Pawon Rabi'ah dan Impian Besar Bersama Ikan Asap
loading...
A
A
A
Ada 6.198 anak-anak di Jawa Timur yang harus rela kehilangan kedua orang tuanya karena COVID-19. Kehidupan harus terus berjalan, meskipun jalur kasih sayang itu berkurang. Impian mereka harus tetap dikejar untuk membungkus masa depan dan menyimpan erat kenangan.
Rabi'ah (62), begitu memahami bagaimana terpukulnya Asfi (10), ketika bapaknya meninggal karena COVID-19. Setiap pagi, cucunya itu memang suka untuk diajak naik motor keliling kampung sebelum bapaknya berjualan ikan asap di Jalan Porong, Sidoarjo.
Asfi lebih banyak termenung. Mulutnya kerap terkunci, berbeda dengan kepribadiannya sebelumnya yang selalu ceria. Ia kini lebih banyak menghabiskan waktu bersama Rabi'ah. Apalagi sejak ibunya mengantikan tugas bapaknya untuk berjualan ikan asap di Jalan Porong yang jaraknya sekitar 8 km dari rumahnya di Desa Penatarsewu, Tanggulangan, Sidoarjo.
Pukul 03.00 WIB, Rabi'ah sudah terbangun. Lampu neon 5 watt yang memancarkan warna kuning dinyalakan. Cahayanya yang redup, cukup untuk menyingkirkan gulita dalam pekat sebelum fajar benar-benar datang. Aroma pekat sisa asap masih menempel di dinding-dinding rumah.
Saat adzan Subuh berkumandang, Rabi'ah sudah mengambil air wudhu dari pancuran kecil di ujung pintu. Sebuah dampar dari kayu jati yang sudah usang dan mengelupas diletakan dekat pintu yang terhubung ke jalan kecil di samping rumahnya. Pintu itu langsung dibuka untuk memberikan kesempatan angin pagi yang sejuk masuk ke dalam pawon miliknya yang hanya berukuran 6x4 meter.
Ikan-ikan yang mau diasapi sudah dibersihkan sejak semalam. Semua kiriman dari nelayan di daerah Tanggulangin sudah datang ke rumahnya. Ia tinggal menata kayu untuk pengikat pada badan ikan sebelum dimasukan tungku.
Satu per satu ikan dijejar rapi dalam tempeh persegi yang terbuat dari bilah bambu. Sekaligus meniriskan air yang masih melekat di kulit ikan. "Tinggal memasukan saja nanti secara bersamaan. Sekali masuk ke tungku bisa sampai 200-500 ekor ikan," kata Rabi'ah.
Untuk merawat ikan, Rabi'ah memilih duduk di dekat pintu. Sekaligus memastikan serabut kelapa sudah terkumpul di dekat tungku pengasapan. Tangannya cekatan ketika memilah serabut kelapa yang masih muda dan sudah tua.
Ia sengaja memisahkannya biar bisa menjaga asap terus mengepul dengan pekat ketika ikan sudah dinaikan ke tatakan. "Semua ikan harus sudah siap pukul 08.00 WIB, jadi pukul 09.00 WIB sudah dijual di Porong," ungkapnya.
Dari balik pintu kecil yang terbuat dari bambu itu, Rabi'ah selalu teringat pada ayahnya Asfi yang meninggal empat bulan lalu karena COVID-19. Anak bungsunya yang diharapan bisa meneruskan tradisi keluarga berbisnis ikan asap. Anak yang dulunya masih berlarian ketika dirinya mengolah ikan.
Ia tak mau terus terpuruk setelah kehilangan. Pandemi telah mengubah banyak sisi kehidupannya, namun ia meyakinkan dirinya untuk terus bangkit. Pawon kecilnya kini bisa lebih banyak mengolah ikan asap setelah Pertagas mendampingi warga di Penatarsewu. "Dulu kecil tepat pengasapan, sekarang lebih besar. Bisa cepat kalau mengasapi ikan," sambungnya.
