan membawa sang ratu ke hutan, namun eksekusi tidak dilakukan karena Uwa Batara Lengser mengetahui jika Dewi Naganingrum tidak bersalah dan telah menjadi korban fitnah.

Di sisi lain, bayi Dewi Naganingrum yang dihanyutkan ke Sungai Citanduy dalam keranjang berhasil ditemukan warga di sekitar bantara Desa Geger Sunten, dan dirawat hingga dewasa.

Menjelma menjadi anak yang gagah dan kuat, pemuda itu kemudian diberi nama Ciung Wanara. Dia kemudian mengetahui bahwa orang tuanya bukan berasal dari desa dimana ia dirawat dan tumbuh dewasa.

Ciung Wanara kemudian mencoba menelusuri asal usul orang tuanya dengan mendatangi Kerajaan Galuh. Dia ditemani oleh seekor ayam jantan yang kuat, itu dikarenakan telur ayam itu dierami oleh unggas yang disebut Nagawiru.


Bukan tanpa alasan Ciung Wanara membayar ayam jantan, karena sabung ayam menjadi salah satu olahraga hiburan yang digemari di Kerajaan Galuh.

Raja Prabu Barma Wijaya termasuk menggemari hiburan sabung ayam dan memiliki ayam jago aduan yang hebat dan tak pernah kalah saat bertarung, bernama Si Jeling. Dia selalu mesayembarakan jika ada ayam dari rakyatnya atau siapapun yang bisa mengalahkan ayam jago andalannya, maka akan diberikan apa saja yang dimintanya.

Ciung Wanara yang mendengar kabar tersebut kemudian menerima tantangan sang raja, dengan mengadukan ayam jantan miliknya dengan Si Jeling. Syaratnya adalah ketika ayamnya menang, maka meminta setengah dari Kerajaan Galuh sebagai hadiah.

Janji itu terwujud karena ayam sang raja dikalahkan oleh ayam milik Ciung Wanara yang meski berukuran kecil namun jauh lebih kuat.

Ciung Wanara kemudian menjadi raja di daerah yang diserahkan oleh Prabu Barma Wijaya. Saat itu dia pun mendengar cerita Uwa Batara Lengser, bahwa dirinya saat itu disingkirkan dari istana beserta ibunya oleh Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep.



Merasa sakit hati kemudian dia melancarkan balas dendam kepada keduanya dan berhasil memenjarakan Dewi Pangrenyep. Namun, putra dari Dewi Pangrenyep, Hariang Banga tidak terima atas penangkapan ibunya oleh Ciung Wanara yang notabenenya adalah sang adik.

Dia kemudian menyusun rencana penyerangan untuk membebaskan ibunya dengan mengumpulkan banyak tentara guna berperang melawan Ciung Wanara dan para pengikutnya.

Sehingga pertarungan kakak beradik antara Hariang Banga dan Ciung Wanara tidak terelakan. Olah kanuragan dan kesaktian seimbang yang dimiliki keduanya membuat pertarungan tidak ada yang menang.

Kemudian, munculah Raja Prabu Permana Di Kusumah yang tak lain adalah ayah keduanya, didampingi Ratu Dewi Naganingrum yang meminta agar pertarungan dihentikan.

Raja mengatakan, pamali (tabu) antara adik dan kakak bertarung. Lalu keduanya berhenti dan oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah diputuskan Ciung Wanara memerintah di Galuh sedangkan di negara baru sebelah timur Sungai Brebes atau menjadi Sungai Pamali.


Sejak itu nama sungai tersebut dikenal sebagai Cipamali (Bahasa Sunda) atau Kali Pemali (Bahasa Jawa) yang berarti Sungai Pamali. Hariang Banga lalu pindah ke timur dan dikenal sebagai Jaka Susuruh.

Dia mendirikan kerajaan Jawa dan pengikutnya yang setia menjadi nenek moyang orang jawa. Sementara Ciung Wanara memerintah Kerajaan Galuh dengan adil, rakyatnya adalah orang sunda.

Pada saat itu Kerajaan Galuh yang kemudian bernama Pakuan Pajajaran menjadi makmur seperti saat diperintah pada zaman Prabu Permana Di Kusumah.

Jejak peninggalan Kerajaan Galuh di Situs Karang Kamulyan, di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, masih bisa terlihat. Seperti Batu Pangcakilan bekas singgasana dan tempat bermusyawarah raja, penyabungan alam, sanghyang bedil, lambang peribadatan, sumber air cteguh dan cirahayu.

Kemudian ada makam adipati panaekan, pamangkonan, batu panyadaan, patimunan, serta leuwi sipatahunan tempat bayi Ciung Wanara dibuang di Sungai Citanduy.
(hsk)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2635 seconds (0.1#10.140)