6 Tahun Kumpul Kebo, Wanita Manado Mengadu Dianiaya Kekasihnya Warga Negara Swiss
loading...
A
A
A
MANADO - Aksi penganiayaan nyaris menimpa wanita Manado, berinisial JM (45). Upaya penganiayaan menggunakan parang tersebut, dilakukan mantan kekasih JM, berinisial MPW (62) yang merupakan Warga Negara Asing (WNA) asal Swiss.
Pasangan ini telah enam tahun berhubungan. JM mengatakan, awalnya dia bertemu dengan MPW pada Februari 2016 silam di rumah saudaranya di Kalasey, Kabupaten Minahasa. WNA tersebut kemudian menceritakan kisah hidupnya dan mengajak JM untuk hidup bersama.
"Waktu itu saya langsung iyakan dan kita hidup bersama-sama, kita kontrak rumah di Desa Kalasey, dengan janji akan menikahi saya. Terus sambil kita di rumah kontrakan, kita beli aset-aset tanah dan itu semua diberikan kepada saya, supaya hidup bersama dengannya sampai dia tutup usia," kata JM, Sabtu (30/10/2021).
Namun, pada awal 2020, WNA tersebut sudah bertingkah aneh sepulangnya dari Surabaya. WNA tersebut sudah mulai marah-marah dan ingin meminta kembali surat-surat aset yang mereka beli atas nama JM. "Dia marah-marah dan mengejar saya dengan parang, sampai saya ketakutan dan lari. Saya dikejar sampai garasi mobil untung saya cepat lari," ujar JM.
JM kemudian melaporkan peristiwa yang terjadi pada bulan Oktober 2020 itu ke Polda Sulut, berbekal rekaman CCTV di rumahnya. Laporan tersebut kata dia dengan menggunakan pengacara, namun pihak kepolisian memintanya untuk tidak memakai pengacara.
"Pak Polisi waktu itu bilang tidak usah pakai pengacara karena dia sendiri yang korban, nanti mereka (polisi) yang jadi pengacara. Terpaksa saya batalkan pengacara saya padahal sudah dibayar, tapi tidak apa-apa," ungkap JM.
"Saya beberapa kali dipanggil, serta saksi ada lima orang. Kata penyidik, untuk CCTV tidak kuat karena tidak ada rekaman suara. Pihak kepolisian maunya mendengar yang mana MPW ingin membunuh saya, cuma ada saksi yang mengatakan bahwa mereka melihat tapi tidak mengerti bahasa Inggris. Mereka hanya mendengar MPW berteriak 'you look you look' sambil mengacungkan parang. Namun dari pihak kepolisian mengatakan itu tidak cukup bukti," tutur JM.
Kasus itu kemudian terdiam, hingga pada Januari 2021, JM digugat perdata di Polresta Manado, oleh MPW dengan tuduhan penggelepan dan penipuan dengan membawa surat yang diduga palsu. "Diduga surat itu palsu, karena saya waktu itu tidak pernah menandatangani surat itu begitu juga kedua saksi," ucap JM.
Lucky Schramm selaku kuasa hukum JM menambahkan, bahwa surat yang dimaksud berupa Memorandum of Understanding (MoU). Seolah-olah MoU tersebut, adalah perjanjian antara JM dengan MPW.
"Tapi setelah kita selidiki, MoU itu diduga palsu karena ada tanda tangan tiga pihak salah satunya JM sendiri, tidak pernah melakukan tanda tangan, dan dua saksi dalam MoU juga mengaku tidak pernah melakukan tanda tangan," kata Lucky Schramm.
Kasus tersebut, kata dia sudah dilaporkan ke Polresta Manado, dan sudah berjalan sampai dengan pemeriksaan saksi-saksi, tapi JM kembali mendapat laporan polisi atas tuduhan pencurian.
"Pencurian yang dimaksud di sini adalah pencurian sertifikat yang atas nama JM sendiri. Pencurian sertifikat milik pribadi. Lima hari yang lalu, kita mendapat gugatan perdata yang mengklaim bahwa sertifikat atas nama JM itu adalah milik MPW sebagai WNA, itulah awal dari kasus ini," tutur Lucky Schramm.
Vebry Tri Haryadi yang juga selaku kuasa hukum JM menambahkan bahwa gugatan perdata tersebut menyatakan, bahwa rumah dan tanah tersebut adalah milik dari MPW, padahal itu merupakan milik dari JM berdasarkan sertifikat atas nama JM dan dibeli sendiri olehnya.
"Seperti janjinya dia waktu itu mau menikah dengan JM, tapi kemudian itu tidak terjadi karena mungkin dia sudah dekat dengan seseorang, sehingga terjadilah kasus di mana dia membawa parang sehingga klien kami JM lari. Baju-bajunya dibuang ke luar rumah. Ini kekerasan yang dialami oleh JM yang diduga dilakukan oleh WNA," tambah Vebry.