Matahari sudah mulai merayap masuk celah-celah rumahnya. Asap yang membumbung setiap hari selalu berkejaran dengan impiannya untuk bisa terus menyekolahkan anak dan cucunya. Dari pawon kecil itu, empat anaknya sudah menyelesaikan sekolah dan bisa mandiri.
Ia mulai bercerita di awal 1990-an, ketika orang-orang di kampungnya hidup dalam kesulitan. Pendapatan dari nelayan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Banyak yang memilih merantau ke luar kota, bahkan ke luar pulau untuk mengubah jalannya nasib.
Di tengah mengenang masa sulit itu, suara ketukan datang dari depan. Kendaraan terparkir. Mobil pickup dengan beberapa boks kecil berwarna merah langsung masuk ke gang kecilnya di sebelah sungai. "100 kg dulu, nanti siang ambil lagi untuk dikirim ke Surabaya," kata Maulana, salah satu pelanggannya.
Lelaki berperawakan dempal itu setiap hari mengambil ikan asap dari Pawon Robi'ah. Ia membawanya ke Surabaya untuk dijual bijian di Pasar Wonokromo dan Banyuurip. Robi'ah menjualnya kiloan, harga per kilonya Rp40-50 ribu, tergantung besar dan kecilnya ikan yang diangkut. "Saya jualnya bijian, biasanya di kisaran Rp8 ribu sampai Rp15 ribu tiap ekor," kata Maulana.
Belum pukul 07.00 WIB, Rabi'ah kembali menambah serabut kelapa di dasar tungku. Suara kokok ayam dari belakang terus bersahutan. Matanya langsung tertuju ke pintu tengah ketika Asfi yang bangun dari tidur dan meminta air putih.
Ia langsung membalasnya dengan senyuman, kerut pipinya membuncah dan segera mengandeng cucunya ke meja kecil. Mereka pun larut dalam candaan, Rabi'ah mengajak cucunya untuk duduk di dekat pintu pawon, memandang matahari yang kini mulai terlihat gagah.
Di Penatarsewu, jalanan mulai ramai. Asap-asap dari tungku rumah-rumah warga saling berkejaran. Kerumunan asap itu seperti memberikan tanda ke langit kalau mereka tak pernah menyerah, semangat yang selalu dibungkus dalam optimisme untuk mewarnai kehidupan, dari desa kecil di pinggir delta.
Serap Tenaga Kerja dari Warga yang Kena PHK
Sebagai kota panyangga Surabaya, peranan Sidoarjo banyak terserap ke sektor industri dan jasa. Kondisi itu membuat banyak warga yang mengantungkan penghasilannya sebagai buruh pabrik yang tersebar di berbagai wilayah.
Sejak pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia. Banyak warga yang harus rela terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di tengah ekonomi warga yang terjepit, ada harapan yang terus berkembang melalui ikan asap di Penatarsewu. Para warga yang terkena PHK bisa sedikit lega karena mereka masih bisa berpenghasilan dari ikan asap.
Deretan perahu sudah bersandar di dekat jembatan yang dibalut cat berwarna hijau. Rumah warga yang berada di samping jembatan sudah mengepul asap dari cerobong yang dibuat lebih tinggi dari rumahnya, menyelimuti perkampungan dan aroma segar ikan yang sudah matang. Kendaraan yang keluar masuk bergantian untuk mengangkut ikan. Halaman rumah warga sudah penuh dengan peluh, menyiapkan ikan yang sudah siap diangkut.
Kepala Desa Penatarsewu, Choliq menuturkan, ikan asap kini menjadi lumbung rezeki bagi para warganya. Setiap tahun selalu ada peningkatan produksi serta pemasukan yang bisa dinikmati warga. Pendampingan yang sudah dilakukan oleh Pertamina meningkatkan volume pengasapan ikan yang melaju dengan pesat.
Dulu, katanya, para warga di Penatarsewu masih memakai cara tradisional untuk pengasapan. Cara lama yang sudah diwariskan turun-temurun dengan tungku yang kecil. "Jadi kalau dihitung, dulu itu satu pengasap hanya bisa mengasapi ikan sebanyak 90-100 kilogram saja. Sekarang naik drastis, banyak warga yang bisa menembus dua kwintal sehari," jelasnya.
