AJI Nilai Kebebasan Pers Memburuk di Tengah Pandemi

Senin, 03 Mei 2021 - 19:26 WIB
loading...
AJI Nilai Kebebasan Pers Memburuk di Tengah Pandemi
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Makassar saat melakukan aksi pada Senin, (03/05/2021). Foto: Sindonews/Faisal Mustafa
A A A
MAKASSAR - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat kasus kekerasan pada jurnalis dalam setahun ini mencapai 90 kasus, jauh dibandingkan dengan periode sebelumnya sejumlah 57 kasus. Kekerasan dengan polisi sebagai pelakunya, cukup dominan. Namun pemerintah cenderung melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus yang menyerang media dan jurnalis, mengakibatkan kekerasan berulang.

Catatan AJI Makassar dan LBH Pers Makassar, kasus kekerasan yang menimpa Darwin dkk pada tahun 2019. Penyidik menetapkan 4 oknum polisi sebagai tersangka kasus dugaan kekerasan jurnalis pada tanggal 26 Februari 2020.

“Namun, kasus ini hanya mengendap di penyidik Polda Sulawesi Selatan. Tidak ada proses hukum selanjutnya. Pembiaran ini mengusik rasa tidak adil kepada korban. Kami minta kasus ini ditindaklanjuti dan harus disidangkan di pengadilan,” ujar Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir.



Sejak 2020 hingga akhir April 2021, tren represi terhadap jurnalis tak hanya menimpa secara luring tapi meluas ke daring. Ini membuat jurnalis menghadapi tantangan yang makin kompleks di masa pandemi dan ruang aman yang kian menyempit.

Data AJI menunjukkan dalam rentang Mei 2020-akhir April 2021, telah terjadi 14 kasus teror berupa serangan digital. Jumlah itu meliputi 10 jurnalis yang menjadi korban dan empat situs media online. Sedangkan apabila dilihat dari jenis serangannya yakni 8 kasus doxing, empat kasus peretasan, dan dua kasus serangan distributed denial-of-service (DDos).

Kekerasan seksual juga belum menjadi perhatian. Berdasarkan data Survei Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis yang dilakukan oleh AJI Jakarta pada tahun 2020, terdapat 25 jurnalis yang pernah mengalami kekerasan seksual. Bahkan berdasarkan data tersebut, tak sedikit dari korban yang mengalami kekerasan berulang atau lebih dari satu kali.

“Di Makassar, AJI mendapat laporan kasus kekerasan seksual yang menimpa jurnalis perempuan di kantor pelayanan pemerintahan Kota Makassar saat bertugas. Hal ini membuat rasa trauma bagi korban. Namun, kasus ini tidak ditindaklanjuti pihak terkait,” ungkap Nurdin.

Pelaku terbanyak dari kekerasan seksual tersebut adalah narasumber pejabat publik, narasumber non pejabat publik, dan rekan kerja. Rekan kerja yang menjadi pelaku yakni atasan, rekan sekerja sekantor non atasan, dan rekan sesama jurnalis dari media yang berbeda.

Sementara itu, sejak diundangkan pada 2008 dan direvisi pada 2016, UU ITE masih jadi momok kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Koalisi Serius Revisi UU ITE kolaborasi 24 organisasi masyarakat sipil termasuk AJI menganalisis bahwa ada 8 pasal bermasalah yang membelenggu ruang kebebasan berekspresi. Dari delapan pasal tersebut, AJI mencatat ada tiga pasal yang mengancam langsung pada kebebasan pers.



Tiga pasal itu yakni Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran. Kedua pasal ini yang paling sering menjerat jurnalis. Pasal ketiga yang bermasalah adalah Pasal 40 ayat (2b). Pasal ini memberikan kewenangan pada pemerintah melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Di Sulawesi Selatan, dalam kurung waktu 2020 – 2021, AJI Makassar mencatat sedikitnya 4 kasus jurnalis yang dilaporkan ke pihak aparat kepolisian. Dari 4 laporan tersebut, pelapor merupakan pejabat publik yang berkuasa di daerahnya seperti Bupati, Wakil Bupati dan keluarga Bupati. 1 pelapor lainnya adalah pengusaha yang diduga terjerat kasus korupsi.

“Selain tidak memahami proses atau mekanisme yang diatur dalam UU Pers. Pejabat publik dan pengusaha seringkali menjadikan kekuasaannya untuk mengkriminalisasi Jurnalis. Untuk itu, kami meminta jika ada yang merasa dirugikan atas pemberitaan harus memenuhi jalur Dewan Pers sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Pers maupun MoU Polri dan Dewan Pers,” terang Nurdin.

Ranking kebebasan pers Indonesia di internasional, memang naik dari posisi 139 pada 2013 ke posisi 119 pada 2021, menurut Reporters Without Borders. Namun nasib kebebasan pers di Papua belum banyak berubah, alih-alih menjadi lebih baik. Pemerintah menutup akses Papua untuk jurnalis asing dan tingginya ancaman kekerasan pada jurnalis yang meliput.



Data yang dikumpulkan Subbidang Papua AJI Indonesia dari pelbagai sumber, jumlah kekerasan terhadap jurnalis dan media di Papua dalam 20 tahun terakhir (2000-2021) sebanyak 114 kasus. Jumlah ini meliputi kekerasan pada jurnalis asli Papua, jurnalis non-Papua, dan intimidasi ke perusahaan media.

Sedangkan secara khusus, jumlah kasus kekerasan pada periode Januari-akhir April 2021 mencapai lima kasus.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menuntut Presiden Joko Widodo berkomitmen melindungi kebebasan pers di Indonesia. Menuntut Polri dan Polda Sulawesi Selatan menghentikan praktik kekerasan dan mengusut kasus kekerasan pada jurnalis, termasuk tersangka kasus kekerasan terhadap Darwin dkk.

Kemudian menuntut Presiden Joko Widodo merevisi pasal bermasalah UU ITE. Meminta kepada pejabat publik dan masyarakat untuk menghormati UU Pers dalam kasus karya jurnalistik dan menghormati MoU Polri dan Dewan Pers. Menuntut Jokowi memenuhi janji membuka akses Papua terhadap jurnalis media asing dan menghentikan kekerasan pada jurnalis Papua.
(agn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3310 seconds (0.1#10.140)