Pasca Polemik PCR Rp 2,3 Miliar, Direktur RSUD Blitar Mendadak Mundur
loading...
A
A
A
BLITAR - Pasca polemik pengadaan mesin PCR senilai Rp 2,3 miliar yang ditegur menteri kesehatan, Direktur RSUD Srengat Kabupaten Blitar mendadak mengundurkan diri. Secara lisan, peletakan jabatan dr Pantjarara Budiresmi sebagai direktur sudah disetujui Bupati Blitar Rini Syarifah.
"Secara lisan beliau (Bupati Blitar Rini Syarifah) beliau sudah setuju. Tinggal pengajuan secara tertulis saja," ujar Pantjarara Budiresmi kepada wartawan, Senin (14/6/2021).
Belum lama ini Pantjarara Budiresmi dimintai keterangan anggota DPRD Kabupaten Blitar terkait polemik pengadaan mesin PCR . Komisi IV DPRD juga sempat melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Srengat.
Polemik berawal dari teguran Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada Wabup Blitar Rahmat Santoso saat di Jakarta. Mesin PCR Cobaz Z 480 merek Roche buatan Jerman yang ada di RSUD Srengat, dianggap terlalu mahal.
Mesin PCR juga tidak bisa menerima reagen sembarangan. Terutama reagen yang datang dari bantuan pemerintah. Saat diklarifikasi di depan Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar, Pantjarara bisa menjelaskan kenapa mesin PCR Roche tersebut yang dipilih. Pengadaan PCR di era Bupati Rijanto (tahun 2020) tersebut, kata Pantjarara juga sudah melalui rekomendasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
BPK juga sudah mengaudit dan tidak ditemukan persoalan. Pantjarara yang juga dokter spesialis patologi klinis mengatakan, pengunduran dirinya tidak ada kaitan dengan polemik yang terjadi.
Pada April 2021 lalu. Sebelum muncul polemik mesin PCR, Pantjarara mengaku sudah berniat mundur karena alasan sakit yang diidapnya. "Agar bisa fokus pada kesehatan saya," kata Pantjarara tanpa menjelaskan penyakit apa yang diderita.
Sebelum menjabat Direktur RSUD Srengat yang beroperasi mulai Oktober 2020, dr Pantjarara Budiresmi mengepalai Puskesmas Srengat. Pantjarara juga salah satu dokter spesialis di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten Blitar. Ia dilantik sebagai Direktur RSUD Srengat mulai Januari 2020.
Dalam proses pengunduran dirinya, Pantjarara juga mengatakan sudah berkoordinasi dengan Sekretaris Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala BKPSDM Kabupaten Blitar. Meski nanti sudah tidak lagi menjabat direktur, ia berharap tetap bekerja sebagai tenaga fungsional. "Karena sesuai dengan bidang saya (Spesialis patologi klinis)," tambahnya. Baca: Terungkap, Pengadaan Mesin PCR RSUD Blitar Rp2,3 Miliar Tak Melalui Lelang.
Kepala BKPSDM Kabupaten Blitar Mashudi membenarkan pengunduran diri Direktur RSUD Srengat. Keinginan meletakkan jabatan tersebut sudah disampaikan secara lisan. "Namun secara tertulis belum," ujar Mashudi.
Sesuai prosedur yang berlaku, keinginan pengunduran diri tersebut harus disampaikan tertulis. Pengajuan mundur ditujukan langsung kepada Bupati Blitar selaku pejabat pembina kepegawaian. "Setelah disetujui Bupati langsung diproses sesuai prosedur dan aturan yang ada," pungkas Mashudi. Baca Juga: Datangi RSUD Srengat untuk Sidak Mesin PCR, Ini Temuan Anggota DPRD Blitar.
"Secara lisan beliau (Bupati Blitar Rini Syarifah) beliau sudah setuju. Tinggal pengajuan secara tertulis saja," ujar Pantjarara Budiresmi kepada wartawan, Senin (14/6/2021).
Belum lama ini Pantjarara Budiresmi dimintai keterangan anggota DPRD Kabupaten Blitar terkait polemik pengadaan mesin PCR . Komisi IV DPRD juga sempat melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Srengat.
Polemik berawal dari teguran Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada Wabup Blitar Rahmat Santoso saat di Jakarta. Mesin PCR Cobaz Z 480 merek Roche buatan Jerman yang ada di RSUD Srengat, dianggap terlalu mahal.
Mesin PCR juga tidak bisa menerima reagen sembarangan. Terutama reagen yang datang dari bantuan pemerintah. Saat diklarifikasi di depan Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar, Pantjarara bisa menjelaskan kenapa mesin PCR Roche tersebut yang dipilih. Pengadaan PCR di era Bupati Rijanto (tahun 2020) tersebut, kata Pantjarara juga sudah melalui rekomendasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
BPK juga sudah mengaudit dan tidak ditemukan persoalan. Pantjarara yang juga dokter spesialis patologi klinis mengatakan, pengunduran dirinya tidak ada kaitan dengan polemik yang terjadi.
Pada April 2021 lalu. Sebelum muncul polemik mesin PCR, Pantjarara mengaku sudah berniat mundur karena alasan sakit yang diidapnya. "Agar bisa fokus pada kesehatan saya," kata Pantjarara tanpa menjelaskan penyakit apa yang diderita.
Sebelum menjabat Direktur RSUD Srengat yang beroperasi mulai Oktober 2020, dr Pantjarara Budiresmi mengepalai Puskesmas Srengat. Pantjarara juga salah satu dokter spesialis di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten Blitar. Ia dilantik sebagai Direktur RSUD Srengat mulai Januari 2020.
Dalam proses pengunduran dirinya, Pantjarara juga mengatakan sudah berkoordinasi dengan Sekretaris Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala BKPSDM Kabupaten Blitar. Meski nanti sudah tidak lagi menjabat direktur, ia berharap tetap bekerja sebagai tenaga fungsional. "Karena sesuai dengan bidang saya (Spesialis patologi klinis)," tambahnya. Baca: Terungkap, Pengadaan Mesin PCR RSUD Blitar Rp2,3 Miliar Tak Melalui Lelang.
Kepala BKPSDM Kabupaten Blitar Mashudi membenarkan pengunduran diri Direktur RSUD Srengat. Keinginan meletakkan jabatan tersebut sudah disampaikan secara lisan. "Namun secara tertulis belum," ujar Mashudi.
Sesuai prosedur yang berlaku, keinginan pengunduran diri tersebut harus disampaikan tertulis. Pengajuan mundur ditujukan langsung kepada Bupati Blitar selaku pejabat pembina kepegawaian. "Setelah disetujui Bupati langsung diproses sesuai prosedur dan aturan yang ada," pungkas Mashudi. Baca Juga: Datangi RSUD Srengat untuk Sidak Mesin PCR, Ini Temuan Anggota DPRD Blitar.
(nag)