Ia menambahkan, saat ini produksi ikan asap di Desa Penatarsewu mencapai 13 ton sehari. Jumlah itu pun bisa bertambah kalau di akhir pekan serta ada pemesanan insidentil yang selalu ada, apalagi ketika ada pegembangan penjualan di platform online.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, lanjutnya, para warga memang terbantu dengan penjualan online. Apalagi saat penularan virus tinggi, banyak warga yang tak keluar rumah. Mereka lebih banyak memesan lewat aplikasi online. "Yang penting dapur warga tetap mengebul," jelasnya.
Di Penatarsewu sendiri ada sekitar 80 usaha pengasapan ikan asap. Jumlah itu memberikan efek domino dalam serapan tenaga kerja. Warga yang dulunya nganggur bisa ikut bekerja membantu usaha ikan asap. Apalagi selama pandemi ini banyak yang terkena PHK.
Omset yang terus naik juga menambah produksi ikan asap. Makanya para warga banyak yang diberdayakan. Ada yang merawat ikan mulai dari membersihkan sisik, jeroan sampai meletakan kayu. "Proses pengasapan juga banyak yang dibantu para tetangganya," katanya.
Kebiasaan warga untuk berkolaborasi menjadi kunci. Sejak dibantu untuk peningkatan produksi oleh Pertagas, para warga semakin giat dalam menghasilkan ikan asap yang disebar ke berbagai wilayah. Para nelayan terus mandiri, mereka tak hanya mengantungkan penghasilan dari tangkapan ikan, namun juga mengolahnya menjadi komoditas yang tinggi.
Kilau Seba dan Jalur Pemasaran Online
Ikan asap di Penatarsewu menjadi warisan tradisi yang sudah lama dijalankan sejak dulu. Kebiasaan untuk mengolah ikan dengan asap yang panas dan metode yang tepat menghasilkan rasa yang maknyus di lidah pelanggan. Kualitas rasa dan ikan yang segar menjadi andalannya, selebihnya menjadi sejarah.
Hampir semua warga di Sidoarjo dan Surabaya mengetahui kelezatan ikan asap dari warga Penatarsewu. Namun, kendala klasik terkait stabilitas produksi di tengah permintaan pasar yang tinggi, dulunya menjadi masalah utama. Kapasitas produksi yang tak mencukupi membuang banyak kesempatan warga untuk mendulang cuan dari derasnya permintaan ikan asap harus terlepas.
Melihat peluang dan kondisi yang dialami warga di Penatarsewu, PT Pertamina Gas (Pertagas) mengembangkan program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan melakukan pendampingan pada para warga yang menekuni bisnis ikan asap.
Semua langkah cadas itu dimulai pada 2013. Melalui kegiatan di desa-desa, Pertagas pun melakukan perbaikan terhadap rumah pengasapan ikan, yang menjadi mata pencaharian warga Desa Penatarsewu. Perbaikan rumah pengasapan itu mengubah banyak landskap produksi ikan asap yang dikelola warga lebih stabil.
Tercatat, sampai saat ini Pertagas hadir mendampingi sekitar 80 usaha pengasap ikan. Mereka tersebar di berbagai dusun di Penatarsewu. Cerobong asap ikan pun terus bermunculan dan semakin menjulang. Mereka menatanya dengan lebih baik dan meningkatkan kapasitas produksinya.
Sebelum Pertagas datang, usaha ikan asap masih dikelola secara tradisional. Peralatannya pun kurang lengkap. Desain pengasapan hanya bisa menampung ikan dalam jumlah yang sedikit. Semua itu mempengaruhi kapasitas produksi para warga setiap hari yang berujung pada lancarnya rezeki yang masuk ke kantong warga.
Head of External Relations East Region Pertagas, Tedi Abadi Yanto menuturkan, selain perbaikan di tempat pengasapan ikan, para warga juga diberikan pelatihan. Sehingga sampai saat ini upaya itu terus dilakukan untuk meningkatkan produksi ikan asap.
