Kakak Adik Yatim Piatu Warga Surabaya Dapat Bantuan Gubernur
loading...
A
A
A
Namun, ibunda menghembuskan napas terakhir. Ia dimakamkan dengan protap Covid-19 di TPU Keputih, Surabaya.
Kendati demikian, Akbar dan Fariz mengaku tidak ada beban biaya saat ibunya dirawat di rumah sakit. Hanya saja saat proses pemakaman di TPU nya saja kena biaya administrasi pemakaman Rp 270 ribu.
"Jadi dari RSUD dr Soetomo nggak ada biaya sama sekali," sambut Fariz.
Waktu pemakaman memang ada lima warga yang ikut mengantarkan jenazah ke pembaringan terakhir. Saat mengantarkan menuju pemakaman, Akbar tengah dalam kondisi sakit ia bahkan tak kuat jalan kaki.
Akbar mengaku sakit cukup lama bahkan sejak ibunya belum meninggal. Kepergian sang ibunda makin mempengaruhi kondisi psikisnya. Terlebih, santer kabar jika mendiang terkonfirmasi positif membuat kedua kakak beradik ini dengan sadar mengisolasi diri di rumah.
"Saya melakukan isolasi mandiri akhirnya juga mengurangi dampak interaksi dengan masyarakat akhirnya saya juga merasa kesepian dan pengaruh psikis," tambhan Akbar yang tinggal di rumah bersama adiknya tersebut.
Akbar dan Fariz mengaku menderita tekanan psikis. Mereka merasa menghadapi ini sendiri.
"Sejak meninggalnya ibu ini secara psikis juga membuat saya tertekan dan kurangnya interaksi dengan masyarakat juga mengurangi pola interaksi saya dan akhirnya saya juga merasa kesepian," kisahnya.
"Nggak ada yang melarang kami keluar cuma kesadaran dari kami sendiri. Saya lebih merasakan tekanan batin," ucapnya.
Warga sekitar rumah memberikan bantuan makanan minuman dan kebutuhan pokok lain. Kendati hanya diletakkan di depan pagar rumah saja.
"Warga tidak mengucilkan hanya saya melakukan kesadaran untuk isolasi mandiri," tutur mahasiswa semester 6 salah satu perguruan tinggi swasta ini.
Kendati demikian, Akbar dan Fariz mengaku tidak ada beban biaya saat ibunya dirawat di rumah sakit. Hanya saja saat proses pemakaman di TPU nya saja kena biaya administrasi pemakaman Rp 270 ribu.
"Jadi dari RSUD dr Soetomo nggak ada biaya sama sekali," sambut Fariz.
Waktu pemakaman memang ada lima warga yang ikut mengantarkan jenazah ke pembaringan terakhir. Saat mengantarkan menuju pemakaman, Akbar tengah dalam kondisi sakit ia bahkan tak kuat jalan kaki.
Akbar mengaku sakit cukup lama bahkan sejak ibunya belum meninggal. Kepergian sang ibunda makin mempengaruhi kondisi psikisnya. Terlebih, santer kabar jika mendiang terkonfirmasi positif membuat kedua kakak beradik ini dengan sadar mengisolasi diri di rumah.
"Saya melakukan isolasi mandiri akhirnya juga mengurangi dampak interaksi dengan masyarakat akhirnya saya juga merasa kesepian dan pengaruh psikis," tambhan Akbar yang tinggal di rumah bersama adiknya tersebut.
Akbar dan Fariz mengaku menderita tekanan psikis. Mereka merasa menghadapi ini sendiri.
"Sejak meninggalnya ibu ini secara psikis juga membuat saya tertekan dan kurangnya interaksi dengan masyarakat juga mengurangi pola interaksi saya dan akhirnya saya juga merasa kesepian," kisahnya.
"Nggak ada yang melarang kami keluar cuma kesadaran dari kami sendiri. Saya lebih merasakan tekanan batin," ucapnya.
Warga sekitar rumah memberikan bantuan makanan minuman dan kebutuhan pokok lain. Kendati hanya diletakkan di depan pagar rumah saja.
"Warga tidak mengucilkan hanya saya melakukan kesadaran untuk isolasi mandiri," tutur mahasiswa semester 6 salah satu perguruan tinggi swasta ini.