Ini Alasan Ekonom Milenial Tantang Debat Terbuka Staf Milenial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bhima Yudhistira, ekonom Indef yang juga kaum milenial, menantang debat terbuka Adam Belva Devara, anggota staf khusus Presiden, yang sering juga disebut sebagai staf milenial presiden. Topik yang menjadi bahan debat terbuka itu adalah kartu pra-kerja, konflik kepentingan, oligarki milenial, dan permasalahan bangsa lainnya di tengah Covid-19.
Bhima ketika dihubungi Sindonews, Minggu (19/4/2020) menyatakan bahwa alasan dia menantang debat terbuka itu karena adanya keprihatinan melihat staf milenial presiden memiliki konflik kepentingan. Sebab, di satu sisi Belva yang merupakan CEO Ruang Guru mendapatkan proyek dari pemerintah terkait program Kartu-Prakerja. ( Baca: Dari Lady Gaga hingga Rolling Stones Gelar Konser untuk Tenaga Medis )
"Menurut saya ini kurang begitu sehat dalam iklim demokrasi seperti sekarang. Seharusnya milenial ini meninggalkan salah satu, antara jabatan publik atau posisi dia di bisnisnya. Milneial itu dipandang sebagai generasi yang bersih, generasi yang tidak memiliki konflik kepentingan, dan bisa meneruskan suara-suara anak muda," kata Bhima.
Bhima menambahkan, sebagai pembisiknya Pak Jokowi, seharusnya Belva bisa meneruskan semangat anak-anak muda kepada para pengambil kebijakan, bukan malah menjadi bagian dari oligarki.
Menurut Bhima, saat ini ada transformasi terkait oligarki. Dulu di zaman Orde Baru, oligarki berasal dari bisnis ekstraktif pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Pelaku oligarki ini bersekongkol dengan kekuasaan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Mereka relatif merupakan pengusaha-pengusaha senior atau tua.
"Sekarang seperti terjadi semacam transformasi, di mana oligarki dijalankan start up yang mengambil keuntungan dari program pemerintah, seperti Kartu Pra-kerja atau kasus Andi Taufan terkait Kemendes. Yang menarik aktornya berwajah milenial," tandas Bhima.
Bhima juga mengkritik adanya inefisiensi anggaran sebesar Rp 5,6 triliun untuk pelatihan online dalam program Kartu Pra-Kerja. Anggaran untuk pelatihan itu dipandang tidak pas karena masyarakat atau korban PHK lebih membutuhkan bantuan secara tunai dibanding pelatihan online.
"Kedua, berkaitan denga materi pelatihan yang tidak menyelesaikan masalah peserta. Tidak ada jaminan mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan dengan pelatihan itu. Lagi pula, hampir semua materi sudah dibicarakan di platform lain, seperti Youtube, bahkan gratis," tutup Bhima.
Lihat Juga: Kelompok Pemuda Bangun Bandung Gelar Debat Bakal Cawalkot, Erwin dan Juwanda Adu Visi Misi
Bhima ketika dihubungi Sindonews, Minggu (19/4/2020) menyatakan bahwa alasan dia menantang debat terbuka itu karena adanya keprihatinan melihat staf milenial presiden memiliki konflik kepentingan. Sebab, di satu sisi Belva yang merupakan CEO Ruang Guru mendapatkan proyek dari pemerintah terkait program Kartu-Prakerja. ( Baca: Dari Lady Gaga hingga Rolling Stones Gelar Konser untuk Tenaga Medis )
"Menurut saya ini kurang begitu sehat dalam iklim demokrasi seperti sekarang. Seharusnya milenial ini meninggalkan salah satu, antara jabatan publik atau posisi dia di bisnisnya. Milneial itu dipandang sebagai generasi yang bersih, generasi yang tidak memiliki konflik kepentingan, dan bisa meneruskan suara-suara anak muda," kata Bhima.
Bhima menambahkan, sebagai pembisiknya Pak Jokowi, seharusnya Belva bisa meneruskan semangat anak-anak muda kepada para pengambil kebijakan, bukan malah menjadi bagian dari oligarki.
Menurut Bhima, saat ini ada transformasi terkait oligarki. Dulu di zaman Orde Baru, oligarki berasal dari bisnis ekstraktif pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Pelaku oligarki ini bersekongkol dengan kekuasaan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Mereka relatif merupakan pengusaha-pengusaha senior atau tua.
"Sekarang seperti terjadi semacam transformasi, di mana oligarki dijalankan start up yang mengambil keuntungan dari program pemerintah, seperti Kartu Pra-kerja atau kasus Andi Taufan terkait Kemendes. Yang menarik aktornya berwajah milenial," tandas Bhima.
Bhima juga mengkritik adanya inefisiensi anggaran sebesar Rp 5,6 triliun untuk pelatihan online dalam program Kartu Pra-Kerja. Anggaran untuk pelatihan itu dipandang tidak pas karena masyarakat atau korban PHK lebih membutuhkan bantuan secara tunai dibanding pelatihan online.
"Kedua, berkaitan denga materi pelatihan yang tidak menyelesaikan masalah peserta. Tidak ada jaminan mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan dengan pelatihan itu. Lagi pula, hampir semua materi sudah dibicarakan di platform lain, seperti Youtube, bahkan gratis," tutup Bhima.
Lihat Juga: Kelompok Pemuda Bangun Bandung Gelar Debat Bakal Cawalkot, Erwin dan Juwanda Adu Visi Misi
(ihs)