Langkah awal itu dilakukan dengan perbaikan cerobong asap, tungku, hingga pemberian cold box. Pemberian alat itu sebagai salah satu upaya agar bahan baku ikan menjadi lebih banyak dan tahan lama. "Makanya bisa mendongkrak produksi ikan asap dan stok ikan asap lebih awet," jelasnya.
Laju bisnis warga pun terus berkembang. Desa yang terpencil di dekat pesisir terus dikenal lebih luas oleh masyarakat. Tak hanya warga Sidoarjo, para wisatawan dari luar kota yang datang ke Kota Delta juga ikut mampir untuk membeli ikan asap.
Peluang pun berlanjut, warga Penatarsewu tak ingin melewatkan momentum untuk terus bertumbuh. Mereka ingin menambah peluang dengan mengedepankan adanya olahan ikan yang bisa dinikmati pembelinya. Pada 2018 pun akhirnya muncul ide membangun Resto Apung Seribu Barokah (Seba) dengan melibatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Penatarsewu.
Pembangunan Seba ini seperti gayung bersambut, di tengah gegap gempita industri kuliner nusantara, Seba hadir dengan citarasa lokal yang bisa mengajak semua kelompok masyarakat bersantai di dekat pesisir. Efek dominonya, masyarakat banyak yang dilibatkan dalam serapan tenaga kerja.
"Mereka terbagi dalam berbagai sektor mulai dari tenaga kerja bagian masak makanan dan minuman, parkir di lokasi, kolam pancing, dan permainan air para pengunjung yang datang di resto," jelasnya.
Supriyanto, salah satu pengunjung di Seba mengaku senang ketika bisa menikmati olahan ikan di dekat pesisir. Ragam olahan yang memakai bumbu dari perkampungan membuat selera makannya bertambah. "Tempatnya asyik dan angin yang segar membuat nyaman kalau makan bersama keluarga," jelasnya.
Ketika pandemi COVID-19 menghantam Indonesia, ujian kembali datang bagi warga Penatarsewu. Dampak pada mitra binaan Pertagas ini langsung terasa dalam segi penjualan. Apalagi dengan adanya PPKM dan pembatasan pengunjung.
Untuk memperluas pasar, anak usaha Pertamina tersebut membantu pemasaran lewat layanan pesan antar bekerjasama dengan penyedia aplikasi transportasi online. Masyarakat dibekali edukasi terkait percepatan layanan via online yang tetap bisa mereka lakukan dengan pengiriman ke berbagai tempat.
Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat Desa Penatarsewu, Abdul Arief menuturkan, pandemi COVID-19 memberikan dampak pada semua sektor. Termasuk usaha yang coba dikembangkan dan menjadi tradisi di Penatarsewu. Ketika masa pembatasan, pemesanan ikan asap dan kedatangan warga ke Seba memang mengalami penurunan.
Melihat kondisi itu, para warga serta Pertagas selaku pembina CSR Desa Penatarsewu mencoba mengatasi permasalahan yang dialami Resto Apung Seba. Pihaknya pun berinovasi mencari kerjasama dengan penjualan online.
Mereka juga membuka jasa katering untuk perkantoran, RSUD, komunitas dan pemesanan dengan volume tinggi yang memanfaatkan jasa kuliner dari Penatarsewu. "Alhamdulillah bisa melewati masa sulit itu, sejak pandemi sampai sekarang, tidak ada satupun karyawan resto yang diberhentikan dan gaji setiap bulan bisa terpenuhi," kata Arief.
Dengan keunggulan kesegaran ikan lokal, mereka memiliki berbagai menu unggulannya meliputi mujair panceng, kelo kuning, mangut, bandeng, kepiting dan aneka olahan ikan asap. Ikan segar itu dinikmati di atas tambak yang disulap menjadi tempat makan terapung yang segar dan nyaman buat keluarga.
