AIPGI Dukung Pengembangan Lahan Garam di NTT
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mendukung pengembangan lahan garam di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) guna memasok bahan baku garam industri dari dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Tony Tanduk mengatakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) cocok sebagai sentra produksi garam industri karena memiliki lahan dan cuaca yang mendukung. (Baca juga: KPU: Anggaran Rp535 M Belum Termasuk Penambahan TPS)
“Wilayah NTT itu cocok karena ketersediaan lahan yang landai dan musim kemarau yang panjang sekitar 7-8 bulan pertahun,” ucapnya saat dihubungi oleh media, Jumat (29/5/2020).
Untuk menghasilkan garam kualitas tinggi, kata Tony, harus menggunakan metode dengan penguapan dan kristalisasi bertingkat. Proses produksi seperti ini dilakukan oleh PT Garam di Madura dan PT Inti Daya Kencana (IDK) di Malaka, NTT.
“Dibuat penguapan dan kristalisasi bertingkat. PT IDK di NTT sedang membangun lahan penggaraman dengan sistem tersebut, namun lahan masih sekitar 50 hektar dan yang sedang dikembangkan berkisar 300 hektar,” ucapnya.
Seperti diketahui, garam yang diproduksi dengan penguapan dan kristalisasi bertingkat disebut juga dengan istilah metode atau sistem portugis. Pada proses ini, garam dibiarkan menjadi meja hablur (lantai garam) setebal 5-20 cm kristal garam. Setelah itu, air tua dialirkan dan kristal garam akan cepat terbentuk dengan kualitas garam yang sangat bersih.
Untuk swasembada garam, menurut Tony, dibutuhkan tambahan lahan 50.000 hektar pada satu atau beberapa hamparan, dengan syarat 1 lahan minimum 1.000 hektar. “Hasil dari lahan tersebut menghasilkan garam untuk industri yang mempersyaratkan kadar NaCl 97% dan Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) rendah tdk lebih 0.6 ppm,” jelasnya.
Tony Tanduk menjelaskan bahwa lahan yang cocok untuk garam bukan hanya panjang pantai, melainkan juga aspek keekonomian. Sebagai contoh pantai Ancol bisa buat lahan garam tetapi tentu jauh lebih menarik jadi Dufan. Ia membandingkan nilai keekonomian antara nilai ekspor dari pengguna garam industri dengan impor garam industri pertahunnya. (Baca juga: Tidak Miliki SIKM, Dishub DKI: Sebanyak 6.364 Orang Diputarbalikkan)
“Nilai ekspor dari industri pengguna garam lebih dari US$ 35 milyar per tahun bandingkan impor garam USD 110 juta,” tutupnya.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Tony Tanduk mengatakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) cocok sebagai sentra produksi garam industri karena memiliki lahan dan cuaca yang mendukung. (Baca juga: KPU: Anggaran Rp535 M Belum Termasuk Penambahan TPS)
“Wilayah NTT itu cocok karena ketersediaan lahan yang landai dan musim kemarau yang panjang sekitar 7-8 bulan pertahun,” ucapnya saat dihubungi oleh media, Jumat (29/5/2020).
Untuk menghasilkan garam kualitas tinggi, kata Tony, harus menggunakan metode dengan penguapan dan kristalisasi bertingkat. Proses produksi seperti ini dilakukan oleh PT Garam di Madura dan PT Inti Daya Kencana (IDK) di Malaka, NTT.
“Dibuat penguapan dan kristalisasi bertingkat. PT IDK di NTT sedang membangun lahan penggaraman dengan sistem tersebut, namun lahan masih sekitar 50 hektar dan yang sedang dikembangkan berkisar 300 hektar,” ucapnya.
Seperti diketahui, garam yang diproduksi dengan penguapan dan kristalisasi bertingkat disebut juga dengan istilah metode atau sistem portugis. Pada proses ini, garam dibiarkan menjadi meja hablur (lantai garam) setebal 5-20 cm kristal garam. Setelah itu, air tua dialirkan dan kristal garam akan cepat terbentuk dengan kualitas garam yang sangat bersih.
Untuk swasembada garam, menurut Tony, dibutuhkan tambahan lahan 50.000 hektar pada satu atau beberapa hamparan, dengan syarat 1 lahan minimum 1.000 hektar. “Hasil dari lahan tersebut menghasilkan garam untuk industri yang mempersyaratkan kadar NaCl 97% dan Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) rendah tdk lebih 0.6 ppm,” jelasnya.
Tony Tanduk menjelaskan bahwa lahan yang cocok untuk garam bukan hanya panjang pantai, melainkan juga aspek keekonomian. Sebagai contoh pantai Ancol bisa buat lahan garam tetapi tentu jauh lebih menarik jadi Dufan. Ia membandingkan nilai keekonomian antara nilai ekspor dari pengguna garam industri dengan impor garam industri pertahunnya. (Baca juga: Tidak Miliki SIKM, Dishub DKI: Sebanyak 6.364 Orang Diputarbalikkan)
“Nilai ekspor dari industri pengguna garam lebih dari US$ 35 milyar per tahun bandingkan impor garam USD 110 juta,” tutupnya.
(kri)