Sayangnya kata Vebry, kasus dugaan penganiayaan tersebut sudah dilakukan pengaduan masyarakat (Dumas) ke Polda Sulut, tapi sudah sekitar enam bulan berlalu, tidak ada jawaban dari Polda Sulut.
"Makanya kami akan melaporkan ke Mabes Polri untuk persoalan ini. Selain itu kami juga sudah melaporkan ke Imigrasi Manado, mengenai adanya pelanggaran undang-undang oleh WNA. Saya sempat berdiskusi dengan pimpinan di Imigrasi Manado, dan mereka menyatakan harus ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hingga kini tidak ada tindak lanjutnya di Imigrasi Manado," terangnya.
Oleh karena itu, Vebry mengaku akan melaporkan kasus tersebut sampai ke Presiden, Dirjen Imigrasi pusat, dan juga ke Kementrian PPA, karena kasus yang dialami JM termasuk kekerasan terhadap perempuan.
"Apa yang dialami bukan hanya itu. Sampai minggu lalu, JM didatangi oleh oknum polisi yang mengatasnamakan MPW. Sudah dua kali datang, tadinya tidak mengaku sebagai polisi tapi sebagai pengusaha tambang. Tapi ternyata terungkap dia seorang oknum polisi, bahkan sempat bicara dengan saya lewat telepon, dan dia menawari untuk berdamai," terang Vebry.
"Sayarat perdamaian itu, JM ditawari untuk diberikan rumah sebagian dari harta itu, dan mobil. Namun kata saya, rumah dan mobil itu milik JM. Itu bukan perdamaian, karena apa yang dia lakukan dari akhir 2020, JM mengalami tekanan batin karena sering didatangi orang suruhan MPW di rumahnya," jelas Vebry.
Untuk itu kata Vebry, persoalan tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh penegak hukum. Dia mengajak aparat kepolisian untuk dudukkan secara objektif persoalan tersebut, karena pelaku membawa parang bisa kena undang-undang tentang kekerasan, serta undang-undang darurat, tapi anehnya persoalan tersebut tidak berlanjut ke proses hukum.
"Demikian juga bagi imigrasi, dengan adanya laporan ke imigrasi, seharusnya pihak imigrasi juga melihat bahwa ada undang-undang imigrasi yang mengatur bahwa WNA ketika melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia harusnya ditindak. Tapi dipanggil saja untuk dipertemukan dengan pihak kami, tidak pernah dilakukan oleh pihak Imigrasi Manado. Makanya kami akan melaporkan ini sampai ke pemerintah pusat," pungkas Vebry.
Pasangan ini telah enam tahun berhubungan. JM mengatakan, awalnya dia bertemu dengan MPW pada Februari 2016 silam di rumah saudaranya di Kalasey, Kabupaten Minahasa. WNA tersebut kemudian menceritakan kisah hidupnya dan mengajak JM untuk hidup bersama.
"Waktu itu saya langsung iyakan dan kita hidup bersama-sama, kita kontrak rumah di Desa Kalasey, dengan janji akan menikahi saya. Terus sambil kita di rumah kontrakan, kita beli aset-aset tanah dan itu semua diberikan kepada saya, supaya hidup bersama dengannya sampai dia tutup usia," kata JM, Sabtu (30/10/2021).
Namun, pada awal 2020, WNA tersebut sudah bertingkah aneh sepulangnya dari Surabaya. WNA tersebut sudah mulai marah-marah dan ingin meminta kembali surat-surat aset yang mereka beli atas nama JM. "Dia marah-marah dan mengejar saya dengan parang, sampai saya ketakutan dan lari. Saya dikejar sampai garasi mobil untung saya cepat lari," ujar JM.
JM kemudian melaporkan peristiwa yang terjadi pada bulan Oktober 2020 itu ke Polda Sulut, berbekal rekaman CCTV di rumahnya. Laporan tersebut kata dia dengan menggunakan pengacara, namun pihak kepolisian memintanya untuk tidak memakai pengacara.
"Pak Polisi waktu itu bilang tidak usah pakai pengacara karena dia sendiri yang korban, nanti mereka (polisi) yang jadi pengacara. Terpaksa saya batalkan pengacara saya padahal sudah dibayar, tapi tidak apa-apa," ungkap JM.
"Saya beberapa kali dipanggil, serta saksi ada lima orang. Kata penyidik, untuk CCTV tidak kuat karena tidak ada rekaman suara. Pihak kepolisian maunya mendengar yang mana MPW ingin membunuh saya, cuma ada saksi yang mengatakan bahwa mereka melihat tapi tidak mengerti bahasa Inggris. Mereka hanya mendengar MPW berteriak 'you look you look' sambil mengacungkan parang. Namun dari pihak kepolisian mengatakan itu tidak cukup bukti," tutur JM.