Resto Apung Seba kini menjadi miniatur desa untuk menyampaikan citarasa yang selalu mengingatkan Sidoarjo. Seba menjadi entitas yang tak terpisahkan dari semangat tinggi warga di kawasan pesisir yang pantang menyerah. Seba juga menyerap sumber daya asli lokal yang tetap bisa bertahan di tengah masa pandemi COVID-19.
Rabi'ah (62), begitu memahami bagaimana terpukulnya Asfi (10), ketika bapaknya meninggal karena COVID-19. Setiap pagi, cucunya itu memang suka untuk diajak naik motor keliling kampung sebelum bapaknya berjualan ikan asap di Jalan Porong, Sidoarjo.
Asfi lebih banyak termenung. Mulutnya kerap terkunci, berbeda dengan kepribadiannya sebelumnya yang selalu ceria. Ia kini lebih banyak menghabiskan waktu bersama Rabi'ah. Apalagi sejak ibunya mengantikan tugas bapaknya untuk berjualan ikan asap di Jalan Porong yang jaraknya sekitar 8 km dari rumahnya di Desa Penatarsewu, Tanggulangan, Sidoarjo.
Pukul 03.00 WIB, Rabi'ah sudah terbangun. Lampu neon 5 watt yang memancarkan warna kuning dinyalakan. Cahayanya yang redup, cukup untuk menyingkirkan gulita dalam pekat sebelum fajar benar-benar datang. Aroma pekat sisa asap masih menempel di dinding-dinding rumah.
Saat adzan Subuh berkumandang, Rabi'ah sudah mengambil air wudhu dari pancuran kecil di ujung pintu. Sebuah dampar dari kayu jati yang sudah usang dan mengelupas diletakan dekat pintu yang terhubung ke jalan kecil di samping rumahnya. Pintu itu langsung dibuka untuk memberikan kesempatan angin pagi yang sejuk masuk ke dalam pawon miliknya yang hanya berukuran 6x4 meter.
Ikan-ikan yang mau diasapi sudah dibersihkan sejak semalam. Semua kiriman dari nelayan di daerah Tanggulangin sudah datang ke rumahnya. Ia tinggal menata kayu untuk pengikat pada badan ikan sebelum dimasukan tungku.
Satu per satu ikan dijejar rapi dalam tempeh persegi yang terbuat dari bilah bambu. Sekaligus meniriskan air yang masih melekat di kulit ikan. "Tinggal memasukan saja nanti secara bersamaan. Sekali masuk ke tungku bisa sampai 200-500 ekor ikan," kata Rabi'ah.
Untuk merawat ikan, Rabi'ah memilih duduk di dekat pintu. Sekaligus memastikan serabut kelapa sudah terkumpul di dekat tungku pengasapan. Tangannya cekatan ketika memilah serabut kelapa yang masih muda dan sudah tua.
Ia sengaja memisahkannya biar bisa menjaga asap terus mengepul dengan pekat ketika ikan sudah dinaikan ke tatakan. "Semua ikan harus sudah siap pukul 08.00 WIB, jadi pukul 09.00 WIB sudah dijual di Porong," ungkapnya.
Dari balik pintu kecil yang terbuat dari bambu itu, Rabi'ah selalu teringat pada ayahnya Asfi yang meninggal empat bulan lalu karena COVID-19. Anak bungsunya yang diharapan bisa meneruskan tradisi keluarga berbisnis ikan asap. Anak yang dulunya masih berlarian ketika dirinya mengolah ikan.
Ia tak mau terus terpuruk setelah kehilangan. Pandemi telah mengubah banyak sisi kehidupannya, namun ia meyakinkan dirinya untuk terus bangkit. Pawon kecilnya kini bisa lebih banyak mengolah ikan asap setelah Pertagas mendampingi warga di Penatarsewu. "Dulu kecil tepat pengasapan, sekarang lebih besar. Bisa cepat kalau mengasapi ikan," sambungnya.
Matahari sudah mulai merayap masuk celah-celah rumahnya. Asap yang membumbung setiap hari selalu berkejaran dengan impiannya untuk bisa terus menyekolahkan anak dan cucunya. Dari pawon kecil itu, empat anaknya sudah menyelesaikan sekolah dan bisa mandiri.
