Cegah Terorisme Melalui Model Pengasuhan Demokratis dan Toleran
loading...
A
A
A
SURABAYA - Aksi teror dan radikalisme kerap terjadi di Indonesia. Untuk mencegah aksi serupa, metode pengasuhan demokratis dan toleran bisa diterapkan secara masif.
Untuk memuluskan langkah itu, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, harus ada peran serta masyarakat untuk bersama memberantas terorisme. Masyarakat terdiri dari berbagai kelompok kecil yang disebut keluarga.
Ilham Nur Alfian, M.Psi, Psikolog yang juga Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga menuturkan, keluarga merupakan tempat belajar pertama dan utama anak yang berkaitan dengan norma-norma sosial utamanya dalam konteks toleransi serta pengakuan atas keberagaman masyarakat.
“Seorang anak akan banyak belajar tentang nilai-nilai kerukunan, toleransi dan pengakuan atas keberagaman melalui interaksi yang berlangsung dalam keluarga. Lewat keluarga inilah akan ditemukan role model yang akan dicontoh oleh anak,” kata Ilham, Kamis (22/4/2021).
Ia melanjutkan, derasnya arus dan semakin mudahnya akses informasi melalui internet menjadikan keluarga sebagai garda terdepan untuk membentengi anggota keluarga dari paham radikalisme.
“Dalam konteks banjir dan mudahnya akses informasi lewat internet dan media sosial, maka keluarga seharusnya bisa berperan sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi seorang anak untuk mendiskusikan secara terbuka informasi-informasi yang mereka terima,” jelasnya.
Ia menambahkan, sisi kenyamanan dan keterbukaan untuk mendiskusikan informasi yang diterima akan menjadi banteng untuk mengikis pemahaman radikalisme yang muncul akibat informasi yang keliru.
Dalam menciptakan suasana yang nyaman dalam keluarga, orangtua harus memiliki pemahaman keagamaan yang benar dan utuh sehingga bisa memberikan contoh praktik keagamaan yang baik.
“Jika orangtua sudah menjadi contoh yang baik dalam praktik keagamaan, anak akan dapat percaya dan tidak segan membuka topik pembicaraan seputar paham keagamaan yang telah mereka terima,” jelasnya.
Model pengasuhan demokratis dalam keluarga menjadi cara ampuh untuk mencegah munculnya paham dan praktik radikalisme.
Model pengasuhan ini memungkinkan orangtua mengasuh anak dengan kontrol serta kehangatan yang tinggi.
“Dengan model pengasuhan ini orangtua akan mampu mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan, menghargai tingkah laku anak, dan membimbingnya,” kata Ilham.
Dalam pola asuh ini anak diberikan kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri tapi tetap harus mengedepankan kedisiplinan yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Baca juga: ASN Kota Malang Jangan Berani-berani Mudik, Ini Sanksi Tegas Bagi yang Melanggar
Komunikasi yang baik sangat diperlukan pada model pengasuhan ini. Orangtua juga harus menempatkan dirinya sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan agar mampu menerima keinginan serta masukan dari anak.
Baca juga: Kecelakaan Karambol Libatkan Tiga Truk di Gresik, Jalur Pantura Macet Total
“Nantinya anak akan terhindar dari hal-hal yang intoleran. Secara tidak langsung anak akan menghargai perbedaan pendapat dan demokratis dalam bersikap serta terhindar dari pola pikir radikal, kasar, dan memaksakan kehendak,” katanya.
Untuk memuluskan langkah itu, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, harus ada peran serta masyarakat untuk bersama memberantas terorisme. Masyarakat terdiri dari berbagai kelompok kecil yang disebut keluarga.
Ilham Nur Alfian, M.Psi, Psikolog yang juga Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga menuturkan, keluarga merupakan tempat belajar pertama dan utama anak yang berkaitan dengan norma-norma sosial utamanya dalam konteks toleransi serta pengakuan atas keberagaman masyarakat.
“Seorang anak akan banyak belajar tentang nilai-nilai kerukunan, toleransi dan pengakuan atas keberagaman melalui interaksi yang berlangsung dalam keluarga. Lewat keluarga inilah akan ditemukan role model yang akan dicontoh oleh anak,” kata Ilham, Kamis (22/4/2021).
Ia melanjutkan, derasnya arus dan semakin mudahnya akses informasi melalui internet menjadikan keluarga sebagai garda terdepan untuk membentengi anggota keluarga dari paham radikalisme.
“Dalam konteks banjir dan mudahnya akses informasi lewat internet dan media sosial, maka keluarga seharusnya bisa berperan sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi seorang anak untuk mendiskusikan secara terbuka informasi-informasi yang mereka terima,” jelasnya.
Ia menambahkan, sisi kenyamanan dan keterbukaan untuk mendiskusikan informasi yang diterima akan menjadi banteng untuk mengikis pemahaman radikalisme yang muncul akibat informasi yang keliru.
Dalam menciptakan suasana yang nyaman dalam keluarga, orangtua harus memiliki pemahaman keagamaan yang benar dan utuh sehingga bisa memberikan contoh praktik keagamaan yang baik.
“Jika orangtua sudah menjadi contoh yang baik dalam praktik keagamaan, anak akan dapat percaya dan tidak segan membuka topik pembicaraan seputar paham keagamaan yang telah mereka terima,” jelasnya.
Model pengasuhan demokratis dalam keluarga menjadi cara ampuh untuk mencegah munculnya paham dan praktik radikalisme.
Model pengasuhan ini memungkinkan orangtua mengasuh anak dengan kontrol serta kehangatan yang tinggi.
“Dengan model pengasuhan ini orangtua akan mampu mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan, menghargai tingkah laku anak, dan membimbingnya,” kata Ilham.
Dalam pola asuh ini anak diberikan kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri tapi tetap harus mengedepankan kedisiplinan yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Baca juga: ASN Kota Malang Jangan Berani-berani Mudik, Ini Sanksi Tegas Bagi yang Melanggar
Komunikasi yang baik sangat diperlukan pada model pengasuhan ini. Orangtua juga harus menempatkan dirinya sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan agar mampu menerima keinginan serta masukan dari anak.
Baca juga: Kecelakaan Karambol Libatkan Tiga Truk di Gresik, Jalur Pantura Macet Total
“Nantinya anak akan terhindar dari hal-hal yang intoleran. Secara tidak langsung anak akan menghargai perbedaan pendapat dan demokratis dalam bersikap serta terhindar dari pola pikir radikal, kasar, dan memaksakan kehendak,” katanya.
(boy)