Ratusan Pasien COVID-19 di Jabar Meninggal saat Isoman, Ini Faktor Pemicunya
loading...
A
A
A
BANDUNG - Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah pasien COVID-19 yang meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri (isoman).
Berdasarkan catatan Lapor COVID-19, hingga Senin (12/7/2021), ratusan pasien COVID-19 di Jabar meninggal dunia saat menjalani isoman yang diakibatkan oleh berbagai faktor.
Co-Inisiator Lapor COVID-19, Ahmad Arif mengungkapkan, kematian pasien COVID-19 yang tengah menjalani isoman ibarat fenomena gunung es. Dia menduga, jumlah pasien COVID-19 yang meninggal saat isoman jumlahnya lebih banyak dari yang dilaporkan.
"Laporan kami langsung terima melalui media sosial dan kami kroscek kembali kebenarannya dan ternyata memang tidak semuanya muncul di publik," ungkap Arif dalam konferensi video, Senin (12/7/2021).
Baca juga: Tangis Pecah di Polres Tasikmalaya, Anak 12 Tahun Peserta Demo Brutal Cium Kaki Ibunya
Arif memaparkan, dari 450 kasus kematian pasien COVID-19 saat isoman di Indonesia, 160 pasien di antaranya merupakan warga Jabar. "Kota Bekasi merupakan kota dengan laporan kasus paling banyak, yakni 81 kasus, sedangkan di tingkat kabupaten ada Kabupaten Sleman dengan total 44 kasus," sebutnya.
Menurut Arif, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan pasien COVID-19 meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri, di antaranya karena tidak terpantau dan terlambat mendapatkan penanganan medis akibat penuhmya rumah sakit oleh pasien COVID-19.
"Rata rata, pasien isoman yang meninggal anggota keluarganya juga positif, sehingga kesulitan untuk memperhatikan satu sama lain," ungkapnya.
Faktor penyebab lainnya, ungkap dia, yakni
karena pasien yang memang enggan mendapatkan penanganan pihak rumah sakit dengan berbagai alasan.
Dia menilai, kondisi tersebut sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kata Arif, pasien COVID-19 diketahui tengah menjalani isoman setelah meninggal dunia. "Sebagian pasien menganggap (COVID-19) sakit biasa (cenderung denial), sehingga terlambat diperiksa dan baru dikonfirmasi positif setelah meninggal," jelasnya.
Berdasarkan data kasus tersebut, pihaknya menyampaikan sejumlah rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan terjadinya penambahan kasus pasien COVID-19 yang meninggal saat Isoman.
Menurutnya, pemerintah bisa memperbanyak tempat isolasi terpusat, seperti dengan memanfaatkan sekolah atau gedung-gedung pemerintahan yang dilengkapi tenaga kesehatan, agar kondisi kesehatan pasien terpantau.
"Pemeritah juga bisa memperkuat rumah sakit dengan mengoptimalkan konsultasi secara daring. Pasien isoman membutuhkan pendataan, pemantauan, dan dukungan, baik dukungan sosial ekonomi maupun medis," katanya.
Berdasarkan catatan Lapor COVID-19, hingga Senin (12/7/2021), ratusan pasien COVID-19 di Jabar meninggal dunia saat menjalani isoman yang diakibatkan oleh berbagai faktor.
Co-Inisiator Lapor COVID-19, Ahmad Arif mengungkapkan, kematian pasien COVID-19 yang tengah menjalani isoman ibarat fenomena gunung es. Dia menduga, jumlah pasien COVID-19 yang meninggal saat isoman jumlahnya lebih banyak dari yang dilaporkan.
"Laporan kami langsung terima melalui media sosial dan kami kroscek kembali kebenarannya dan ternyata memang tidak semuanya muncul di publik," ungkap Arif dalam konferensi video, Senin (12/7/2021).
Baca juga: Tangis Pecah di Polres Tasikmalaya, Anak 12 Tahun Peserta Demo Brutal Cium Kaki Ibunya
Arif memaparkan, dari 450 kasus kematian pasien COVID-19 saat isoman di Indonesia, 160 pasien di antaranya merupakan warga Jabar. "Kota Bekasi merupakan kota dengan laporan kasus paling banyak, yakni 81 kasus, sedangkan di tingkat kabupaten ada Kabupaten Sleman dengan total 44 kasus," sebutnya.
Menurut Arif, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan pasien COVID-19 meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri, di antaranya karena tidak terpantau dan terlambat mendapatkan penanganan medis akibat penuhmya rumah sakit oleh pasien COVID-19.
"Rata rata, pasien isoman yang meninggal anggota keluarganya juga positif, sehingga kesulitan untuk memperhatikan satu sama lain," ungkapnya.
Faktor penyebab lainnya, ungkap dia, yakni
karena pasien yang memang enggan mendapatkan penanganan pihak rumah sakit dengan berbagai alasan.
Dia menilai, kondisi tersebut sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kata Arif, pasien COVID-19 diketahui tengah menjalani isoman setelah meninggal dunia. "Sebagian pasien menganggap (COVID-19) sakit biasa (cenderung denial), sehingga terlambat diperiksa dan baru dikonfirmasi positif setelah meninggal," jelasnya.
Berdasarkan data kasus tersebut, pihaknya menyampaikan sejumlah rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan terjadinya penambahan kasus pasien COVID-19 yang meninggal saat Isoman.
Menurutnya, pemerintah bisa memperbanyak tempat isolasi terpusat, seperti dengan memanfaatkan sekolah atau gedung-gedung pemerintahan yang dilengkapi tenaga kesehatan, agar kondisi kesehatan pasien terpantau.
"Pemeritah juga bisa memperkuat rumah sakit dengan mengoptimalkan konsultasi secara daring. Pasien isoman membutuhkan pendataan, pemantauan, dan dukungan, baik dukungan sosial ekonomi maupun medis," katanya.
(msd)