Ia mulai bercerita di awal 1990-an, ketika orang-orang di kampungnya hidup dalam kesulitan. Pendapatan dari nelayan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Banyak yang memilih merantau ke luar kota, bahkan ke luar pulau untuk mengubah jalannya nasib.
Di tengah mengenang masa sulit itu, suara ketukan datang dari depan. Kendaraan terparkir. Mobil pickup dengan beberapa boks kecil berwarna merah langsung masuk ke gang kecilnya di sebelah sungai. "100 kg dulu, nanti siang ambil lagi untuk dikirim ke Surabaya," kata Maulana, salah satu pelanggannya.
Lelaki berperawakan dempal itu setiap hari mengambil ikan asap dari Pawon Robi'ah. Ia membawanya ke Surabaya untuk dijual bijian di Pasar Wonokromo dan Banyuurip. Robi'ah menjualnya kiloan, harga per kilonya Rp40-50 ribu, tergantung besar dan kecilnya ikan yang diangkut. "Saya jualnya bijian, biasanya di kisaran Rp8 ribu sampai Rp15 ribu tiap ekor," kata Maulana.
Belum pukul 07.00 WIB, Rabi'ah kembali menambah serabut kelapa di dasar tungku. Suara kokok ayam dari belakang terus bersahutan. Matanya langsung tertuju ke pintu tengah ketika Asfi yang bangun dari tidur dan meminta air putih.
Ia langsung membalasnya dengan senyuman, kerut pipinya membuncah dan segera mengandeng cucunya ke meja kecil. Mereka pun larut dalam candaan, Rabi'ah mengajak cucunya untuk duduk di dekat pintu pawon, memandang matahari yang kini mulai terlihat gagah.
Di Penatarsewu, jalanan mulai ramai. Asap-asap dari tungku rumah-rumah warga saling berkejaran. Kerumunan asap itu seperti memberikan tanda ke langit kalau mereka tak pernah menyerah, semangat yang selalu dibungkus dalam optimisme untuk mewarnai kehidupan, dari desa kecil di pinggir delta.
Serap Tenaga Kerja dari Warga yang Kena PHK
Sebagai kota panyangga Surabaya, peranan Sidoarjo banyak terserap ke sektor industri dan jasa. Kondisi itu membuat banyak warga yang mengantungkan penghasilannya sebagai buruh pabrik yang tersebar di berbagai wilayah.
Sejak pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia. Banyak warga yang harus rela terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di tengah ekonomi warga yang terjepit, ada harapan yang terus berkembang melalui ikan asap di Penatarsewu. Para warga yang terkena PHK bisa sedikit lega karena mereka masih bisa berpenghasilan dari ikan asap.
Deretan perahu sudah bersandar di dekat jembatan yang dibalut cat berwarna hijau. Rumah warga yang berada di samping jembatan sudah mengepul asap dari cerobong yang dibuat lebih tinggi dari rumahnya, menyelimuti perkampungan dan aroma segar ikan yang sudah matang. Kendaraan yang keluar masuk bergantian untuk mengangkut ikan. Halaman rumah warga sudah penuh dengan peluh, menyiapkan ikan yang sudah siap diangkut.
Kepala Desa Penatarsewu, Choliq menuturkan, ikan asap kini menjadi lumbung rezeki bagi para warganya. Setiap tahun selalu ada peningkatan produksi serta pemasukan yang bisa dinikmati warga. Pendampingan yang sudah dilakukan oleh Pertamina meningkatkan volume pengasapan ikan yang melaju dengan pesat.
Dulu, katanya, para warga di Penatarsewu masih memakai cara tradisional untuk pengasapan. Cara lama yang sudah diwariskan turun-temurun dengan tungku yang kecil. "Jadi kalau dihitung, dulu itu satu pengasap hanya bisa mengasapi ikan sebanyak 90-100 kilogram saja. Sekarang naik drastis, banyak warga yang bisa menembus dua kwintal sehari," jelasnya.
