Penganiaya Dokter Dituntut 2 Bulan Kurungan Dinilai Cederai Rasa Keadilan
loading...
A
A
A
CIREBON - Tuntutan terhadap Donny Nauphar , penganiaya dokter Herry Nurhendriyana yang hanya dua bulan mendapat sorotan. Pasalnya, tuntutan tersebut dianggap ringan .
Bahkan, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menganggap tuntutan itu menciderai rasa keadilan. Pasalnya, Kepala Labororatorium Fakultas Kedokteran UGJ itu tidak pernah meringkuk di jeruji besi penjara.
“Bagaimana ceritanya sebuah penganiayaan yang membabi-buta hanya divonis atau hanya dituntut dengan 2 bulan. Sudah jadi tahanan kota dan dituntut ringan. Saya kira ini sangat mencederai rasa keadilan,” kata Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul kepada wartawan di Jakarta, Rabu (11/8/2021).
Adib menduga kuat, proses peradilan yang digelar di Pengadilan Negeri Kota Cirebon hanya formalitas lantaran hasilnya sudah diatur sebelumnya. Maka, dengan demikian, kata Adib, wajar bila kemudian publik menilai jaksa "masuk angin". “Dugaan intervensi kekuasaan dan intervensi pihak berduit saya kira sangat kental,” tandasnya.
Kentalnya intervensi, menurut Adib setidaknya terasa jika mencermati kronologi proses terjadinya penganiayaan hingga peradilan. Sikap pihak Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon seolah memposisikan terdakwa sebagai anak emas. Padahal, korban juga merupakan seorang dosen di sana.
Di sisi lain, Adib membeberkan, dibandingkan dengan perlakuan terhadap korban, kampus seolah menutup pintu rapat berujung pembiayaran. Mulai di non-job kan sebagai dosen surat klarifikasi korban atas tindakan sepihak tanpa jawaban.
“Pertanyaannya, siapakah terdakwa ini? Atau kenapa terdakwa dianakemaskan? Jangan-jangan dia punya "kartu truf" soal dugaan-dugaan korupsi di Universitas Gunung Jati?” tanya Adib.
Bahwa proses peradilan sangat menentukan marwah bagi penegakan hukum. Citra hukum, khususnya di Kota Cirebon sangat dipertaruhkan soal reputasi baiknya dalam kasus ini.
Bahkan, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menganggap tuntutan itu menciderai rasa keadilan. Pasalnya, Kepala Labororatorium Fakultas Kedokteran UGJ itu tidak pernah meringkuk di jeruji besi penjara.
“Bagaimana ceritanya sebuah penganiayaan yang membabi-buta hanya divonis atau hanya dituntut dengan 2 bulan. Sudah jadi tahanan kota dan dituntut ringan. Saya kira ini sangat mencederai rasa keadilan,” kata Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul kepada wartawan di Jakarta, Rabu (11/8/2021).
Adib menduga kuat, proses peradilan yang digelar di Pengadilan Negeri Kota Cirebon hanya formalitas lantaran hasilnya sudah diatur sebelumnya. Maka, dengan demikian, kata Adib, wajar bila kemudian publik menilai jaksa "masuk angin". “Dugaan intervensi kekuasaan dan intervensi pihak berduit saya kira sangat kental,” tandasnya.
Kentalnya intervensi, menurut Adib setidaknya terasa jika mencermati kronologi proses terjadinya penganiayaan hingga peradilan. Sikap pihak Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon seolah memposisikan terdakwa sebagai anak emas. Padahal, korban juga merupakan seorang dosen di sana.
Di sisi lain, Adib membeberkan, dibandingkan dengan perlakuan terhadap korban, kampus seolah menutup pintu rapat berujung pembiayaran. Mulai di non-job kan sebagai dosen surat klarifikasi korban atas tindakan sepihak tanpa jawaban.
“Pertanyaannya, siapakah terdakwa ini? Atau kenapa terdakwa dianakemaskan? Jangan-jangan dia punya "kartu truf" soal dugaan-dugaan korupsi di Universitas Gunung Jati?” tanya Adib.
Bahwa proses peradilan sangat menentukan marwah bagi penegakan hukum. Citra hukum, khususnya di Kota Cirebon sangat dipertaruhkan soal reputasi baiknya dalam kasus ini.