Kasus itu kemudian terdiam, hingga pada Januari 2021, JM digugat perdata di Polresta Manado, oleh MPW dengan tuduhan penggelepan dan penipuan dengan membawa surat yang diduga palsu. "Diduga surat itu palsu, karena saya waktu itu tidak pernah menandatangani surat itu begitu juga kedua saksi," ucap JM.
Lucky Schramm selaku kuasa hukum JM menambahkan, bahwa surat yang dimaksud berupa Memorandum of Understanding (MoU). Seolah-olah MoU tersebut, adalah perjanjian antara JM dengan MPW.
"Tapi setelah kita selidiki, MoU itu diduga palsu karena ada tanda tangan tiga pihak salah satunya JM sendiri, tidak pernah melakukan tanda tangan, dan dua saksi dalam MoU juga mengaku tidak pernah melakukan tanda tangan," kata Lucky Schramm.
Kasus tersebut, kata dia sudah dilaporkan ke Polresta Manado, dan sudah berjalan sampai dengan pemeriksaan saksi-saksi, tapi JM kembali mendapat laporan polisi atas tuduhan pencurian.
"Pencurian yang dimaksud di sini adalah pencurian sertifikat yang atas nama JM sendiri. Pencurian sertifikat milik pribadi. Lima hari yang lalu, kita mendapat gugatan perdata yang mengklaim bahwa sertifikat atas nama JM itu adalah milik MPW sebagai WNA, itulah awal dari kasus ini," tutur Lucky Schramm.
Vebry Tri Haryadi yang juga selaku kuasa hukum JM menambahkan bahwa gugatan perdata tersebut menyatakan, bahwa rumah dan tanah tersebut adalah milik dari MPW, padahal itu merupakan milik dari JM berdasarkan sertifikat atas nama JM dan dibeli sendiri olehnya.
"Seperti janjinya dia waktu itu mau menikah dengan JM, tapi kemudian itu tidak terjadi karena mungkin dia sudah dekat dengan seseorang, sehingga terjadilah kasus di mana dia membawa parang sehingga klien kami JM lari. Baju-bajunya dibuang ke luar rumah. Ini kekerasan yang dialami oleh JM yang diduga dilakukan oleh WNA," tambah Vebry.
Sayangnya kata Vebry, kasus dugaan penganiayaan tersebut sudah dilakukan pengaduan masyarakat (Dumas) ke Polda Sulut, tapi sudah sekitar enam bulan berlalu, tidak ada jawaban dari Polda Sulut.
"Makanya kami akan melaporkan ke Mabes Polri untuk persoalan ini. Selain itu kami juga sudah melaporkan ke Imigrasi Manado, mengenai adanya pelanggaran undang-undang oleh WNA. Saya sempat berdiskusi dengan pimpinan di Imigrasi Manado, dan mereka menyatakan harus ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hingga kini tidak ada tindak lanjutnya di Imigrasi Manado," terangnya.
Oleh karena itu, Vebry mengaku akan melaporkan kasus tersebut sampai ke Presiden, Dirjen Imigrasi pusat, dan juga ke Kementrian PPA, karena kasus yang dialami JM termasuk kekerasan terhadap perempuan.
"Apa yang dialami bukan hanya itu. Sampai minggu lalu, JM didatangi oleh oknum polisi yang mengatasnamakan MPW. Sudah dua kali datang, tadinya tidak mengaku sebagai polisi tapi sebagai pengusaha tambang. Tapi ternyata terungkap dia seorang oknum polisi, bahkan sempat bicara dengan saya lewat telepon, dan dia menawari untuk berdamai," terang Vebry.
"Sayarat perdamaian itu, JM ditawari untuk diberikan rumah sebagian dari harta itu, dan mobil. Namun kata saya, rumah dan mobil itu milik JM. Itu bukan perdamaian, karena apa yang dia lakukan dari akhir 2020, JM mengalami tekanan batin karena sering didatangi orang suruhan MPW di rumahnya," jelas Vebry.
Untuk itu kata Vebry, persoalan tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh penegak hukum. Dia mengajak aparat kepolisian untuk dudukkan secara objektif persoalan tersebut, karena pelaku membawa parang bisa kena undang-undang tentang kekerasan, serta undang-undang darurat, tapi anehnya persoalan tersebut tidak berlanjut ke proses hukum.
"Demikian juga bagi imigrasi, dengan adanya laporan ke imigrasi, seharusnya pihak imigrasi juga melihat bahwa ada undang-undang imigrasi yang mengatur bahwa WNA ketika melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia harusnya ditindak. Tapi dipanggil saja untuk dipertemukan dengan pihak kami, tidak pernah dilakukan oleh pihak Imigrasi Manado. Makanya kami akan melaporkan ini sampai ke pemerintah pusat," pungkas Vebry.
(eyt)