Ia menambahkan, saat ini produksi ikan asap di Desa Penatarsewu mencapai 13 ton sehari. Jumlah itu pun bisa bertambah kalau di akhir pekan serta ada pemesanan insidentil yang selalu ada, apalagi ketika ada pegembangan penjualan di platform online.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, lanjutnya, para warga memang terbantu dengan penjualan online. Apalagi saat penularan virus tinggi, banyak warga yang tak keluar rumah. Mereka lebih banyak memesan lewat aplikasi online. "Yang penting dapur warga tetap mengebul," jelasnya.
Di Penatarsewu sendiri ada sekitar 80 usaha pengasapan ikan asap. Jumlah itu memberikan efek domino dalam serapan tenaga kerja. Warga yang dulunya nganggur bisa ikut bekerja membantu usaha ikan asap. Apalagi selama pandemi ini banyak yang terkena PHK.
Omset yang terus naik juga menambah produksi ikan asap. Makanya para warga banyak yang diberdayakan. Ada yang merawat ikan mulai dari membersihkan sisik, jeroan sampai meletakan kayu. "Proses pengasapan juga banyak yang dibantu para tetangganya," katanya.
Kebiasaan warga untuk berkolaborasi menjadi kunci. Sejak dibantu untuk peningkatan produksi oleh Pertagas, para warga semakin giat dalam menghasilkan ikan asap yang disebar ke berbagai wilayah. Para nelayan terus mandiri, mereka tak hanya mengantungkan penghasilan dari tangkapan ikan, namun juga mengolahnya menjadi komoditas yang tinggi.
Kilau Seba dan Jalur Pemasaran Online
Ikan asap di Penatarsewu menjadi warisan tradisi yang sudah lama dijalankan sejak dulu. Kebiasaan untuk mengolah ikan dengan asap yang panas dan metode yang tepat menghasilkan rasa yang maknyus di lidah pelanggan. Kualitas rasa dan ikan yang segar menjadi andalannya, selebihnya menjadi sejarah.
Hampir semua warga di Sidoarjo dan Surabaya mengetahui kelezatan ikan asap dari warga Penatarsewu. Namun, kendala klasik terkait stabilitas produksi di tengah permintaan pasar yang tinggi, dulunya menjadi masalah utama. Kapasitas produksi yang tak mencukupi membuang banyak kesempatan warga untuk mendulang cuan dari derasnya permintaan ikan asap harus terlepas.
Melihat peluang dan kondisi yang dialami warga di Penatarsewu, PT Pertamina Gas (Pertagas) mengembangkan program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan melakukan pendampingan pada para warga yang menekuni bisnis ikan asap.
Semua langkah cadas itu dimulai pada 2013. Melalui kegiatan di desa-desa, Pertagas pun melakukan perbaikan terhadap rumah pengasapan ikan, yang menjadi mata pencaharian warga Desa Penatarsewu. Perbaikan rumah pengasapan itu mengubah banyak landskap produksi ikan asap yang dikelola warga lebih stabil.
Tercatat, sampai saat ini Pertagas hadir mendampingi sekitar 80 usaha pengasap ikan. Mereka tersebar di berbagai dusun di Penatarsewu. Cerobong asap ikan pun terus bermunculan dan semakin menjulang. Mereka menatanya dengan lebih baik dan meningkatkan kapasitas produksinya.
Sebelum Pertagas datang, usaha ikan asap masih dikelola secara tradisional. Peralatannya pun kurang lengkap. Desain pengasapan hanya bisa menampung ikan dalam jumlah yang sedikit. Semua itu mempengaruhi kapasitas produksi para warga setiap hari yang berujung pada lancarnya rezeki yang masuk ke kantong warga.
Head of External Relations East Region Pertagas, Tedi Abadi Yanto menuturkan, selain perbaikan di tempat pengasapan ikan, para warga juga diberikan pelatihan. Sehingga sampai saat ini upaya itu terus dilakukan untuk meningkatkan produksi ikan asap.
Langkah awal itu dilakukan dengan perbaikan cerobong asap, tungku, hingga pemberian cold box. Pemberian alat itu sebagai salah satu upaya agar bahan baku ikan menjadi lebih banyak dan tahan lama. "Makanya bisa mendongkrak produksi ikan asap dan stok ikan asap lebih awet," jelasnya.
Laju bisnis warga pun terus berkembang. Desa yang terpencil di dekat pesisir terus dikenal lebih luas oleh masyarakat. Tak hanya warga Sidoarjo, para wisatawan dari luar kota yang datang ke Kota Delta juga ikut mampir untuk membeli ikan asap.
Peluang pun berlanjut, warga Penatarsewu tak ingin melewatkan momentum untuk terus bertumbuh. Mereka ingin menambah peluang dengan mengedepankan adanya olahan ikan yang bisa dinikmati pembelinya. Pada 2018 pun akhirnya muncul ide membangun Resto Apung Seribu Barokah (Seba) dengan melibatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Penatarsewu.
Pembangunan Seba ini seperti gayung bersambut, di tengah gegap gempita industri kuliner nusantara, Seba hadir dengan citarasa lokal yang bisa mengajak semua kelompok masyarakat bersantai di dekat pesisir. Efek dominonya, masyarakat banyak yang dilibatkan dalam serapan tenaga kerja.
"Mereka terbagi dalam berbagai sektor mulai dari tenaga kerja bagian masak makanan dan minuman, parkir di lokasi, kolam pancing, dan permainan air para pengunjung yang datang di resto," jelasnya.
Supriyanto, salah satu pengunjung di Seba mengaku senang ketika bisa menikmati olahan ikan di dekat pesisir. Ragam olahan yang memakai bumbu dari perkampungan membuat selera makannya bertambah. "Tempatnya asyik dan angin yang segar membuat nyaman kalau makan bersama keluarga," jelasnya.
Ketika pandemi COVID-19 menghantam Indonesia, ujian kembali datang bagi warga Penatarsewu. Dampak pada mitra binaan Pertagas ini langsung terasa dalam segi penjualan. Apalagi dengan adanya PPKM dan pembatasan pengunjung.
Untuk memperluas pasar, anak usaha Pertamina tersebut membantu pemasaran lewat layanan pesan antar bekerjasama dengan penyedia aplikasi transportasi online. Masyarakat dibekali edukasi terkait percepatan layanan via online yang tetap bisa mereka lakukan dengan pengiriman ke berbagai tempat.
Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat Desa Penatarsewu, Abdul Arief menuturkan, pandemi COVID-19 memberikan dampak pada semua sektor. Termasuk usaha yang coba dikembangkan dan menjadi tradisi di Penatarsewu. Ketika masa pembatasan, pemesanan ikan asap dan kedatangan warga ke Seba memang mengalami penurunan.
Melihat kondisi itu, para warga serta Pertagas selaku pembina CSR Desa Penatarsewu mencoba mengatasi permasalahan yang dialami Resto Apung Seba. Pihaknya pun berinovasi mencari kerjasama dengan penjualan online.
Mereka juga membuka jasa katering untuk perkantoran, RSUD, komunitas dan pemesanan dengan volume tinggi yang memanfaatkan jasa kuliner dari Penatarsewu. "Alhamdulillah bisa melewati masa sulit itu, sejak pandemi sampai sekarang, tidak ada satupun karyawan resto yang diberhentikan dan gaji setiap bulan bisa terpenuhi," kata Arief.
Dengan keunggulan kesegaran ikan lokal, mereka memiliki berbagai menu unggulannya meliputi mujair panceng, kelo kuning, mangut, bandeng, kepiting dan aneka olahan ikan asap. Ikan segar itu dinikmati di atas tambak yang disulap menjadi tempat makan terapung yang segar dan nyaman buat keluarga.
Resto Apung Seba kini menjadi miniatur desa untuk menyampaikan citarasa yang selalu mengingatkan Sidoarjo. Seba menjadi entitas yang tak terpisahkan dari semangat tinggi warga di kawasan pesisir yang pantang menyerah. Seba juga menyerap sumber daya asli lokal yang tetap bisa bertahan di tengah masa pandemi COVID-19.
(eyt)